Minggu, 20 Mei 2012 - 0 komentar

Nama “Wahhabi” Dibanggakan Oleh Para Pemuka Wahhabi Sendiri


Kebanyakan orang Wahabi mengingkari nama “Wahhabiyyah”, mereka berkata: “Tidak ada yang namanya kelompok Wahhabi”. Mereka bersikap demikian karena mereka tahu sejarah hitam gerakan wahabi; yang penuh dengan darah, teror, dan pembunuhan, lalu untuk mengelabui orang banyak gerakan mereka itu dibungkus dengan nama “Salafi”. Sementara, berikut ini bukti nyata bahwa sebagian mereka mengakui, -bahkan bangga-, menyebut gerakan yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahhab ini dengan nama “Wahhabiyyah”. Ini tertulis nyata dalam buku yang mereka terbitkan sendiri; ditulis oleh salah seorang pemuka mereka di wilayah Qatar, bernama: “Ahmad bin Hajar Al Buthami Al bin Ali”, judul bukunya: “as Syekh Muhammad ibn Abdil Wahhab ‘Aqidatuh as Salafiyyah Wa Da’watuh al Islamiyyah”. Bahkan buku ini diedit dan sebarluaskan oleh pemuka Wahabi lainnya, yaitu “Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz”. Dicetak tahun 1393 H, penerbit Syarikat Mathabi’ al Jazirah.

Perhatikan di halaman 105, ia menuliskan berikut ini:

فلما التقى الوهابيين في مكة
“Ketika bertemu dengan orang-orang Wahabi di Mekah…”
Juga menuliskan:

 استطاع الوهابيون أن يقيموا الدولة الإسلامية على أساس من المبادئ الوهابية
“… orang-orang Wahabi mampu mendirikan Dawlah Islamiyyah di atas dasar ajaran-ajaran Wahabiyah”

Kemudian juga menuliskan:

ولكن الدعوة الوهابية
“Akan tetapi dakwah Wahabi…”

Juga menuliskan:

يدينون الإسلام على المذهب الوهابي
“Meraka (orang-orang Wahabi) beragama Islam di atas madzhab Wahabi”.

Penamaan diri mereka sebagai kaum Wahhabiyyah juga dikuatkan oleh pemuka Wahabi lainnya, bernama Muhammad bin Jamil Zainu, salah seorang guru terkemuka Wahabi di Mekah, dalam buku karyanya berjudul “Quthuf Min asy Syama’il al Muhammadiyyah”, cet. Dar ash Shahabah. Buku di ini disebarkan secara cuma-cuma (alias buku gratis) di wilayah Lebanon dibawah gerakan Wahabi yang bernama “Jam’iyyah an Nur Wa al Iman al Khairiyyah al Islamiyyah”. Muhammad bin Jamil Zainu dengan bangga menuliskan:

وهابي نسبة إلى الوهاب وهو اسم من أسماء الله
“Nama Wahabi adalah disandarkan kepada nama al Wahhab, dan dia itu (al Wahhab) adalah salah satu dari nama-nama Allah”.

Jamil Zainu berdusta mengatakan “Wahabi” disandarkan kepada nama Allah “al Wahhab”!! Yang benar adalah kata “Wahhabi” disandarkan kepada perintis gerakan sesat, yaitu “Muhammad bin Abdul Wahhab”. Apa mereka tidak tahu dalam bahasa Arab “nisbah” itu seringkali dipakai dengan disandarkan kepada “Mudlaf Ilayh”-nya??? Seperti kata/nama “Abd Qais”; maka nisbah-nya menjadi “Qaisy”. Dan “nisbah” ini tidak harus hanya disandarkan kepada nama orang itu sendiri, tapi terkadang juga biasa disandarkan kepada nama ayahnya, atau nama kakeknya”.

Lainya, yang menguatkan bahwa mereka mengakui sebagai orang-orang Wahabi, dan bahwa ajaran yang mereka yakini sebagai ajara Wahabi; adalah mereka menamakan gerakan mereka dengan “Gerakan Faham Wahabiyyah” (al Harakah al Wahhabiyyah), sebagaimana itu mereka tuliskan dalam buku-buku mereka, di antara oleh salah seorang pemuka mereka bernama “Muhammad Khalil Harras”, yang dengan bangga ia menuliskan judul karyanya dengan “al Harakah al Wahhabiyyah” (“Gerakan Faham Wahabiyyah”). Buku ini dicetak penerbit Dar al Kutub al Arabi. Isi buku ini adalah pembelaan “mati-matian” terhadap ajaran Wahabi,  penulisannya dengan bangga menamakan gerakan ajaran Wahabi dengan “ad Da’wah al Wahhabiyyah”, lihat di halaman 37.

Dengan demikian nama “Wahabiyyah” telah ditetapkan dan dibanggakan oleh para pemuka Wahabi sendiri, yang itu semua mereka ungkapkan dalam karya-karya mereka sendiri, karena itu “ngga ngaruh” bila kemudian “kroco-kroco” wahabi mengingkari itu semua.

Lihat, perhatikan, dan terus waspada… sebagian orang Wahabi enggan memakai nama Wahabi, tapi mereka lebih memilih nama-nama yang yang “wah” untuk mengelabui orang-orang awam; seperti “Salafi”, “Salafiyah”, “Anshar as Sunnah”, “Anshar at Tauhid”,  “Jama’ah at Takfir Wa al Hijrah”, “Jam’iyyah an Nur Wa al Iman”, “al Jama’ah al Islamiyyah”, dan lain-lain. Bahkan sekolah-sekolah yang mereka dirikan seringkali memakai nama-nama para sahabat terkemuka,  seperti , “Abubakar Ash-Shidiq“, “Utsman bin Affan”, “Umar bin Khattab”, “Ali bin Abi Thalib“,  “Abdurrahman bin Auf“,, atau para Imam Madzhab seperti “Imam Syafi’i“, “Imam Ibn Hanbal“, “Imam Hanafi”, dan lainnya. Waspadalah…!!!


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
- 0 komentar

Ancaman Gerakan Salafi Wahabi


BONGKAR
Rasulullah Saw. Berdiri diatas mimbar dan bersabda, “Disanalah daerah berbagai fitnah,” seraya beliau menunjuk ke timur Madinah (Najd), “dari sana timbul pongkol setan,” atau nabi bersabda, “tanduk setan”. (HR. Bukhari, Ahmad, dan Tirmidzi, dengan lafal darinya, dia mengatakan hadis ini Hasan Shahih).
Belakangan ini banyak bermunculan gerakan yang mengatasnamakan Islam. Salah satunya gerakan yang mempunyai misi memurnikan ajaran tauhid. Mereka mulai gencar melakukan ekspansi gerakannya dari berbagai lini dan berbagai macam strategi, baik melalui organisasi di sekolah, organisasi kampus, sampai pada organisasi masyarakat (Ormas) Islam di Indonesia. Gerakan mereka juga tidak luput dari pertarungan politik pemerintah, ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat Indonesia. Mereka juga melakukan dakwah dari musholla ke musholla, dari masjid ke masjid, dan dari rumah ke rumah.
Kondisi umat Islam di Indonesia sekarang ini semakin kompleks, seiring dengan kompleksnya pemahaman-pemahaman yang di ajarkan oleh berbagai macam golongan dengan kepentingan masing-masing. Peran media saat ini menjadi sentral penanaman pengetahuan dan informasi yang begitu cepat; baik media tulis, cetak, maupun gambar. Menanggapi munculnya gerakan Salafi yang kian hari semakin marak diperbincangkan dan dibahas, seseorang yang mengaku dirinya bernama “Syaikh Idahram” menulis tiga buku yang berisi sejarah, gugatan, penyimpangan, kekejaman, dan sebagainya yang dilakukan oleh kelompok Salafi-Wahabi. Buku trilogi yang dibuat oleh Syaikh Idahram ini berjudul: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Memalsukan Kitab-KItab Karya Ulama Klasik, dan Ulama Sejagat Menggugat Salafi Wahabi. Buku trilogi Syaikh Idahram ini menjadi buku-buku “Best Seller” yang laku keras dijual dipasaran.
Banyak kemungkinan yang terjadi mengapa buku-buku ini menjadi best seller dan sangat ramai diperbincangkan. Pertama, selama ini umat Islam di Indonesia sangat dibingungkan dengan gerakan-gerakan yang mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok salafi, sehingga seolah-olah buku trilogi ini menjadi obat bagi umat yang merasa bingung dan merasa perlu kejelasan tentang kelompok salafi. Kedua, mereka umat Islam dari kelompok salafi sendiri penasaran dengan kelompok yang diikutinya sehingga mereka penasaran pula dengan buku trilogi ini. Ketiga, banyak orang yang merasa tertarik untuk membacanya dengan melihat ketiga judul buku trilogi ini yang memang menggunakan kata-kata yang sangat menarik, atraktif dan bombastis.
Siapa Kelompok Salafi Wahabi
Kelompok wahabi ini membawa misi memurnikan ajaran tauhid dari kemusyrikan, khurafat, bid’ah, menyembah makam-makam (kuburan), dan lain sebagainya. Kelompok ini muncul pertama kali di daerah Najd, Saudi Arabia yang dibawa oleh seseorang yang bernama Muhammad ibnu Abdul Wahab dari keluarga yang  bermadzhab hambali. Ayahnya yang bernama Abdul Wahab ibnu Sulaiman ini adalah seorang Qadhi (hakim) yang terkemuka pada masa itu. Kemudian seiring dengan tumbuh dewasanya Muhammad ibnu Abdul Wahab, muncul  ajaran baru yang sama sekali bertentangan dan tidak sesuai dengan paham yang diajarkan baik oleh ayahnya maupun oleh masyayikh sekitar Najd saat itu yang notabene bermadzhab hambali. Bahkan kakaknya sendiri yang bernama Sulaiman ibnu Abdul Wahab menganggap ajaran yang dibawa oleh adiknya tersebut adalah ajaran yang nyeleneh. Kakaknya Sulaiman juga menulis dua buku berisi keritikan yang sangat pedas kepada ajaran yang dibawakan oleh adiknya Muhammad ibnu abdul Wahab. Ini merupakan bukti bahwa ajaran yang dibawa oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab memang penuh dengan kontroversi dari mulai munculnya hingga sekarang ini.
Mereka merubah nama kelompoknya menjadi kelompok Salafi dalam rangka strategi dakwah agar mudah diterima oleh masyarakat Indonesia. Salafi disini berbeda dengan istilah penamaan golongan tiga massa setelah Nabi Muhammad, yang sering kita kenal dengan golongan as-Salafu as-Sholih (ulama-ulama salaf) yaitu mereka kelompok para sahabat, tabi’in, dan tabi’at-tabi’in, karena jelas massa kemunculan golongan salafi ini jauh dari ketiga massa Salafuna as-Sholih. Pada dasarnya baik salafi maupun wahabi adalah sama, mereka sama-sama mengikuti ajaran yang dibawa oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab ibnu Sulaiman an-Najdi yang membawa misi memurnikan tauhid. Alhasil, kita akan menyebut golongan mereka dengan sebutan kelompok Salafi-Wahabi.
Bahkan Prof. Dr. Said Ramadhan al-Buthi dalam bukunya As-salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Madzhab Islami yang penulis kutip dari salah satu bukunya Syaikh Idahram, mengatakan bahwa wahabi mengubah strategi dakwahnya dengan berganti nama menjadi “salafi” karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan nama Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, yakni Muhammad ibnu abdul Wahab. Maka dari itu ada sebagian kaum yang menyebut mereka dengan sebutan Salafi Palsu atau Mutamaslif.
Ajaran mereka sebagian besarnya merujuk pada tokoh-tokoh yang memang kontroversial, seperti: Ibnu Taimiyah, Ibnu Abdul Wahab, Nashirudin al-Albani, Ibnu Utsaimin, Ibnu Baz, dan lain-lain baik dalam pendapat masalah akidah, manhaj, perilaku, maupun sikap. Sehingga dampaknya sering terjadi perpecahan, permusuhan, kedengkian, saling mengkafirkan, menjatuhkan, bahkan saling membunuh diantara umat Islam sendiri yang tidak sepaham dengan mereka. Dalam bukunya Syaikh idahram dengan jelas digambarkan betapa kejinya perlakuan mereka terhadap umat Islam sendiri, mereka membantai, membunuh ribuan umat Islam di Karbala, Thaif, Makkah, Madinah, Kuwait, bahkan mereka  membakar kitab orang-orang Sunni yang tidak sepaham dengan mereka, menghancurkan makam-makam sahabat, dan kekejaman-kekejaman lain dengan dalih mengatasnamakan jihad.
Counter dan Kritikan Buku Trilogi
Buku Bantahan dari Wahabi
Pertarungan ideologi wahabi semakin menarik ketika terbitnya buku yang ditulis oleh AM. Waskito yang berjudul “Bersikap Adil Kepada Wahabi”. Buku ini sengaja ditulis dalam rangka meng counter buku trilogi yang ditulis oleh Syaikh Idahram. Buku ini pula yang menganggap bahwa buku trilogi yang ditulis oleh Syaikh Idahram merupakan buku propaganda yang berisi fitnah-fitnah besar untuk mengadu domba dan melemahkan umat Islam.
Dituliskan dalam buku ini bahwa buku trilogi nya Syaikh Idahram termasuk karya yang banyak ditemukan modus kecurangan, diantaranya adalah terdapat kecurangan dalam referensi karena ada beberapa catatan kaki yang ditulis namun tidak dicantumkan dalam daftar pustaka, kemudian kecurangan dalam memaknai teks, kecurangan dalam menggunakan sistematika ilmiah, dan lain sebagainya. Karena buku trilogi Syaikh Idahram ini dianggap sebagai buku yang sengaja ditulis diatas kepentingan suatu kelompok.
Bagaimana Sikap Kita
Dalam buku trilogi yang ditulis oleh Syaikh Idahram pada dasarnya sudah sangat jelas dan gamblang siapa sebenarnya gerakan Salafi-Wahabi itu. Bahkan referensi yang digunakan juga sangat lengkap dan sangat objektif. Idahram tidak saja menggunakan referensi dari buku-buku yang Kontra dengan Wahabi, bahkan dia juga menggunakan buku-buku yang Pro dengan Wahabi. Bahkan ada beberapa pendapat dari orang-orang mantan pengikut Wahabi.
Berbeda jika kita membaca buku yang ditulis oleh AM. Waskito, karena justru kita akan merasakan sebuah kedengkian dan sebuah karya yang justru sangat subyektif. Hal itu tertbukti sebagian besar tulisannya hanya berisi kritikan terhadap buku trilogi yang ditulis oleh Syaikh Idahram. Tingkat akurasinya juga kurang, karena referensi yang digunakan justru hanya diambil dari buku-buku yang memang ditulis oleh orang-orang Wahabi sendiri. Penjelasan tentang kebenaran Wahabi berdasarkan dalil maupun hujjah yang digunakan untuk menguatkan golongan mereka justru tidak kita temukan disana, bahkan hampir tidak ada samasekali.
Menanggapi aliran Salafi-Wahabi dan gerakannya di Indonesia, kaum Nahdliyin harus lebih hati-hati dan lebih membentengi keyakinan kita masing-masing dengan tidak mudah terpengaruh oleh rayuan dan ajakan yang terlihat dari luar mungkin menarik. Karena gerakan mereka terlihat sangat halus melalui penampilan mereka yang terlihat sangat meyakinkan. Hal itu mereka lakukan karena memang gerakan Wahabi di luar Indonesia dikenal sangat keras, dan sangat kejam. Untuk mengelabui dan agar mudah diterima akhirnya mereka merubah strategi gerakannya dengan gerakan yang sangat halus, bahkan merubah namanya menjadi kelompok Salafi yang pada dasarnya keyakinan dan ajaran mereka sama dengan ajaran Wahabi.
Adanya perbedaan pendapat dalam tubuh umat Islam itu adalah wajar, karena perbedaan pada dasarnya adalah sebuah karunia dan rahmat dari Allah SWT. Artinya masih ada umat Islam yang mau berfikir dan mau mengajak kebaikan kepada orang lain. Namun perlu kita ingat pula bahwa perbedaan pendapat disini bukan berarti kita harus melakukan tindakan kekerasan apalagi saling membunuh sesama umat Islam karena beda keyakinan, madzhab, manhaj, maupun beda dalam imam yang diikutinya (taqlid).
Oleh: Al-Faqir Muhammad Alim Kahfi*
* Penulis adalah santri Ponpes Nurul Ummah Kotagede Yogyakarta

