Kamis, 05 Juli 2012 - 0 komentar

Jangan Tergoda Dengan Tipu Daya Salafi Wahabi


setan nejd
Pada poin ini, kita akan membahas tentang ungkapan-ungkapan kaum Salafi & Wahabi yang mengandung tipu daya dan telah banyak meyakinkan orang-orang awam agar mengikuti ajaran mereka. Ungkapan-ungkapan itu memang bukan ayat al-Qur’an maupun hadis, tetapi secara logika semata, ungkapan tersebut tidak bisa ditolak begitu saja, padahal bila dikaitkan dengan pembahasan-pembahasan sebelum ini maka semuanya akan tertolak mentah-mentah. Di antara ungkapan-ungkapan itu adalah:
1. “Seandainya apa yang diada-adakan sepeninggal mereka (Rasulullah Saw. dan para shahabatnya) itu baik, tentu mereka yang lebih dahulu mengerjakannya” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 73).

Ungkapan ini sama sekali tidak bisa dianggap benar, karena hanya mengandai-andai. Pada kenyataannya, perkara-perkara baru seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang sepertinya memang mengandung banyak kebaikan, dan hal itu ditakdirkan Allah baru ada setelah ratusan tahun Rasulullah Saw. wafat.
Untuk menjawab ungkapan berandai-andai di atas, kita juga bisa berkata seperti mereka, “Seandainya acara Maulid atau tahlilan itu buruk, tentu Rasulullah Saw. telah menyebutkan larangan melakukannya dengan jelas” . Ternyata Rasulullah Saw. hanya melarang bid’ah, bukan Maulid atau tahlilan. Beliau juga tidak menyebutkannya sebagai amalan-amalan yang merupakan dosa besar seperti syirik, zina, durhaka kepada orang tua, lari dari medan perang, dan lain sebagainya. Apa yang menghalangi beliau untuk menyebutkannya bila memang beliau tahu hal itu buruk atau sesat, atau merupakan dosa besar? Pantaskah beliau menyembunyikannya?
2. “Tak layak bagi orang yang berakal untuk tertipu dengan banyaknya orang yang mengerjakan perbuatan tersebut (Maulid-red) di seluruh penjuru dunia. Sebab, al-haq (kebenaran) tidak diketahui dari banyaknya yang mengerjakannya” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 10).
Dengan pernyataan ini, sepertinya mereka lupa, bahwa yang banyak melakukannya (Maulid) di seluruh penjuru dunia bukan cuma masyarakat Islam yang awam. Kenyataan itu juga menunjukkan bahwa di seluruh penjuru dunia ada banyak pula para ulama Islam yang menerima acara Maulid sebagai suatu kegiatan positif dalam pandangan agama, dan merekalah yang mengajak umat untuk mengamalkan dan melestarikannya. Para ulama itu bahkan banyak yang menulis kitab khusus berkenaan dengan acara Maulid.
Berarti, mayoritas ulama dan umat Islam menganggap acara Maulid itu positif, kecuali segelintir ulama Salafi & Wahabi beserta sejumlah kecil para pengikutnya. Jadi, lebih baik mana, pendapat mayoritas ulama atau pendapat segelintir ulama? Bukankah hadis mutawatir (yang diriwayatkan banyak orang) lebih kuat status keotentikan dan kebenarannya di bandingkan dengan hadis aahaad (yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang saja)?
Al-Haq (kebenaran) tentang suatu amalan memang tidak didasarkan pada banyak atau sedikitnya orang yang melakukan, tetapi pendapat mayoritas ulama tentang kebaikan amalan itu adalah jalan yang lebih selamat dan paling logis untuk mencapai kebenaran tersebut. Sementara sikap atau pandangan segelintir orang yang berbeda dari mayoritas umat Islam, lebih pantas dibilang sebagai suatu keganjilan atau kelainan. Karena yang biasa terjadi adalah, mayoritas siswa di suatu sekolah berhasil lulus ujian kecuali segelintir siswa saja. Sungguh sangat aneh bila yang terjadi, mayoritas siswa di sekolah itu tidak lulus ujian kecuali segelintir siswa saja.
Bila mereka katakan, “yang banyak belum tentu benar”, maka karena kebenaran hakiki hanya Allah yang tahu, kita katakan kepada mereka, “bila yang banyak belum tentu benar, maka yang sedikit lebih jauh lagi kemungkinannya untuk benar. Tetapi yang banyak lebih aman dan lebih selamat daripada yang sedikit”. 
3. “Jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambah dan tidak boleh dikurangi” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 20). “Mengada-adakan hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid, berarti beranggapan bahwa Allah Swt. belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 8).
Islam memang sudah sempurna, siapapun orang Islamnya pasti meyakini itu. Bila orang melakukan suatu amalan yang mengandung kebaikan (seperti Maulid atau yang lainnya) dianggap menambah agama atau beranggapan bahwa Allah belum menyempurnakan agama-Nya, maka itu hanyalah fitnah dan tuduhan yang diada-adakan oleh kaum Salafi & Wahabi. Karena, baik yang merintis maupun yang melakukan amalan tersebut tidak pernah berpikir begitu, mereka hanya fokus pada pelaksanaan suatu amalan kebajikan atau amal shaleh yang bermanfaat bagi banyak orang. Sungguh aneh memang, mereka yang menuduh, lalu mereka pula yang menyalahkan!  
4. “Melakukan amalan seperti peringatan Isra’ & Mi’raj atau yang lainnya adalah sia-sia dan tidak ada pahalanya, karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyuruh atau tidak pernah mengerjakannya” (Ceramah agama di Radio Roja’ AM 726 Mhz.).
Ungkapan yang ini lebih aneh lagi, karena: 1. Allah Swt. dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakan bahwa melakukan amalan seperti peringatan Maulid atau Isra’ & Mi’raj itu sia-sia dan tidak ada pahalanya 2. Pahala itu milik Allah dan hanya Dia yang berwenang untuk memberikannya atau tidak memberikannya, bukan milik kaum Salafi & Wahabi. 3. Setiap amalan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak lantas berarti terlarang, kecuali bila beliau jelas-jelas menyebutkan larangannya secara khusus, dan ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama.
Jadi, bila mereka menyatakan acara Maulid, Isra & Mi’raj, tahlilan, dan lain sebagainya itu sia-sia dan tidak ada pahalanya, maka mereka harus mendatangkan dalil yang menyebutkannya dengan jelas. Bila tidak ada dalilnya, atau hanya dalil umum (sebagaimana kebiasaan mereka) yang mereka ajukan, maka berarti mereka telah melakukan bid’ah sesat, karena telah berfatwa bahwa orang yang hadir di acara tersebut di mana mereka melakukan silaturrahmi, membaca dan mendengarkan al-Qur’an, berzikir, bershalawat, mendengarkan nasihat ulama, memuliakan dan mengenang Rasulullah Saw., berdo’a, dan berbagi rezeki, sama sekali tidak mendapat pahala!
Rupanya, sifat bakhil kaum Salafi & Wahabi ini sudah keterlaluan. Pelit terhadap milik sendiri adalah sikap tercela, dan lebih tercela lagi pelit terhadap milik orang lain. Dan amat sangat lebih tercela lagi bila pelit terhadap milik Allah. Apakah Allah harus minta persetujuan mereka untuk memberi pahala kepada hamba-Nya??!
Tentang amalan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw., maka para ulama kaum muslimin dari masa dulu mupun belakangan, di Timur maupun di Barat, telah sepakat bahwa “hal meninggalkan” itu bukanlah suatu prinsip atau konsep untuk menyimpulkan hukum secara tersendiri. Tentang ini, Syaikh al-’Allamah as-Sayyid Abdullah bin Shiddiq al-Ghumari telah menulis sebuah risalah yang ia beri judul “Husnu at-Tafahhum wa ad-Daraki li Mas’alati at-Tarki” (Pemahaman & Pengetahuan yang baik untuk masalah “Meninggalkan”). Beliau memulainya dengan beberapa bait puisi yang indah, yang berbunyi:
Meninggalkan suatu amalan bukan hujjah dalam syari’at kita
Dan ia tidak bermakna pelarangan ataupun kewajiban
Siapa yang melarang suatu perbuatan dengan alasan Nabi meninggalkannya
Kemudian berpendapat itulah hukum yang benar dan tepat
Sungguh dia telah menyimpang dari seluruh dalil-dalil
Bahkan keliru dalam memutuskan hukum yang shahih, dan dia telah gagal
Tidak ada pelarangan kecuali pelarangan yang diiringi
Dengan ancaman siksa bagi pelanggarnya
Atau kecaman terhadap suatu perbuatan, dan disertai bentuk sanksi yang pasti
Atau lafaz mengharamkan untuk perkara tercela.