NU Online
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
- 0 komentar

Kejahatan Wahabi Yang Merombak Kitab al-Washiyyah Karya Imam Abu Hanifah


Tradisi buruk kaum Musyabbihah dalam merombak karya para ulama Ahlussunnah terus turun-temurun dan berlangsung hingga sekarang. Kaum Wahhabiyyah di masa sekarang, yang notabene kaum Musyabbihah juga telah melakukan perubahan yang sangat fatal dalam salah satu karya al-Imâm Abu Hanifah berjudul al-Washiyyah. Dalam Kitab berjudul al Washiyyah yang merupakan risalah akidah Ahlussunnah karya Imam agung, Abu Hanifah an Nu’man ibn Tsabit al Kufiyy (w 150 H),  beliau menuliskan :
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه واستقرار عليه
(Artinya; Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya).

Perhatikan manuskrip kitab al Washiyyah ini:
Namun dalam cetakan kaum Wahabi tulisan Imam Abu Hanifah tersebut dirubah menjadi:
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه واستقر عليه

Maknanya berubah total menjadi: ”Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy, dan Dia bertempat di atasnya”.
Anda perhatikan dengan seksama cetakan kaum Wahabi berikut ini:
Padahal, sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat, mengatakan bahwa Allah tidak membutuhkan kepada arsy, namun pada saat yang sama juga mengatakan bahwa Allah bertempat di atas arsy.
Yang paling mengherankan ialah bahwa dalam buku cetakan mereka ini, manuskrip risalah al-Imâm Abu Hanifah tersebut mereka sertakan pula. Dengan demikian, baik disadari oleh mereka atau tanpa disadari, mereka sendiri yang telah membuka ”kedok” dan “kejahatan besar” yang ada pada diri mereka, karena bagi yang membaca buku ini akan melihat dengan sangat jelas kejahatan tersebut.
Anda tidak perlu bertanya di mana amanat ilmiah mereka? Di mana akal sehat mereka? Dan kenapa mereka melakukan ini? Karena sebenarnya itulah tradisi mereka. Bahkan sebagian kaum Musyabbihah mengatakan bahwa berbohong itu dihalalkan jika untuk tujuan mengajarkan akidah tasybîh mereka. A’ûdzu Billâh. Inilah tradisi dan ajaran yang mereka warisi dari “Imam” mereka, “Syaikh al-Islâm” mereka; yaitu Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang seringkali ketika mengungkapkan kesesatan-kesesatannya lalu ia akan mengatakan bahwa hal itu semua memiliki dalil dan dasar dari atsar-atsar para ulama Salaf saleh terdahulu, padahal sama sekali tidak ada. Misalkan ketika Ibn Taimiyah menuliskan bahwa “Jenis alam ini Qadim; tidak memiliki permulaan”, atau ketika menuliskan bahwa “Neraka akan punah”, atau menurutnya “Perjalanan (as-Safar) untuk ziarah ke makam Rasulullah di Madinah adalah perjalanan maksiat”, atau menurutnya “Allah memiliki bentuk dan ukuran”, serta berbagai kesesatan lainnya, ia mengatakan bahwa keyakinan itu semua memiliki dasar dalam Islam, atau ia berkata bahwa perkara itu semua memiliki atsar dari para ulama Salaf saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan tabi’in, padahal itu semua adalah bohong besar. Kebiasaan Ibn Taimiyah ini sebagaimana dinyatakan oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam dua risalah yang ia tulisnya sebagai nasehat atas Ibn Taimiyah, yang pertama an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah dan yang kedua Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
Sesungguhnya memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Wa Allah A’lam Bi ash Shawab,
Wal Hamdu Lillah Rabb al Alamin,
- 0 komentar

Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (6)