(Lihat Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan, Syaikh Ali Jum’ah –Mufti Mesir–, Duha Khazanah, Cikarang, 2007,  hal 235-236)
- 0 komentar

Makna Hadits “Jangan Memujiku Secara Berlebihan”


لاَ تَطْرُوْنِي كَمَا أَطَرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ
Janganlah kalian memujiku sebagimana pujian yang diberikan kaum nashrani kepada ‘Isa ibn Maryam,”
Sebagian kalangan memahami sabda Nabi SAW di atas sebagai larangan memuji beliau SAW dan mengkategorikan pujian kepada beliau sebagai sanjungan berlebihan yang bisa mengarah pada kemusyrikan dan memahami bahwa orang yang memuji beliau, melebihkan derajatnya di atas manusia biasa, menyanjung dan mensifati beliau dengan sifat-sifat yang berbeda dari yang lain, telah melakukan praktik bid’ah dalam agama Islam dan melanggar sunnah sayyidil mursalin Muhammad SAW.
Persepsi di atas adalah sebuah kesalahfahaman dan mengindikasikan dangkalnya pandangan orang yang memiliki persepsi demikian. Mengapa ? Karena Nabi SAW melarang pujian kepada beliau sebagaimana ummat nashrani memuji ‘Isa ibn Maryam saat mereka mengatakan : Isa adalah anak Allah. Makna dari hadits di atas adalah sesungguhnya orang yang memuji Nabi dan mensifatinya dengan sifat yang diberikan ummat nashrani kepada Nabi mereka berarti orang tersebut sama dengan mereka.
Adapun orang yang memuji dan mensifati beliau dengan karakter yang tidak mengeluarkan beliau dari substansi kemanusiaan seraya meyakini bahwa beliau adalah hamba dan utusan Allah serta menjauhi keyakinan ummat nashrani maka pasti ia adalah sebagian dari orang yang paling sempurna ketauhidannya.
 دَعْ مَا اِدَّعَتْهُ النَّصَارَى فِيْ نَبِيِّهِمْ      وَاحْكُمْ بِمَا شِئْتَ مَدْحًا فِيْهِ وَاحْتَكِمْ
فَاِنَّ فَضْلَ رَسُوْلِ اللهِ لَيْسَ لَهُ      حَدٌّ فَيُعَرِّبُ عَنْهُ نَاِطقٌ بِفَمٍّ
فَمَبْلَغُ الْعِلْمِ فِيْهِ أَنَّهُ بَشَرٌ      وَ أَنَّهُ خَيْرُ خَلْقِ اللهِ كُلِّهِمْ
·  Buanglah keyakinan ummat nashrani terhadap Nabi mereka.
Berilah beliau pujian sesukamu
·         Karena keutamaan Rasulullah tidak memiliki batas
Hingga mampu diungkapkan dengan lisan
·         Batas pengetahuan kita adalah beliau manusia.
Dan beliau adalah paling mulianya mahluk
Alloh SWT sendiri telah memuji Nabi Muhammad SAW dalam firman-Nya
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung“ ( Q.S.Al.Qalam : 4 )
Alloh menyuruh bersikap sopan dalam berbicara dan memberi jawaban terhadap Rosul:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih darisuara Nabi”. ( Q.S.Al.Hujuraat : 2 )
Alloh juga melarang kita bersikap kepada beliau sebagaimana sikap sebagian kita kepada sebagian yang lain, atau memanggil beliau sebagaimana sebagian kita memanggil sebagian yang lain. Allah berfirman :
لا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا
Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian ( yang lain ).” ( Q.S.An.Nuur : 63 )
Allah juga mengecam mereka yang menyamakan Nabi dengan orang lain dalam interaksi sosial dan tata cara pergaulan :
إِنَّ الَّذِينَ يُنَادُونَكَ مِنْ وَرَاءِ الْحُجُرَاتِ أَكْثَرُهُمْ لا يَعْقِلُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar ( mu ) kebanyakan mereka tidak mengerti.” ( Q.S.Al.Hujuraat : 4 )
Para sahabat yang mulia adalah orang-orang yang menyanjung Nabi SAW.Hassan ibn Tsabit membacakan syairnya :
أَغَرُّ عَلَيْهِ لِلنُّبُوَّةِ خَاتَمٌ     مِنَ اللهِ مَشْهُوْدٌ يَلُوْحُ وَ يُشْهَدُ
وَضَمَّ اْلإِلَهُ اِسْمَ النَّبِيِّ اِسْمَهُ    إِذَا قَالَ فِي الْخَمْسِ الْمُؤَذِّنُ أَشْهَدُ
وَشَقَّ لَهُ مِنِ اسْمِهِ ليجله    فَذُو الْعَرْشِ مَحْمُوْدٌ وَ هَذَا مُحَمَّدٌ
نَبِيٌّ أَتَانَا بَعْدَ يَأْسٍ وَفَتْرَةٍ     مِنَ الرُّسُلِ وَاْلأَوْثَانُ فِي اْلأَرْضِ تُعْبَدُ
فَأَمْسَى سِرَاجًا مُسْتَنِيْرًا وَهَادِيًا     يَلُوْحُ كَمَا لاَحَ الصَّقِيْلُ الْمُهَنِّدُ
فَأَنْذَرَنَا نَارًا وَ بَشَّرَ جَنَّةً      وَ عَلَّمَنَا اْلإِسْلاَمَ فَلِلَّهِ نَحْمَدُ
·         Orang yang bersinar wajahnya dan ada cap kenabian
  dari Allah yang terlihat cemerlang.