sekte WahabiSebagai sekte yang di-create berdasarkan campur tangan non Muslim, penyimpangan dalam ajaran Wahabi yang tak hanya berdasarkan fatwa-fatwa Muhammad bin Abdul Wahab, tapi juga fatwa para ulamanya, seperti Syaikh Ali al-Kudhair, Syaikh ‘Aidh ad-Duwaisri, Syaikh Abdullah an-Najdi, dan Syaikh Nashir al-Fahd, luar biasa parahnya. Fatwa-fatwa itu bahkan cenderung nyeleneh dan berbahaya. Ini lah beberapa di antara fatwa-fatwa tersebut :
1. Fatwa Syaikh Ali al-Kudhair: Boleh berdusta dan bersumpah palsu demi agama (baca: Wahabi), khususnya bagi para da’i dan mubaligh.
2. Fatwa Syaikh ‘Aidh ad-Duwaisri: Boleh menipu Syi’ah dan orang-orang lain yang berfaham sesat (non Wahabi).
3. Fatwa Syaikh Sulaiman al-Kharasyi: Boleh merampok harta orang-orang sekuler, serta halal nyawa dan kehormatan mereka (persis seperti yang diyakini para teroris seperti Imam Samudera cs).
4. Fatwa Syaikh Ibnu Baz: Boleh menghancurkan website/situs seseorang atau lembaga tertentu, mencuri password dan memata-matai email demi dakwah Salafi Wahabi.
5. Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin: Fatwa jihad terhadap Syi’ah dan wajib melaknat mereka.
6. Fatwa Dewan Fatwa Tetap (Lajnah Da’imah): Haram menabur bunga di atas makam (Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melarang hal ini).
7. Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin: Haram belajar bahasa Inggris.
8. Fatwa Syaikh Nashir al-Fahd: Haram bertepuk tangan, haram ucapan salam dan penghormatan dalam latihan militer.
8. Fatwa Syaikh Abdullah an-Najdi: Haram bermain bola sepak.
9. Fatwa Syaikh Hamud ibnu Aqla asy-Syu’aibi: Halal nyawa dan kehormatan Abdullah ar-Ruwaisyid, penyanyi Kuwait.
10. Fatwa Ulama-ulama Besar Saudi (Hai’ah Kibar al-‘Ulama): Haram game Pokemon dan sejenisnya bagi anak-anak.
11. Fatwa Syaikh Utsman al-Khamis dan Sa’d al-Ghamidi: Haram penggunaan internet bagi kaum wanita.
Selain fatwa-fatwa yang aneh, nyeleneh, dan tidak masuk akal, para ulama Wahabi juga memiliki ajaran dan pendapat yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw, para sahabat, dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Misalnya;
1. Dalam kitab karangan Abdullah Ibnu Zaid, ulama Wahabi, yang berjudul al-Iman bi al-Anbiya’i Jumlatan (Beriman Kepada Semua Kitab) disebutkan kalau Adam a,s. bukanlah nabi dan juga bukan rasul Allah.
2. Dalam buku al-Qaulu al-Mukhtar li Fana’i an-Nar karangan Abdul Karim al-Humaid, ulama Wahabi, disebutkan bahwa neraka tidak kekal dan orang-orang kafir tidak diazab selamanya di neraka karena akan dipindahkan ke surga.
3. Dalam buku kaum Wahabi yang berjudul Fatawa al-Mar’ah disebutkan bahwa menceraikan istri ketika haid tidak menyebabkan jatuhnya talak (padahal ‘ijma ulama mengatakan, seorang suami yang menceraikan istrinya ketika sang istri sedang haid, maka talaknya tetap sah dan si istri menjadi haram bagi suaminya).
4. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa perempuan tidak boleh menyetir mobil (‘Ijma ulama mengatakan, perempuan boleh mengendarai mobil selagi tidak ada fitnah dan tetap terjaga aurat serta kehormatannya).
5. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa suara wanita di sisi lelaki ajnabi (bukan mahram atau orang yang boleh dinikahi) adalah aurat yang haram untuk didengar suaranya. Dengan kata lain, wanita haram berbicara di sisi laki-laki (di zaman Rasulullah Saw, perempuan dapat bertanya langsung kepada beliau tentang urusan agama. Ini berarti, dalam Islam, tak apa-apa perempuan berbicara di sisi laki-laki).
6. Dalam buku Halaqat Mamnu’ah karangan Hisyam al-Aqqad, ulama Wahabi, disebutkan bahwa mengucap zikir la illaha ilallah sebanyak seribu kali adalah sesat dan musyrik (padahal dalam Al Qur’an surah al-Azhab ayat 41 Allah berfirman; “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”)
7. Ibnu Utssimin, ulama Wahabi, berkata; “Ziarah kubur bagi wanita adalah haram, termasuk dosa besar, meskipun ziarah ke makam Rasulullah.” (padahal dalam ajaran Islam tak ada larangan wanita melakukan ziarah kubur, termasuk menziarahi makam Rasulullah Saw).
8. Dalam buku at-Tahqiq wa al-Idhah li Katsirin min Masa’il al-Haj wa al-Umrah karangan Abdul Aziz ibnu Abdullah ibnu Baz disebutkan bahwa memotong jenggot, apalagi mencukurnya, hukumnya haram (padahal Islam tidak melarang memendekkan jenggot agar kelihatan rapih, bahkan dianjurkan, karena Allah SWT mencintai keindahan)
9. Ibnu Baz dalam majalah ad-Dakwah edisi 1493 Hijriyah (1995 Masehi) yang diterbitkan Saudi Arabiah menyatakan, haram bagi perempuan muslim mengenakan celana panjang, meskipun di depan suami dan celana panjang itu lebar serta tidak ketat (Islam tidak melarang wanita memakai celana panjang. Apalagi di hadapan suami).
10. Dalam kitab al-Ishabah, al-Juwaijati, imam Masjid Jami’ ar-Raudhah, Damaskus, Syiria, disebutkan, ketika berada di Masjid ad-Daqqaq, Damaskus, salah seorang ulama Wahabi mengatakan, shalawat kepada Rasulullah Saw dengan suara nyaring setelah adzan hukumnya sama seperti seorang anak yang menikahi ibu kandungnya (Islam tidak melarang umatnya bershalawat setelah adzan).
11. Ibnu Baz mengatakan, mengucapkan kalimat shadaqallahu al-adzim (maha Benar Allah dengan segala firman-Nya) setelah selesai membaca Al Qur’an adalah bid’ah sesat dan haram hukumnya (Islam justru menganggap baik mengucapkan kalimat itu karena mengandung pujian kepada Allah, dan sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Ali-Imran ayat 95 yang bunyinya; “Katakanlah shadaqallahu (Maha Benar Allah (dengan segala firman-Nya).”)
Dari beberapa contoh di atas jelas sekali terlihat kalau ajaran Wahabi telah keluar dari Islam karena terlalu banyak fatwa para ulama dan ajarannya yang tidak sejalan, bahkan bertolak belakang, dengan ajaran Islam. Maka benar pula lah sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Az-Zakah bab al-Qismah yang penggalan sabdanya berbunyi; “ … Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya …” Subhanallah.
Tak ada yang abadi di dunia ini. Begitu pula dengan kejayaan Wahabi. Karena menganggap umat Islam selain pengikut ajarannya adalah kafir dan selalu memerangi, bahkan membunuhi umat Islam dengan dalih jihad fisabilillah, lambat laun antipati terhadap sekte ini meluas di seluruh wilayah Jazirah Arab, sehingga pada akhir abad 19 dakwah para ulama Wahabi tak laku lagi. Bahkan selalu dicerca dan dikecam.
Sadar kalau sektenya dalam bahaya, dengan didukung pemerintah Arab Saudi dan Inggris tentu saja, para ulama penerus Muhammad bin Abdul Wahab menggunakan jurus baru untuk tetap meng-eksiskan sekte ini di muka bumi. Apalagi karena sejarah Wahabi yang kelam dan kotor membuat tak sedikit pengikutnya yang menjadi risih setiap kali berhadapan dengan pengikut sekte Islam yang lain, terutama jika berhadapan dengan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dalam bukunya yang berjudul as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi mengungkapkan, Wahabi mengubah strategi dakwahnya dengan mengganti nama menjadi Salafi karena mengalami banyak kegagalan dan merasa tersudut dengan panggilan Wahabi yang dinisbatkan kepada pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh karena itu, sebagian muslimin menyebut mereka sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.
Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, penggunaan nama Salafi untuk Wahabi, sehingga sekte ini sekarang dikenal dengan nama Salafi Wahabi, pertama kali dipopulerkan oleh salah seorang ulama Wahabi yang bernama Nashiruddin al-Albani, seorang ulama yang dikenal sangat lihai dalam mengacak-acak hadist, dan juga seorang ahli strategi. Hal ini diketahui berdasarkan dialog Albani dengan salah seorang pengikutnya, Abdul Halim Abu Syuqqah, pada Juli 1999 atau pada Rabiul Akhir 1420 Hijriyah.
Selain mengganti nama, sekte ini juga mengubah strategi dakwahnya dengan mengusung platform dakwah yang sekilas, jika tidak dipahami benar maksud dan tujuannya, terkesan sangat indah, terpuji dan agung, yakni “kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah”. Apa yang salah dengan platform ini? Gampang dijawab.
Wahabi adalah sekte dengan ajaran yang bahkan oleh para ulama pengikut mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali dianggap sebagai ajaran sesat. Pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab, adalah seorang pria arogan, kasar, dan telah dicuci otak oleh Kementerian Persemakmuran melalui salah seorang agen mata-matanya, Hempher, sehingga telah menyimpang jauh dari ajaran Islam. Ulama-ulamanya pun, termasuk Ibnu Taimiyah, mengeluarkan fatwa-fatwa yang ganjil, nyeleneh dan juga tidak sesuai dengan ajaran Islam. Lalu, bagaimana mereka dapat mengajak setiap Mukmin kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang dijabarkan dan dijelaskan para ulama dalam hadist? Al Qur’an dan Sunnah yang mana yang mereka maksud?? Ibnu Taimiyah sendiri, karena fatwa-fatwanya yang nyeleneh dan menyimpang dari Islam, ditangkap, disidang, di penjara di Damaskus, dan meninggal di penjara itu. Sejarah mencatat, sedikitnya ada 60 ulama, baik yang hidup di zaman Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya, yang mengungkap kejanggalan dan kekeliruan fatwa-fatwa ulama Wahabi itu dan juga ajaran Wahabi.
Penggunaan nama salafi, sehingga kini Wahabi menjadi Salafi Wahabi pun wajib dipertanyakan, karena salafi merupakan sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf yang jika ditinjau dari segi bahasa bermakna orang-orang yang mendahului atau hidup sebelum zaman kita. Sedang dari segi terminologi, as-salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw dalam hadistnya; “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, berdasarkan hadist ini, as-salaf adalah para sahabat Rasulullah Saw, tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat) dan tabi at-tabi’in (pengukut Nabi setelah masa tabi’in, termasuk di dalamnya para imam mazhab karena mereka hidup di tiga abad pertama setelah Nabi saw. wafat). Maka jangan heran jika dalam bukunya as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi menyebut kalau sebagian muslimin menyebut Salafi Wahabi sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.
Yang juga perlu diwaspadai, kadangkala penganut ajaran Wahabi juga menyebut diri mereka Ahlus Sunnah, namun biasanya tidak diikuti dengan wal Jama’ah untuk mengkamuflasekan diri agar umat Islam yang awam tentang aliran-aliran/sekte-sekte/golongan-golongan dalam Islam, masuk ke dalam golongannya tanpa tahu sekte ini menyimpang, dan mengamini ajarannya sebagai ajaran yang benar. Karena itu penting bagi setiap Muslim untuk mempelajari sejarah agamanya, dan sekte-sekte yang berada di dalamnya.
***
Faham Salafi Wahabi masuk Indonesia pada awal abad 19 Masehi. Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, faham sesat ini dibawa oleh segelintir ulama dari Sumatera Barat yang bersinggungan dengan sekte ini ketika sedang menunaikan ibadah haji di Mekah.
Namun demikian, para ulama ini tidak menelan mentah-mentah ajaran Wahabi, melainkan hanya mengambil spirit pembaharuannya saja. Buku karya Syaikh Idahram itu bahkan menyebut, spirit yang diambil ulama Sumatera Barat dari faham Wahabi kemudian menjelma menjadi gerakan untuk melawan penjajah Belanda yang berlangsung pada 1803 hingga sekitar 1832 yang kita kenal dengan nama gerakan Kaum Padri dimana salah satu tokohnya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini tidak sekeras dan sekaku Wahabi karena dikulturisasi dengan budaya lokal, sehingga mudah diterima masyarakat.
Berkembangnya Wahabi di Indonesia sempat membuat sejumlah tokoh Islam kerepotan karena dituding sebagai pengikut sekte ini. Mereka yang sempat dicap sebagai Wahabisme adalah Syaikh Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad al-Islamiyah), KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan Abdul Munir Mulkhan (cendekiawan Muhammadiyah yang juga guru besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta), namun semua ini terbantahkan, karena KH. Ahmad Dahlan seorang sufi. Bahkan untuk membantah tuduhan bahwa ia penganut Wahabi, Syaikh Ahmad Surkati menulis begini; “Tangan saya gemetar ketika menulis bantahan ini. Bukan karena saya takut terhadap gerakan yang keras itu, melainkan karena saya memang tidak mengetahui, apalagi mengikutinya.”
Masih menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, pada 1995 Wahabi mulai memiliki media cetak di Indonesia dengan terbitnya Majalah Salafi yang dibidani Ja’far Umar Thalib dan kawan-kawan. Ja’far Umar Thalib juga kita ketahui sebagai Panglima Laskar Jihad.
Saat ini Wahabi telah terpecah menjadi dua faksi, yakni Salafi Yamani dan Salafi Haraki. Selain berjenggot dan mengenakan celana yang menggantung di atas tumit, para pengikut Wahabi dapat dikenali dari ciri-ciri sebagai berikut :
1. Selalu menggerak-gerakkan jari telunjuk naik turun saat tasyahhud awal maupun akhir (padahal Rasulullah Saw tidak pernah melakukan hal ini, karena seperti dijelaskan para ahli fikih, yang dimaksud menggerakkan jari telunjuk saat tasyahhud adalah dari kondisi tangan menggenggam, telunjuk digerakkan hingga menunjuk ke depan (isyarah). Hanya itu, dan tidak digerak-gerakkan terus menerus. Apa yang dilakukan pengikut Wahabi adalah bid’ah)
2. Sesuai doktrin sekte ini, pengikutnya diberikan penggambaran bahwa seperti halnya manusia, Allah SWT juga memiliki wajah, dua mata, mulut, gigi, dua tangan lengkap dengan telapak tangan dan jari-jemari, dada, bahu, dan dua kaki yang lengkap dengan telapak kaki dan betis. Allah berupa seorang pemuda berambut gelombang dan berpakaian merah. Allah duduk di atas Arasy seperti layaknya manusia duduk di kursi. Dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan turun dari langit yang satu ke langit yang lain. Jika Allah duduk di Arasy, maka akan terdengar suara mengiuk seperti bunyi pelana kursi unta yang baru diduduki (doktrin ini mirip doktrin dalam Kristen, dimana Isa a.s yang dianggap sebagai anak Tuhan merupakan seorang pemuda dengan rambut bergelombang dan berselendang merah).
3. Pengikut sekte ini memiliki didoktrin bahwa tauhid dibagi tiga, yakni tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât , sehingga diyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih baik, lebih bertauhid, dan lebih ikhlas dalam beriman kepada Allah SWT daripada umat Islam (padahal dalam Al Qur’an kedua tokoh ini justru dilaknat Allah SWT).
4. Selalu berbeda dalam menentukan hari-hari penting. Misalnya, berpuasa hanya 28 hari di bulan Ramadhan (Ahlus Sunnah wal Jama’ah 29 atau 30 hari), dan pada 1419 Hijriyah (1999 Masehi) menetapkan bahwa waktu wukuf di Arafah bagi jemaah haji pada 17 Maret, padahal para ahli falak berdasarkan hilal menetapkan bahwa waktu wikuf pada 18 Maret.
5. Sangat kaku dan sangat letterlijk (terlalu harfiah) dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan hadist (padahal Islam sangat fleksibel. Apalagi karena Islam diturunkan Allah sebagai rahmatan lil alamin).
6. Mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham, dan mudah menuding apa yang dilakukan umat Islam sebagai bid’ah dan musyrik, seperti misalnya melakukan ziarah kubur dan mengucapkan “shadaqallahu al-adzim” setelah membaca Al Qur’an.
(Tamat)
- 0 komentar

Wahabi Memalsukan Kitab Para Ulama Salaf


buku aswajaBuku ini bagus sekali untuk membentengi aqidah ASWAJA dari virus-virus wahabi, merupakan kelanjutan dari jilid pertamanya yang berjudul Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi. Mungkin ada yang beranggapan bahwa isu wahabi merupakan isu jadul yang sengaja dihembuskan kembali. Tetapi kesimpulan seperti itu tidak berhenti di situ saja jika melihat perkembangan dan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Artinya wahabi bukan cuma sekedar isu, tetapi juga fenomena sosial yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan akademik. Sama seperti jika kita membicarakan ideologi, agama, dan sebagainya. Ada berbagai macam isu yang terus berkembang dan tidak pernah stagnan.
Menguatnya pembicaraan tentang Wahabi tidak urung lagi berkaitan erat dengan kian banyaknya pemberitaan dan literatur penelitian yang membahas hal ini. Seperti yang dikatakan Azyumardi Azra dalam pengantar buku jilid ke-2, mengenai penelitian terbaru seputar Wahabi, yakni buku karya Natana J. Delong-Bas, Wahabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad (Oxford-Cairo: Oxford University Press, 2005). Wahabi merupakan aliran pemikiran dan gerakan politik yang paling tidak toleran dalam Islam, yang berusaha dengan cara apapun –termasuk jalan kekerasan- untuk menerapkan apa yang dianggap oleh mereka sebagai “Islam Murni”. Ini bisa terlihat dari pemikiran dan kiprah Muhammad Ibn Abd al-Wahab di tanah Hijaz sejak abad ke-18, yang menguasai lanskap keagamaan di Saudi Arabia setelah menduduki Mekkah dan Madinah bersama dengan trah Saud.
Semua golongan yang dianggap telah melakukan Bid’ah atau kesesatan dibasmi dengan menggunakan segala cara termasuk dengan kekerasan. Sampai kini Wahabi tetap dianut dan diterapkan dalam sistem pemerintah Saudi Arabia, demikian pula dengan penyebaran atau mengimpor ajaran itu ke seluruh dunia Islam juga terus digencarkan, seperti melalui pemberian dana dan bantuan lainnya kepada institusi, organisasi, dan kelompok-kelompok dalam komunitas muslim. Dalam bidang akademis, salah satu caranya dengan membagikan literatur karangan Muhammad Ibn Abd al-Wahab agar proses transmisi keilmuan, pola pikir, dan gerakan mereka terealisasi dengan baik.
Pada buku kedua ini, sang penulis buku membeberkan bagaimana kelompok Wahabi berupaya memalsukan buku-buku karya ulama klasik dan sejumlah ajaran-ajaran yang menjadi pondasi dasar keyakinan mereka. Misalkan pemalsuan kitab Diwan Imam al-Syafi’i. Kelompok Wahabi sangat membenci kaum sufi yang mereka tuding sesat, karena itu mereka menghilangkan beberapa bagian nasihat Imam Syafi’I tentang sufistik dalam buku versi terbitan mereka. Padahal di buku-buku lainnya versi penerbit lain yang berasal dari Beirut, Damaskus, dan Kairo.
Imam Syafi’I berujar: “Jadilah ahli Fikih dan Sufi Sekaligus, jangan hanya salah satunya. Sungguh demi Allah, saya benar-benar ingin memberi nasihat kepadamu. Orang yang hanya memelajari ilmu fikih tetapi tidak memelajari ilmu tasawuf, maka hatinya keras dan tidak dapat merasakan nikmatnya takwa, sebaliknya orang yang hanya memelajari tasawuf saja akan menjadi bodoh, tidak tahu yang benar.”
Bait ini kemudian dihilangkan oleh penerbit-penerbit buku di Saudi. Selanjutnya demikian pula dengan kitab hadis Shahih Bukhari, seperti penghilangan pasal al-Ma’rifah pada Bab al-Mazhalim, padahal dalam kitabFath al-bari karya Ibn Hajar al-Asqalani yang menjadi Syarh atau berfungsi untuk menjelaskan kitab Shahih Bukhari, di situ ditulis jelas mengenai komentar Ibn Hajar mengenai hadis-hadis yang terdapat di dalam pasalal-Ma’rifah. Kemudian pada kitab Shahih Muslim ada sebuah hadis tentang keutamaan empat perempuan terbaik di dunia yakni; Siti Maryam (Ibunda Nabi Isa), Siti Asiah (Istri Firaun, ibunda angkat Nabi Musa), Siti Khadijah, dan Siti Fatimah. Tetapi dalam cetakan penerbit Saudi, Masykul, justru hadis yang tercantum dalam bab Fadhail Khadijah (keutamaan Khadijah) itu dihilangkan. Malah yang dicantumkan adalah hadis tentang keutamaan istri Nabi yang bernama Aisyah. Mengapa hal ini terjadi, disinyalir hadis tersebut jika dicantumkan maka kaum Syi’ah dapat menemukan justifikasi tentang keutamaan Khadijah yang melahirkan Fatimah sebagai keluarga (Ahl Bait) Nabi, sebaliknya Aisyah dalam Perang Unta pernah berperang melawan Ali yang menantu Nabi serta suami Fatimah. Oleh karena itu mereka menghapus hadis itu dan mengganti dengan hadis tentang Aisyah namun malah memasukkannya di bab Fadhail Khadijah. Padahal hadis ini juga diriwayatkan oleh Ibn Katsir dan diriwayatkan dalam kitab Ibn Katsir yang notabene dibilang termasuk dari kalangan Sunni.
Selain membeberkan beberapa penghilangan teks tulisan dari naskah-naskah klasik. Kelompok Wahabi juga mempunyai beberapa ajaran lain yang menjadi pondasi dasar. Salah satunya yaitu membenci ilmu sains yang dikatakan sebagai ilmu orang-orang kafir. Makanya ketika kita menghadiri pengajian kaum Salafi Wahabi, biasanya apa yang disebut ilmu hanya dalam kerangka ilmu ketuhanan yang meliputi tauhid, al-Qur’an dan Sunnah, dan cara-cara beribadah ritual belaka. Sementara ilmu lainnya tidak dapat disejajarkan dengan hal itu apalagi digunakan sebagai pendekatan untuk meneliti teks-teks utama Islam seperti al-Qur’an dan Sunnah.
Semisal dalam karangan salah satu ulama Saudi Abd al-Karim Ibn Shalih al-Humaid yang mengarang bukuHidayah al-Hairan fi Mas’alati al-Dauran, dikatakan bahwa keyakinan tentang bumi berputar merusak akidah mereka. Mereka keberatan jika bumi dikatakan berputar dan mengelilingi matahari. Karena menurut akidah mereka, Allah turun ke langit bumi ini setiap sepertiga malam yang terakhir sebagaimana dikatakan oleh teks utama. Namun mereka memahami secara literal-tekstual benar-benar turun ke bumi dari kursi Arasy. Maka jika bumi berputar berarti Allah tidak akan naik ke Arasy, sebab dengan adanya perputaran bumi setiap bagian bumi mengalami siang dan malam secara bergantian. Lantas kalau Allah tidak bisa naik kembali keArasy, kursi Arasy pun akan menjadi kosong. Dengan demikian mereka menolak pengetahuan yang mengajarkan tentang bumi yang berputar ini.
Dalam buku itu dikatakan: “Sesungguhnya di antara musibah yang merata terjadi di zaman sekarang ini adalah masuknya ilmu-ilmu kontemporer kepada umat Islam dari yang sesungguhnya menjadi musuh-musuh mereka, yaitu golongan Dahriyah dan Mu’aththalah (golongan orang yang tidak mengartikan teks agama secara tekstual), dan adanya dominasi ilmu-ilmu tersebut atas ilmu-ilmu agama. Ilmu kontemporer ini ada dua macam: pertama, ilmu mafdhulah yang mendominasi syariat Islam dan melemahkannya, maka ilmu itu diharamkan. Kedua, ilmu yang merusak akidah, seperti ilmu yang mengatakan bumi itu berputar dan yang lainnya dari ilmu-ilmu kafir.”
Dalam halaman lain Ibn Shalih al-Humaid juga menyatakan: “keyakinan bumi berputar jauh lebih berbahaya dari keyakinan manusia berasal dari kera… Semua dalil dari al-Qur’an dan Sunnah tentang bumi itu berputar adalah takwilan yang sesat.”
Syaikh Ibn Baz juga mengatakan hal yang sama tentang sesatnya keyakinan bumi berputar. Bahkan dia menyatakan bahwa orang yang bersikeras mengatakan bumi itu berputar maka orang itu murtad, halal nyawanya dan hartanya. Pendapat Ibn Baz ini terekam dalam kitab karangannya, al-Adillah al-Naqliyah wa al-Hissiyyah ‘ala Jaryan al-Syams wa Sukun al-Ardh (Dalil-Dalil Naqli dan Inderawi tentang Berputarnya Matahari dan Diamnya Bumi). Pada tahun 1976 melalui Dewan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, fatwa serupa juga dikeluarkan bahwa, “Sesungguhnya keyakinan yang mengatakan bahwa matahari tetap dan bumi berputar adalah perkataan yang sangat keji dan munkar. Siapa saja yang mengatakan bumi berputar dan matahari tidak berjalan, maka dia telah kafir dan sesat. Dia wajib diminta bertaubat. Itu jika dia mau bertaubat, jika tidak maka dia dibunuh sebagai kafir murtad, dan harta yang ditinggalkannya menjadi milikBaitul Mal kaum muslimin.” (Fatwa ini dikeluarkan oleh lembaga fatwa Saudi Arabia, Idarat al-Buhuts al-Amah wa al-Ifta’ wa al-Da’wah wa al-Irsyad dengan nomor fatwa 1/2925 tertanggal 7/22/1397 H).
Membaca  beberapa fatwa lain dari para ulama Saudi dalam buku ini, menandakan bahwa fenomena-fenomena yang terjadi dalam kondisi keragaman komunitas muslim dewasa ini, termasuk isu mengenai Wahabi yang tentunya tidak mungkin direduksi pada tataran isu semata. Maka perlu kiranya dalam penelusuran mengenai Wahabi tidak berhenti dengan mencantumkan aspek normatif, tetapi juga tidak kalah penting menelusuri bagaimana fenomena penyebaran ajaran Wahabi di Indonesia, semisal melalui media televisi berupa sinetron dan film bertema-tema keagamaan, serta beberapa media cetak dan radio. Mungkin hal itu dapat diteliti oleh si penulis pada buku jilid selanjutnya yang katanya akan segera terbit dalam waktu dekat. Hal tersebut dimaksudkan agar dinamika pergolakan di tengah umat akan terpetakan semakin jelas dan kentara, sehingga tidak bisa dengan gampang dimatikan begitu saja dengan atas nama kesatuan dan keseragaman, karena dalam melihat fenomena pasti ada perdebatan dan beragam cara baca untuk menelaahnya.

Judul Buku: Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2011
Penulis: Syaikh Idahram
- 0 komentar

Saudi + Wahabi = Salafi


sekte berdarah Buku ini menyingkap hal-hal penting di balik wabah pengkafiran atau menyebut orang lain kafir, pembid’ahan, penyesatan, dan gerakan-gerakan semacamnya di antara umat muslim yang marak belakangan ini, khususnya di Indonesia. Dalam pengantar buku ini, Said Agil Siradj berpendapat bahwa sejak 37 Hijriah, gerakan-gerakan tersebut telah dijumpai di dunia Islam. Terutama dengan kemunculan kalangan Khawarij sebagai kelompok oposisi, baik terhadap Ali dan pendukung (Shi‘at) beliau. Demikian pula terhadap Mu‘awiyah. Bahkan benihnya telah ada pada masa Nabi, ketika di bulan Syawal tahun 8 Hijriah, seusai Nabi memenangkan perang Thaif dan Hunain. Dalam perang ini diperoleh harta rampasan atau ghanimah yang melimpah. Dalam pembagian yang dilakukan di Ja‘ranah, para sahabat senior seperti Abu Bakar, Uthman, Ali, dan Umar Ibn Khattab tidak mendapatan bagian, namun sahabat yang baru menjadi muallaf alias masuk Islam, justru lebih diprioritaskan oleh Nabi, termasuk di antara mereka yang sesungguhnya berasal dari kalangan kaya raya.
Tiba-tiba seseorang bernama Dzul Khuwaishirah dari keturunan Bani Tamim maju ke depan dan berkata, “Berlaku adillah, hai Muhammad!”, lantas Nabi menjawab: “Celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil kalau aku saja tidak berbuat adil?”, sementara Umar yang naik pitam berkata, “Wahai Rasul, biarkan kupenggal saja lehernya.” Nabi menjawab, “Biarkan saja!” ketika orang itu berlalu, Nabi berkata pada sahabatnya, “Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari Islam seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Kalau aku menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti kaum ‘Ad.” (HR. Muslim pada Kibat al-Zakah, bab al-Qismah). Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Mereka itu sejelek-jeleknya mahluk bahkan lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk dalam golonganku, dan aku tidak termasuk dalam golongan mereka.”
Secara antropologis, kaum Khawarij adalah suku nomad yang melakukan migrasi ke daerah Eufrat pada saat penaklukan Islam ke kawasan tersebut. Kebanyakan dari mereka berasal dari suku Tamim yang memiliki cara berfikir nomad, yaitu menerima sesuatu dengan penuh keyakinan dan berani. Lebih dari itu, kaum Khawarij memiliki karakter zuhud dan ahli ibadah sebagaimana ditunjukkan oleh pemimpinnya Abdullah bin Wahab yang terkenal dengan julukan Dzuts-Tsafanat(orang yang didahinya ada tanda sujud). Karakter ini membuat mereka kukuh dalam mempertahankan pendiriannya. Dengan modal kesalehannya, mereka mampu menyakinkan masyarakat Kufah dan sebagian kalangan Shi’ah untuk bergabung bersamannya. (Rasul Ja’farian, History of The Caliphs: From The Death of The Messenger(s) to the Decline of the Umayyad Dynasty 11-132 AH. Ansarian, 2003).
Penamaan Khawarij berasal dari kata kerja kharaja (telah keluar) yang digunakan untuk menggambarkan mereka sebagai kelompok yang keluar dari dan menentang kebijakan politik Ali tentang Tahqim di mana mereka sebelumnya merupakan pengikutnya. Namun, mereka sendiri menamakan dirinya dengan Syurah (pembeli) yang berarti membeli akhirat dengan kehidupan duniawi. (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971). Sebutan lainnya adalah Haruriyah, penisbatan pada nama desa Harurahdekat sungai Furat kota Riqqah yang didiaminya lantaran mereka tidak mau tinggal di Kufah pasca Perang Shiffin. Di samping itu ada sebutan lainnya bagi golongan ini, yaitu Muhakkimah, adalah golongan yang memiliki pandangan, bahwa “tidak ada hukum selain Allah”.
Secara formal kelompok ini pertama kali dipimpin oleh Abdullah ibnu Wahab al-Rasibi sebagai hasil pemilihan di rumah Zaid ibnu Husein oleh Abdullah ibnu Kawwa’, Urwah Ibnu Djarir, dan Yazid ibnu ‘Ashim. Kepemimpinan ini menandai awal gerakan militer Khawarij yang kemudian melahirkan Perang Nahrawan (daerah yang terletak antara kota Wasith dan Baghdad), yaitu perang antara Khawarij dan Khalifah Ali. Perang ini melahirkan implikasi penyebaran pengikut Khawarij di berbagai tempat di luar Irak sebagai konsekuensi logis dari pelarian sejumlah kader Khawarij dari kekalahan Perang Nahrawan. (Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani –w. 548 H-al-Milal wa al-Nihal. Cet. 3, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1993).
Sebagai sebuah entitas Khawarij memiliki sejumlah karakter. Pertama, memiliki sifat zuhud, wara’,gemar dan berlebih-lebihan dalam beribadah. Ibn Abbas ketika datang pada Khawarij saat diutus Ali berkata: “kening mereka luka-luka karena terlalu lama sujud, dan tangan mereka seperti kaki unta lantaran terlalu banyak sujud.” (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 389).
Kedua, suka berperang dan menggunakan cara kekerasan, yaitu seperti memaklumkan perang terhadap setiap orang di luar golongan mereka, mengkafirkan orang: “kalau imam telah kafir, maka kafir pulalah rakyat seluruhnya.” (A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971, hal. 115).
Ketiga, memiliki kesetiaan yang tinggi. Misalnya dalam kasus perang di Asak antara Ubaidillah ibn Ziyad dengan tentara 2000 orang dari pihak Umayyah versus Mirdaz Abu Bila dengan tentara 40 orang dari pihak Khawarij. Ubaidillah ibn Ziyad tidak jadi membunuh Mirdaz, sebagai gantinya diserahkan pada petugas penjara, tetapi petugas penjara memberi kesempatan tinggal di rumahnya pada siang hari, sedangkan pada malam hari kembali ke penjara. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. 310 H-, Tarikh al-TabariJuz. V, hal. 232).
Keempat, kesederhanaan dan kedangkalan kognitif. Al-Qur’an dijadikan dasar halalnya membunuh. Mereka selalu mengeluarkan dalil surat al-An’am: 57, bahwa tidak ada hukum selain kepunyaan Allah, dan surat al-Maidah: 33, bahwa barang siapa tidak menghukum menurut hukum Allah, maka mereka adalah kafir. Dan bagi siapa saja yang dianggap kafir maka boleh dibunuh, bahkan wanita dan anak-anak boleh dibunuh. Lebih-lebih ketika menyangkut wilayah kepentingan politik. Pembunuhan terhadap Abdullah Ibnu Khabbab karena mengakui kekhalifahan Ali adalah contoh paling awal dari sketsa sejarah kekerasan Khawarij. (Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 390). Bukti lainnya adalah keluar dari koalisi Ibnu Zubair karena dia tidak mau mengakui kekafiran Utsman, Ali, Zubair, dan kepemimpinan Aisyah ketika berseteru dengan Ali. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. , Tarikh al-Thabari, juz. IV, hal. 437).
Khawarij kemudian berkembang menjadi beberapa kelompok seperti al-Zariqah, al-Ibadiyah, al-Najdat, dan al-Shufriyah. Lalu apa hubungannya dengan berdirinya dinasti Saud di Arab Saudi dan juga kelompok yang terkenal dengan sebutan Salafi Wahabi? Buku ini tidak terlalu banyak mengeksplor benang merah antara keduanya. Sebenarnya banyak penelitian lainnya yang menjelaskan hal tersebut, seperti David Commins, The Wahabi Mission and Saudi Arabia, London: I.B. Tauris, 2006. Olivier Roy, Globalized Islam: The Search for a New Ummah. Sa’id Ramadhan al-Buthi, al-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.
Sebenarnya istilah Salafi sudah dikenal dalam literatur kitab-kitab klasik. Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada generasi awal pada tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah. Namun demikian, saat ini penggunaan istilah Salafi tercemar oleh propaganda kelompok yang gencar melakukan klaim sebagai satu-satunya kelompok pewaris kaum Salaf. Karena itu Olivier Roy menyebut kelompok-kelompok yang mengusung tema atau mengenakan istilah Salaf belakangan ini, disebut sebagai neo-Salafisme. Hasan Ibn Ali al-Segaf dalam bukunya al-Tandid bi Man ‘Addad at-Tauhid menyebut gerakan-gerakan tersebut sebagai Mutamaslif (Meniru-niru seolah Salaf). Lalu keterkaitan antara Salafi dengan Wahabi, terletak pada tataran praksis di mana kelompok Wahabi merasa tersudutkan oleh penisbatan Barat dan kalangan muslim lainnya yang melekatkan gerakan dakwah mereka kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab. Oleh karena itu mereka menggunakan istilah Salaf dalam berdakwah, maka kemudian terkenal istilah dakwah Salaf yang kini kian menjamur di Indonesia sebagai tren baru.
Dalam pandangan penulis buku ini, Salafi Wahabi bukanlah khawarij, namun memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, alias mempunyai sisi kesamaan. Seperti sikap tanpa tedeng aling yang kerap ditunjukkan dalam memerangi hal-hal yang mereka anggap sesat, syirik, dan sebagainya. Propaganda mereka tidak hanya melalui buku, dan radio, tapi juga secara aktif di masyarakat, seperti masjid-masjid dan sarana pendidikan. Demikian pula dengan mengeluarkan fatwa-fatwa atau pernyataan sesat terhadap sesama muslim yang bertentangan dan berbeda dengan pemahaman mereka. Di antara fatwa-fatwa mereka adalah;
1. Haram memotong jenggot apalagi mencukurnya.
2. Haram wanita mengendarai mobil.
3. Haram wanita berbicara di sisi lelaki.
4. Zikir La ilaaha illallah seribu kali sesat dan musyrik.
5. Shalawat setelah azan dosanya sama dengan perzinaan.
6. Kalimat Shadaqallahu al-Azhim Bid’ah dan sesat.
7. Lelaki haram mengajar anak perempuan, dan perempuan haram mengajar anak lelaki.
8. Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah tak boleh dinikahi.
9. Haram membangun menara masjid.
10. Ucapan selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya berdosa.
11. Ucapan selamat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha seperti Kullu ‘Amin wa Antum Bi Khair(semoga setiap tahun anda berada dalam kebaikan) adalah sesat.
12. Haram wanita berpergian sendiri walaupun dalam kondisi aman.
13. Haram menggunakan Tasbih.
Selain itu masih banyak fatwa lainnya yang berada pada tataran mu’amalat dan tidak dicantumkan dalam buku tersebut, seperti fatwa dua orang ulama Saudi, Sheikh Othman Al-Khamees dan Sa’adal-Ghamidi yang melarang kaum perempuan memakai internet atau mendatangi tempat-tempat penyewaan jasa internet kecuali disertai mahramnya. Kemudian fatwa yang dikeluarkanGeneral Association of Saudi Senior Ulama tentang keharaman memberikan bunga saat menjenguk orang yang terbaring sakit karena perilaku itu menyerupai tradisi dan budaya umat non-muslim.
Ada pula fatwa bernuansa kepentingan dan motif ekonomi dari ulama Saudi Arabia yang mengharamkan penggunaan bahan bakar bio fuel dikarenakan dalam bio fuel tersebut terdapat zat ethanol yang dijumpai pada minum beralkohol, oleh karena itu mereka mengharamkan penggunaan bio fuel meskipun industri otomotif mulai beralih untuk memproduksi kendaraan-kendaraan berbahan bakar bio fuel dalam rangka mendukung gerakan ramah lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global. Fatwa ini dikeluarkan oleh Sheikh Muhammad al-Najimi, seorang anggota dari Islamic Jurisprudence Academy, berdasarkan dalil ayat tentang keharaman arak atau minuman beralkohol, dan hadis Nabi yang melarang segala jenis transaksi yang mengandung alkohol tersebut. Akan tetapi fatwa ini dikatakan sebagai pendapat pribadi, bukan merupakan fatwa resmi (Official Fatwa) lembaga fatwa negara.
Di Indonesia sendiri, fenomena gerakan dakwah ormas-ormas Islam banyak yang memiliki karakteristik serupa, mereka sering dilabeli berbagai macam sebutan, dari konservatif, skriptural, tekstual, literal, fundamentalisme, revivalisme, dan sebagainya. Melimpahnya kategorisasi ini setimpal dengan penolakan-penolakan atas labelisasi tersebut. Tetapi secara empirik, keberadaan tipikal dakwah puritanisme ala Salafi Wahabi, benar-benar ada di Indonesia. Oleh karena itu penulis buku ini turut melansir beberapa nama, baik tokoh maupun lembaga yang menaungi propaganda atau seide dengan paham Salafi Wahabi tersebut.
Judul buku: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi
Penulis: Syaikh Idahram
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2011
Anda mungkin juga meminati:
- 0 komentar

Kudeta Mekkah: Sejarah Yang Tak Terkuak


Sejarah Yang Tak Terkuak
SINOPSIS BUKU – Kudeta Mekkah : Sejarah Yang Tak Terkuak
Pada 20 November 1979, sebuah peristiwa besar terjadi di Kota Suci Mekkah. Sekelompok orang bersenjata pimpinan Juhaiman al-Utaibi, seorang Islamis radikal, menguasai Masjid al-Haram. Mereka memprotes kebobrokan Pemerintah Arab Saudi dan aliansinya dengan Barat. Gejolak politik di tanah suci meledak. Lalu, baku tembak antara pengikut Juhaiman dengan tentara Arab Saudi pun tak terelakkan.
Mulanya, tentara Saudi dibuat keteteran oleh perlawanan Juhaiman dan pengikutnya. Tetapi akhirnya, dengan bantuan beberapa pimpinan militer Prancis, tentara Saudi berhasil melumpuhkan “pemberontakan” kelompok Islam radikal tersebut. Sebagai hukumannya, Juhaiman dan pengikutnya yang tertangkap hidup-hidup kemudian dipenggal kepalanya, eksekusi penggal kepala ini dilaksanakan di beberapa kota di Saudi sebagai peringatan bagi siapa pun yang berusaha makar terhadap pemerintah. 
Merujuk fatwa para ulama berpengaruh, Pemerintah Saudi mendakwa mereka melakukan tindakan sesat: mendeklarasikan munculnya Imam Mahdi yang tewas dalam pertempuran itu sebagai penyelamat dunia; serta menguasai dan menjadikan Masjid al-Haram, tempat tersuci umat Muslim, sebagai medan pertempuran dan kekerasan, yang sangat jelas dilarang oleh agama.
Peristiwa itu menjadi bagian penting dari sejarah modern Kota Mekkah. Meski demikian, kebanyakan orang, terutama kaum Muslim, tak paham apa yang sejatinya terjadi saat itu. Maklum, ketika peristiwa itu berlangsung, Pemerintah Saudi melarang keras media massa meliput dan memberitakannya. Tak hanya itu, jaringan telepon, telegram, dan surat-menyurat pun diputus. Alhasil, tak ada celah bagi siapa pun untuk dapat mengakses peristiwa itu dari luar tempat kejadian.
Pada tahun 2006, dua puluh tahun kemudian, Yaroslav Trofimov berusaha menyusun kembali serpihan sejarah atas kejadian itu. Untuk menyibak detail peristiwa yang tak terkuak khalayak itu, Trofimov memburu sumber-sumber penting dan tepercaya, antara lain: pelaku ‘gerakan 1979’ yang masih hidup; Paul Barril, kepala misi pasukan Prancis saat itu; tentara Arab Saudi; Perpustakaan British, satu-satunya tempat di Eropa yang menyimpan pelbagai surat kabar Saudi tahun 1979; arsip Pemerintah AS dan Inggris yang berisi laporan rahasia dari para diplomat dan mata-mata; serta CIA dan British Foreign Office.
Para pengamat politik dan sejarawan menganggap kejadian itu sebagai insiden lokal semata dan karena itu tak bersangkut-paut dengan peristiwa internasional yang belakangan merebak: terorisme.
Tetapi penulis buku ini, Yaroslav Trofimov, berpendapat sebaliknya. Menurutnya, peristiwa itu merupakan akar sejarah gerakan terorisme global, terutama yang dimotori al-Qaeda. Siapa dan di mana Osama Bin Laden kala itu, sehingga petinggi al-Qaeda ini dihubung-kaitkan dengan peristiwa tersebut? Padahal ketika peristiwa itu terjadi, keluarga besar Bin Laden termasuk dalam barisan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mendukung penumpasan gerakan 1979.
***
YAROSLAV TROFIMOV adalah koresponden luar negeri The Wall Street Journal. Ia banyak melaporkan tulisannya ihwal agama dan perubahan sosial di wilayah negara Muslim, termasuk Indonesia. Sebelum hijrah ke Amerika Serikat untuk belajar jurnalisme dan ilmu politik di New York University, pria kelahiran Kiev, Ukraina, tahun 1969 ini menghabiskan masa kecilnya di Madagaskar, Afrika. Karyanya, Faith at War: A Journey on the Frontlines of Islam, from Baghdad to Timbuktu, termasuk salah satu buku terbaik versi The Washington Post.
***
Belum pernah ada tinjauan atas peristiwa 20 November 1979—tidak juga atas tragedi 11 September 2001—yang dilaporkan dengan kemampuan jurnalistik dan tutur sejarah, seperti yang ada dalam karya Yaroslav Trofimov ini. Pada awal abad ke-15 Hijriyah, sebuah kelompok bersenjata pimpinan seorang Islamis radikal bernama Juhaiman al-Utaibi menguasai Masjid al-Haram di Kota Suci Mekkah, salah satu tempat tersuci umat Islam. … Butuh waktu 30 tahun untuk bisa memahami peristiwa ini dalam konteksnya, dan Trofimov bekerja sangat baik dalam memaparkannya secara gamblang.
—Kirkus Review
Trofimov merekam sebuah insiden yang tak terpublikasi di Barat: kekerasan dalam pengambil-alihan tempat tersuci umat Islam oleh kaum Muslim fundamentalis pada 1979. Trofimov begitu ahli dalam merangkai cerita sejarah, memadukan teologi mesianistik dengan kekerasan pada tempatnya, serta sangat berani dalam membongkar praktek korupsi yang sangat parah dari suatu negara dengan komplisitas institusi agama. Trofimov dengan tepat menunjukkan masalah-masalah regional yang akut, dengan reaksi abadi terhadap perang melawan teror… Pembaca awam akan sangat terbantu oleh buku ini, untuk memahami kaum fundamentalis Muslim dalam kaitannya dengan terorisme.
—Publishers Weekly
Yaroslav Trofimov telah menulis karya yang sangat mengesankan. Diramu dengan begitu hidup, untuk detail-detail peristiwa yang tak tersingkap di masa lalu. Dia mengungkap krisis sandera yang sangat sedikit diketahui di jantung dunia Muslim…. Setelah mulai membaca buku ini, saya pun tak kuasa meletakkannya.
—Rajiv Chandrasekaran, asisten editor pada The Washingtong Post.
Ketika Yaroslav Trofimov memaparkan dengan begitu lengkap dan kuat, kebanyakan partikel radioaktif di dunia kini bukan lagi berada di Korea Utara, Iran, atau bahkan Amerika Serikat. Namun, ada kontradiksi lain yang lebih mengerikan, yakni kerajaan Arab Saudi. … dan dia mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang terjadi atau yang bakal terjadi di sana adalah sumber utama perhatian dunia.
—Tom Bissell, editor pada Virginia Quarterly Review.
Penelitian Trofimov mengenai pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah oleh kelompok militan Islam dimulai dengan mengetahui seluruh ancaman politik yang menakutkan. Penulis lalu menguji bagaimana aksi jihad global ini, yang diberitakan di Barat, menginspirasi generasi teroris hari ini. Trofimov, seorang reporter Wall Street Journal, memberi konteks melalui sebuah sejarah yang hidup mengenai akar dan bangkitnya ultra-fundamentalis Wahhabi, serta menghadirkan kembali pertempuran di masjid tersebut dengan begitu eksploratif, seolah menjadi pemandangan yang mengerikan. Kegemparan yang diciptakan secara berkala tersebut tidak mengurangi alasan Trofimov bahwa Osama bin Laden dan gerakannya adalah ideologi warisan kaum radikal Mekkah, tapi dengan sumber daya yang jauh lebih besar.
—Jen Itzenson, Portfolio Magazine
Saat Revolusi Iran tahun 1979 terbentang, orang-orang Saudi dibuat cemas dan malu oleh sebuah tragedi pengambil-alihan Masjid al-Haram di Mekkah pada tahun 1979. Serangan untuk merebut kembali tempat tersuci umat Islam tersebut menyeret pada suasana berdarah, menampakkan kecurangan dan ketidakcakapan pemerintah Saudi pada taraf yang sangat akut. Trofimov menjelaskan, bahwa tekanan yang begitu keras hampir saja menghilangkan sebuah babak dalam kisah teror Muslim radikal.
***
Judul Kudeta Mekkah : Sejarah Yang Tak Terkuak
No. ISBN 9789793064543
Penulis Yaroslav Trofimov
Penerbit Alvabet
Tanggal terbit Desember – 2007
Jumlah Halaman 384
Anda mungkin juga meminati:
- 1 komentar

Jurus Ampuh Berdebat dengan Wahhabi


buku pintarSetelah menulis buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir Syirik” pada tahun 2008, kemudian setahun berikutnya menulis buku Madzhab Al-Asy’ari Benarkah Ahlus sunnah wal Jama’ah, Idrus Ramli, penulis buku Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi ini bersama tim LBM NU Jember seringkali diminta mengisi pelatihan dan internalisasi Aswaja di kalangan nahdliyyin. Dalam kegiatan tersebut tak jarang juga diundang tokoh-tokoh salafi. Dari proses dan hasil perdebatan inilah buku ini kemudian ditulis.
Sebagai alumnus pesantren yang sering terlibat dalam kegiatan bahtsul masa’il, dan kemudian di bawah bimbingan KH Muhyiddin Abdusshomad (Rais Syuriah PCNU Jember) mempelajari secara mendalam terutama tentang aspek aqidah ahlussunnah wal jama’ahbersama beberapa alumnus pesantren lainnya, ustadz Idrus, demikian ia biasa dipanggil, terlihat sangat matang memaparkan hujjah-hujjah naqliyah dan aqliyah serta cita rasa gaya pemaparan dan seni berdebat khas yang diungkapkan dalam buku ini.
Untuk membuat semakin berbobotnya buku ini, buku mungil berwarna putih dengan cover berlambang tali jagat ini  juga dilengkapi dengan kisah-kisah  dialog dan perdebatan para ulama ahlussunnah wal jama’ah dahulu dengan  kalangan ulama wahhabi. Misalnya antara Sayyid ‘Alwi bin Abbas al- Maliki al-Hasani (ayahanda sayyid Muhammad bin ‘Alwi al-Maliki) dengan Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di (guru Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin) di Masjidil Haram Makkah, dialog terbuka antara Syaikh as-Syanqithi dengan ulama Wahhabi tuna netra, dialog al-Hafidz Ahmad al-Ghumari di Makkah al-Mukarramah, perdebatan Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dan dialog Syaikh Salim Ulwan dengan Syaikh Abdurrahman Dimasyqiyath di Australia. Juga disertakan beberapa kisah perdebatan yang dilakukan para ustadz muda teman penulis di kalangan nahdliyyin atau alumni pesantren.
Tujuan yang ingin dicapai penulis buku ini sebagai tergambar dalam kata pengantarnya adalah agar buku ini menjadi panduan dalam berdialog dan berdebat dengan kalangan Wahhabi yang dewasa ini menamakan dirinya Salafi. Tujuan itu agaknya tercermin dari judul buku yang mentasbihkan diri sebagai ‘buku pintar’. Sebuah pilihan judul yang menarik dan sesuai pula dengan muatannya.
Buku dengan tebal 171 halaman ini terdiri dari sepuluh (10) bab, yaitu: Ngalap Barokah, Allah Maha Suci, Bid’ah Hasanah, Otoritas Ulama, Bukan Ahlussunah , Menurut al-Syathibi,Istighasah dan Tawassul, Cerdas bermadzhab, tradisi yasinan, dan permasalahan tradisi.
Tercermin dari sistematika bab tersebut buku ini antara lain memberikan argumentasi meyakinkan tentang adanya bid’ah hasanah, tradisi tahlilan dan yasinan, talqin, pembacaanushallingalap berkah, tawassul, keberadaan ta’wil semenjak ulama salaf, otoritas ulama dan lain sebagainya. Disinggung pula walau sekilas kritik terhadap ajaran Rafidah atau Syi’ah, terkait posisi aliran ini yang mengkritisi berlebihan para sahabat.
Bahkan dalam beberapa bab disinggung pendapat para ulama yang dihormati dan biasa dikutip ulama wahhabi, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taymiah, al-Hafidz Ibnu Katsir, Ibnu Qayyim, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, namun justru menguatkan dalil golongan mayoritas ahlussunnah wal jama’ah. Misalnya, pendapat Ibnu Taymiyah tentang talqin berikut ini. (Lihat hal. 166)
“Talqin yang tersebut ini (talqin setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat bahwa mereka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili serta beberapa sahabat lainnya, oleh karena ini al-Imam Ahmad bin Hanbal dan para ulama lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak apa-apa untuk diamalkan…” (Majmu’ Fatawa Ibn Taymiyah, juz 1, hal. 242)

Karena berisi serial dialog dan dan perdebatan-perdebatan, maka kadang klasifikasi atau sistematika bab yang dicoba penulis tidak dapat terpahami dengan segera sebelum membaca subbabnya. Misalnya dalam bab bukan ahlussunnah, disusuli dengan subbab mereka golongan khawarij yang mendeskripsikan bahwa wahhabi bukan bagian dari Sunni, tetapi Khawarij, karena menganut ajaran takfir al-mukhalif dan istihlal dima’ al-mukhalifin (hal. 69-70). Untuk meyakinkan pembaca bahwa wahhabi bagian dari khawarij, penulis membeberkan pendapat beberapa ulama otoritatif sunni semacam Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, Syaikh Muhammad Amin Affandi (Ibnu Abidin), dan Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Shawi (penulis tafsir al-Shawi Hasyiah tafsir al-Jalalain). Penjelasan bahwa wahhabi tergolong khawarij ini  dimulai pada halaman 69 hingga 87.
Sebagai buku penting yang membekali cara berdebat dengan kalangan salafi wahhabi, secara mantap buku ini juga mengulas ciri-ciri aliran bid’ah dan dhalalah menurut pandangan Imam as-Syatibi dalam kitab al-I’tisham. Ciri-ciri yang secara umum dapat dikenali dari ahli bid’ah ini adalah, terjadinya perpecahan dan perceraiberaian pendapat di kalangan internal aliran, berikutnya, gemar mengikuti teks mutasyabihat, kemudian, mengikuti hawa nafsu, menghujat generasi ulama salaf dan terakhir mereka sulit diajak berdialog.
Namun, dalam konteks pluralitas aliran dalam Islam, dan secara luas kenyataan pluralitas agama di Indonesia, buku ini harus dibaca dengan semangat sekedar mempertahankan ajaran internal ahlussunnah walj amaa’ah an-nahdliyyah (meminjam istilah aswaja di internal Nahdlatul Ulama). Katakanlah, buku ini semacam hak jawab internal kaum nahdliyyin atau golongan mayoritas umat Islam terkait kritik yang selama ini disematkan kaum salafiterhadap kaum sarungan ini. Bukankah perbedaan pendapat di antara umat Islam itu adalah rahmat, sebagaimana dinyatakan Imam al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr al-Shiddiq, “Perbedaan pendapat di kalangan  sahabat Nabi Muhammad merupakan rahmat bagi manusia”. Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga berkata, “Aku tidak gembira seandainya para sahabat Nabi Muhammad tidak berbeda pendapat. Karena seandainya mereka tidak berbeda pendapat, tentu tidak ada kemurahan dalam agama”. (hal. 67-68).
Akhir kata, buku ini terbukti telah mendapat sambutan yang hangat dari para peserta ketika diperkenalkan dalam acara Daurah Aswaja PWNU Jawa Timur yang diikuti Pengurus Syuriah PCNU se-Jawa Timur pada 17- 19 Desember 2010 lalu di Islamic Centre Surabaya. Karenanya, buku ini layak diapresiasi oleh kalangan nahdliyyin dan umat Islam, karena di samping dapat dianggap sebagai buku panduan pertama yang memakai metode tanya jawab dan dialog untuk mempertahankan dan membentengi  ajaran ahlussunnah wal jama’ah yang dalam akidah menganut pada Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, buku ini ditulis oleh seorang aktivis Aswaja yang benar-benar terlibat langsung dalam perdebatan untuk mempertahankan benteng madzhab mayoritas ummat Islam di dunia. Akhirnya, selamat membaca!
Judul: Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi
Penulis: Muhammad Idrus Ramli
Penerbit: Bina Aswaja dan LBM NU Jember
Cetakan:1, September 2010
Tebal: vi + 171 halaman
Peresensi: Yusuf Suharto*

*Pengajar di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif  Denanyar Jombang  Jawa Timur, Mahasiswa S-2 Jurusan PAI Akidah Akhlak  IAIN Sunan Ampel Surabaya. (http://nu.or.id/)
- 0 komentar

Debat Aswaja vs Wahabi di Universitas Melbourne


debat …..Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang…..
Abdurrahman Dimasyqiyat adalah salah satu tokoh Wahhabi kelahiran Lebanon. Nama lengkapnya Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyat. Karya- karyanya mulai populer di kalangan Wahhabi Indonesia. Bahkan banyak pula tulisannya yang dipublikasikan melalui program software Maktabah Syamilah. Tetapi dari kalangan Wahhabi sendiri tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat.
Masa lalunya penuh dengan skandal. Di setiap tempat yang pernah di singgahinya, ia selalu bikin ulah. Lidahnya selalu menghujat umat Islam, generasi salaf (terdahulu) maupun generasi khalaf (terkemudian). Kerjanya, merubah ajaran agama. Mencela para kekasih Allah. Menyerang orang-orang saleh. Kebiasaannya, mencela orang-orang yang baik. Ia lupa bahwa Allah telah berfirman dalam hadits qudsi, “Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku, maka Aku deklarasikan perang terhadapnya.” Akibat ulahnya, akhirnya orang-orang banyak tahu kebusukan masa lalunya. Petualangannya dengan wanita- wanita cantik dan kegemarannya mengikuti para biduanita menjadi obrolan dari mulut ke mulut. Banyak pula yang membicarakan kisah-kisah kelamnya ketika di Universitas al-Azhar Cabang Lebanon dulu, dalam pemeriksaan yang suaranya direkam – rekamannya masih ada sampai sekarang, dan saksi-saksinya masih hidup -, di mana dalam rekaman itu ia mengakui telah melakukan perbuatan asusila, yaitu melakukan homo sex, yang dituduhkan kepadanya. Akibatnya, ia pun dikeluarkan dari Azhar Lebanon pada tahun 1972. Kasus itu, diakuinya sendiri. Abdurrahman Dimasyqiyat tidak menepis kejadian itu. Ia tidak menutup-nutupi aib dirinya. Bahkan tanpa merasa malu ia berterus terang telah melakukannya. Seakan-akan ia bangga dengan perbuatannya. Dengan enteng ia berkata, “Pada waktu itu aku masih belum baligh, catatan amal masih belum berlaku bagiku”.
Tentu saja pengakuan seperti ini tidak aneh dari seseorang yang telah memutus hubungan dengan kerabatnya. Menyakiti kedua orang tuanya. Selalu gagal mencari pekerjaan yang mendatangkan hasil yang halal di Lebanon dan di Perancis. Akhirnya, apa boleh dikata, Abdurrahman Dimasyqiyat menjulur-julurkan lidahnya di belakang uang logam dan dolar sebagai penulis bayaran kaum Wahhabi. Ia memulung sisa-sisa makanan di bawah meja orang-orang gendut berperut besar dan berhati keras sekeras batu. Yaitu kaum Musyabbihah (kaum yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), dan kaum anti tawassul. Di antara mukjizat Rasulullah, adalah sabda beliau yang memperingatkan umatnya agar berhati-hati dengan kaum Wahhabi sebelum kemunculan mereka. Nabi bersabda, “Kepala kekafiran muncul di arah timur.” Dalam hadits lain, Rasulullah menunjuk ke arah timur, daerah Najd, dan bersabda: “Fitnah akan muncul dari sana, fitnah akan muncul dari sana, dan diucapkannya sampai tiga kali”. Kedua hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari. Akhirnya semua orang tahu siapa sebenarnya Abdurrahman Dimasyqiyat. Identitasnya terungkap di Swedia. Ia melarikan diri dari perdebatan setelah menyetujui kesepakatan pada waktu yang dijanjikan. Kemudian ia mengira bahwa pengikut kebenaran melupakannya begitu saja ketika ia di Australia. Ternyata Abdurrahman Dimasyqiyat menyetujui debat publik bersama Syaikh Salim Alwan al-Hasani. Namun kemudian Dimasyqiyat takut, ragu-ragu dan berupaya menghindar. Sementara pengikutnya melakukan terror dan ancaman. Akan tetapi takdir Allah pasti terjadi.
Akhirnya perdebatan terjadi. Kebenaran tampak dan kebatilan sirna. Sesungguhnya kebatilan pasti sirna. Abdurrahman Dimasyqiyat telah berkali-kali diminta melalui radio dan surat kabar, agar siap berdebat. Namun ia selalu melarikan diri. Akhirnya ia pun terpaksa datang karena takut malu. Ia datang ke aula Universitas Melbourne pada hari Rabu tanggal 9 November 1994. Di aula itu telah disiapkan meja untuk Syaikh Salim Alwan dan Syaikh Abdurrahman al-Harari. Di depannya ada meja yang disiapkan untuk Abdurrahman Dimasyqiyat dan dua orang temannya. Di tengah meja itu ada mimbar untuk moderator.
Yang menarik perhatian, pada waktu itu Abduraahman Dimasyqiyat membawa komputer yang sering digunakannya untuk mengeluarkan dalil-dalilnya yang lemah. Sepertinya ia memang tidak hapal teks dan tidak menguasai banyak persoalan. Kemampuannya hanya mengulang-ulang pernyataan orang yang menjadi sutradara di belakangnya, yaitu kaum Wahhabi.
Perdebatan dimulai. Syaikh Salim melontarkan pertanyaan kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi menghukumi bahwa memanggil orang yang tidak ada di depannya atau memanggil orang mati (nida’ al-ghaib aw al-mayyit), seperti berkata “Ya Muhammad, atau ya Rasulallah (wahai Muhammad atau wahai Rasulullah)”, itu syirik akbar (besar) sebagaimana ditetapkan oleh Ibn Abdil Wahhab al-Najdi dalam kitab al-Ushul al-Tsalatsah. Sekarang, ini al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad, bahwa Abdullah bin Umar pada suatu hari kakinya mengalami mati rasa. Lalu ada orang berkata kepada beliau, “Sebutkan orang yang paling Anda cintai.” Lalu Ibn Umar berkata, “Ya Muhammad (Wahai Muhammad)”. Maka seketika itu kakinya sembuh. Apakah kalian kaum Wahhabi akan mencabut pendapat kalian. Dan ini yang kami kehendaki. Atau kalian akan memutuskan bahwa Abdullah bin Umar, al- Imam al-Bukhari, para perawi al-Bukhari, dan bahkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam, dan al- Albani pemimpin kalian, mereka semuanya kafir. Coba renungkan inkonsistensi Wahhabi ini. Pendapat mereka dapat mengkafirkan pemimpin-pemimpin mereka sendiri, yaitu Ibn Taimiyah dan al-Albani, bahkan mengkafirkan seluruh umat Islam, antara lain sahabat Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat lainnya.” Mendengar pertanyaan Syaikh Salim, mulailah serangkaian kebohongan Abdurrahman Dimasyqiyat. Setelah Syaikh Salim mengajukan pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat kebingungan. Lalu ia berkata: “Lafal “Ya Muhammad”, hanya terdapat dalam naskah cetakan kitab al-Adab al-Mufrad yang di-tahqiq Ustadz Kamal al-Hut. Dalam naskah-naskah lain, yang ada hanya lafal “Muhammad”, tanpa “Ya” untuk memanggil.”
Mendengar pernyataan Dimasyqiyat, Syaikh Salim segera mengeluarkan beberapa naskah al-Adab al-Mufrad yang dicetak oleh percetakan-percetakan lain. Ternyata, semuanya sepakat memakai redaksi “Ya Muhammad”. Sehingga hal tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kemudian, Dimasyqiyat semakin terkejut, ketika Syaikh Salim memperlihatkan naskah kitab al-Kalim al- Thayyib karangan Ahmad bin Taimiyah al-Harrani, panutan kaum Wahhabi yang mereka sebut Syaikhul Islam. Di mana dalam kitab tersebut Ibn Taimiyah menyebutkan hadits Ibn Umar di bawah judul, “Bab yang diucapkan seseorang ketika kakinya mati rasa”. Naskah ini dicetak oleh kaum Wahhabi dan dikoreksi oleh Nashiruddin al-Albani, pemimpin mereka yang kontradiktif, yang menganggap perbuatan Ibn Umar itu syirik dan menentang tauhid. Dimasyqiyat telah berusaha mengingkari lafal “Ya” yang terdapat dalam hadits Ibn Umar dengan redaksi “Ya Muhammad”. Dimasyqiyat berkata, bahwa ia telah mencari lafal “Ya”, ternyata tidak menemukannya.
Akhirnya Syaikh Salim berkata: “Al-Albani, pemimpin kalian yang kontradiktif, berkata dalam al- Kalim al-Thayyib hal. 120 dalam mengomentari hadits “Ya Muhammad” yang disebutkan dan dianjurkan oleh Ibn Taimiyah untuk diamalkan, sebagaimana terbaca dari judul kitabnya al-Kalim al-Thayyib (kalimat-kalimat yang baik). Al-Albani berkata: “Kami memilih menetapkan “Ya”, karena sesuai dengan sebagian manuskrip yang kami temukan.”
Anda telah gagal wahai Dimasyqiyat. Kami menuntut Anda berdasarkan pimpinan-pimpinan Anda yang kontradiktif, di mana al-Albani menemukan manuskrip yang di dalamnya terdapat lafal “Ya Muhammad”, lalu dia anggap menentang tauhid dan termasuk perbuatan syirik menurut asumsinya. Coba Anda lihat (hal. 16 kitab al-Kalim al-Thayyib), yang dicetak di percetakan al-Syawisy al-Wahhabi dengan nama al- Maktab al-Islami, ta’liq (komentar) Nashiruddin al-Albani, pemimpin Wahhabi yang kontradiktif. Pernyataan al- Albani menjadi dalil yang menggugat Anda dan dia sendiri. Kemudian Syaikh Salim memperlihatkan naskah tersebut, dan berkata kepada Abdurrahman Dimasyqiyat: “Aku ulangi pertanyaanku lagi kepada Anda, untuk mengingatkan bahwa Ibn Taimiyah menyebut atsar (hadits) ini dan menetapkannya. Ia tidak menjadikannya sebagai kesyirikan dan kekufuran. Bagaimana komentar Anda. Adakalanya Anda mengatakan bahwa Abdullah bin Umar, al-Bukhari sampai pimpinanmu, Ibn Taimiyah adalah orang-orang sesat dan kafir. Atau Anda mencabut pendapat Anda.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Dimasyqiyat menjadi gagap. Ia tidak menjawab pertanyaan. Tetapi beralih pada tema-tema lain. Lalu Syaikh Salim mengingatkan kepada hadirin, bahwa Dimasyqiyat menghindar dari jawaban. Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya yang tadi dengan pertanyaan tambahan. Yaitu riwayat hadits seorang tuna netra yang diajari oleh Rasulullah agar berdoa, “Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhanku dengan perantara dirimu.” Hal ini agar dilakukan bukan di hadapan Rasul. Hadits ini shahih, riwayat al-Thabarani dan lainnya. Al-Thabarani dan lainnya juga menilainya shahih.
Syaikh Salim berkata: “Apakah Anda berasumsi wahai Abdurrahman, bahwa Rasulullah telah mengajarkan kesyirikan, dan bahwa sahabat yang menjadi perawi hadits tersebut serta al-Imam al- Thabarani mengajarkan kesyirikan? Jelas ini tidak mungkin”. Mendapat pertanyaan tersebut, tampak sekali Abdurrahman Dimasyqiyat lemah, di mana moderator mengingatkan bahwa ia berupaya beralih dari jawaban, dan kelemahannya jelas sekali.
Di tengah dialog tersebut, Abdurrahman Dimasyqiyat mengakui bahwa ia telah menulis beberapa kitab untuk membantah al-Muhaddits al-Habasyi. Akan tetapi ia menerbitkannya dengan memakai nama orang lain, seakan-akan mereka yang menulisnya. Di antaranya kitab al-Radd ‘ala Abdillah al-Habasyi, karya penulis palsu Abdullah al-Syami. Anehnya, laki-laki ini menghendaki agar orang- orang percaya sama dia. Padahal ia mengakui sendiri telah berbuat bohong dan merekayasa dengan menulis buku yang dinisbatkan kepada nama-nama fiktif.
Setelah itu, Syaikh Salim mengulangi menyebut hadits laki-laki tuna netra tersebut yang isinya, “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadapkan diriku kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu, Muhammad, nabi pembawa rahmat”, serta menyebutkan para hafizh yang menilainya shahih. Ternyata Abdurrhman Dimasyqiyat juga mengakui bahwa hadits tersebut shahih.
Lalu Syaikh Salim berkata: “Bagaimana kalian melarang manusia bertawassul dengan Rasul bukan di hadapannya, padahal Rasul telah mengajarkan laki-laki tuna netra tadi untuk bertawassul dengan beliau bukan di hadapannya? Apakah kalian akan mencabut keyakinan kalian. Atau kalian mengira bahwa kalian lebih pandai dari pada Rasulullah ?.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Wahhabi yang berprilaku aneh itu kebingungan. Ia kemudian berbicara banyak, tetapi tidak berkaitan dengan topik pertanyaan. Kemudian Syaikh Salim mengulangi pertanyaannya, serta mengingatkan hadirin bahwa Dimasyqiyat melarikan diri dari jawaban. Di sini, Abdurrahman Dimasyqiyat mengalihkan pembicaraan pada kebohongan lain. Ia bermaksud mencela Syaikh al-Harari, untuk menutupi kegagalannya.
Ia berkata kepada Syaikh Salim: “Bagaimana Syaikh Abdullah men-tahqiq kitab, yang di dalamnya terdapat redaksi bahwa sebagian auliya berkata kepada sesuatu “kun fayakuun”, tanpa menentang redaksi tersebut, serta mengingatkan rusaknya redaksi tersebut. Kitab tersebut telah dicetak dan saya punya kopiannya.” Mendengar pernyataan tersebut, moderator melakukan intervensi, dan meminta kopian itu agar isinya bisa diperlihatkan kepada hadirin. Ternyata semua yang hadir terkejut. Karena sampul kitab tersebut membuktikan kebohongan Dimasyqiyat. Kitab tersebut bukan di-tahqiq oleh Syaikh Abdullah. Kitab tersebut justru di-tahqiq dan dikoreksi oleh orang lain, bernama Husain Nazhim al-Hulwani, dan diberi kata pengantar oleh Syaikh Muhammad al-Hasyimi, bukan Syaikh al-Harari.
Di sini, untuk menambah jelas kelemahan dan keanehan ahli bid’ah ini, Syaikh Salim berkata kepada Dimasyqiyat: “Kalian kaum Wahhabi mengkafirkan orang yang mengusap mimbar Nabi atau makam Nabi. Kalian mengklaim mengikuti golongan Hanabilah, berpegang teguh dengan madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal. Padahal Ahmad bin Hanbal berkata, “Boleh mengusap mimbar Nabi, dan pusar yang ada di mimbar itu.” Bahkan Ibn Taimiyah berkata dalam kitab yang dinamakannya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim (hal. 367 terbitan Mathabi’ al-Majd al-Tijariyyah), “Ahmad dan lainnya memberikan keringanan dalam mengusap mimbar dan pusar mimbar itu yang merupakan tempat duduk dan tangan Nabi.” Bagaimana pendapat kalian? Apakah kalian mengkafirkan al-Imam Ahmad, di mana kalian mengklaim mengikuti madzhabnya? Atau kalian mengkafirkan Ibn Taimiyah yang kalian sebut Syaikhul Islam? Bukankah ini sebuah inkonsistensi?”
Mendengar pertanyaan ini, Dimasyqiyat wahabi yang ahli bid’ah itu tidak bisa menjawab. Ia tampak sekali kelemahannya. Lebih-lebih setelah Syaikh Salim menambah penjelasan dengan menyebut kutipan al- Mirdawi al-Hanbali bahwa Ibrahim bin Ishaq al-Harbi, seorang imam mujtahid berkata: “Disunnatkan mencium hujrah (makam) Nabi“.
Untuk mengalihkan persoalan, dan menjaga raut mukanya, yang tampak sangat pucat sekali, Dimasyqiyat bertanya kepada Syaikh Salim tentang firman Allah:
الرّحمن على العرش استوى
“Allah Yang Maha Pengasih ber-istawa terhadap ‘Arsy.”
Mendengar pertanyaan tersebut, Syaikh Salim menjelaskan persoalan tersebut dengan sejelas-jelasnya. Beliau memaparkan pendapat Ahlussunnah Wal-Jama’ah mengenai hal itu, bahwa istiwa’ Allah terhadap Arsy bukan seperti istiwa’-nya makhluk. Istiwa’ dalam ayat tersebut, bukan diartikan duduk dan bukan pula menetap. Akan tetapi istiwa’ tersebut adalah suatu makna yang layak bagi Allah, yang tidak menyerupai makna istiwa’ ketika disandarkan kepada makhluk, sebagaimana dalam perkataan al-Imam Ahmad bin Hanbal, “Allah ber-istawa sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an, bukan seperti yang terlintas dalam benak manusia.”
Meskipun Mu’tazilah sama dengan Ahlussunnah dalam menafsrikan istiwa’ dengan makna menguasai (al- qahr) dalam ayat ini, maka hal tersebut tidak bisa dibuat alasan mencela Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Bukankah Mu’tazilah juga mengucapkan kalimat la ilaha illallah (tiada tuhan selain Allah). Apakah Ahlussunnah harus meninggalkan kalimat tersebut karena Mu’tazilah mengucapkannya? Tentu saja tidak.
Setelah perdebatan berjalan dua jam. Sementara penjelasan Syaikh Salim sangat bagus dan jitu. Sedangkan Dimasyqiyat, tidak mampu memberikan jawaban. Untuk menutupi rasa malu, Abdurrahman Dimasyqiyat diam. Kemudian para pengikut dan teman-teman Dimasyqiyat berdiri melakukan kerusuhan dan tindakan yang anarkis secara kolektif. Sehingga sebagian hadirin meminta mereka menghentikan tindakan brutal tersebut.
Setelah mereka tidak mengindahkan pengumuman, akhirnya para hadirin menekan mereka dan polisi mengumumkan selesainya acara. Akhirnya mereka mulai meninggalkan aula Universitas Melbourne. Pada waktu itu, sebagian kaum Wahhabi berhasil merusak kamera yang merekam acara dialog. Akan tetapi, untung kaset rekamannya masih utuh dan dapat dipublikasikan sampai sekarang.
(Diambil dari Buku Pintar Berdebat dengan Wahabi oleh Muhammad Idrus Ramli)
Untuk cuplikan video tentang Abdurrahman Dimasyqiyat bisa dilihat di situs-situs streaming video seperti Youtube. Beberapa dari video tersebut dapat dilihat di link-link berikut ini:
 [oleh: Fathun Nur Ahmad]
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...