·         Allah menggabungkan nama beliau dengan nama-Nya
Ketika muadzin mengumandangkan Asyhadu, lima kali dalam sehari
·          Sebagai penghormatan, dari nama-Nya Tuhan memberikan kepada Nabi
 Maka Tuhan pemilik ‘arsy itu Dzat yang dipuji dan beliau orang yang banyak dipuji.
·         Beliau adalah Nabi yang datang setelah masa kekosongan
dari para rasul, pada saat arca-arca disembah di muka bumi.
·         Beliau adalah pelita yang menyinari dan petunjuk
yang mengkilap bak pedang India.
·         Beliau mengancam dengan neraka dan memberi kabar bahagia dengan sorga
dan mengajarkan Islam kepada kami, maka hanyalah untuk Allah segala pujian.
Selanjutnya Hassan juga mengatakan :
يَا رُكْنَ مُعْتَمِدٍ وَعِصْمَةَ لاَئِذٍ     وَمَلاَذَ مُنْتَجِعٍ وَجَارَ مُجَاوِرٍ
يَا مَنْ تَخَيَّرَهُ اِْلإَلهُ لِخَلْقِهِ       فَحَبَاهُ بِالْخُلُقِ الزَّكِيِّ الطَّاهِرِ
أَنْتَ النَّبِيُّ وَ خَيْرُ عَصَبَةِ آدَمَ      يَا مَنْ يَجُوْدُ كَفَيْضِ بَحْرٍ زَاخِرٍ
مِيْكَالَ مَعَكَ وَجِبْرَئِيْلَ كِلاَهُمَا     مَدَدٌ لِنَصْرِكَ مِنْ عَزِيْزٍ قَادِرٍ
·         Wahai pilar penyangga dan pelindung
orang yang berlindung, tempat orang meminta bantuan dan tetangga bagi yang berdampingan
·         Wahai orang yang dipilih Tuhan untuk makhluk-Nya
Allah telah memberimu perilaku yang bersih dan suci
·         Engkau adalah Nabi dan sebaik-baik keturunan Adam
 Wahai orang yang berderma laksana limpahan samudera yang pasang
·          Mikail dan Jibril senantiasa bersamamu
sebagai bantuan dari Dzat Yang Maha Perkasa dan Kuasa untuk menolongmu
 Shafiyyah binti ‘Abdil Muththallib meratapi dan menyebut-nyebut kebaikan Rasulullah SAW :
أَلاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ كُنْتَ رَجَاءَنَا    وَ كُنْتَ بِنَا بَرًّا وَلَمْ تَكُ جَافِيًا
وَكُنْتَ رَحِيْمًا هَادِيًا وَمُعَلِّمًا     لَبَّيْكَ عَلَيْكَ الْيَوْمَ مَنْ كَانَ بَاكِيًا
صَدَقْتَ وَبَلَغْتَ الرِّسَالَةَ صَادِقًا   رَمْتَ صَلِيْبَ الْعُوْدِ أَبْلَجَ صَافِيًا
فِدًى لِرَسُوْلِ اللهِ أُمِّيْ وَخَالَتِيْ    وَ عَمِّىْ وَ آباَئِيْ وَ نَفْسِيْ وَمَالِيَا
لَعَمْرُكَ مَا أَبْكِى النِّبِيَّ لِفَقْدِهِ    وَلَكِنْ لَمَّا أَخْشَى مِنَ الْهَرَجِ آتِيًا
كَأَنَّ عَلَى قَلْبِيْ لَذِكْرُ مُحَمَّدِ    وَ مَا خِفْتُ بَعْدَ النَّبِيِّ مُطَاوِيًا
فَلَوْ أَنَّ رَبَّ النَّاسِ أَبْقَى نَبِيَّنَا    سَعِدْنَا وَ لَكِنْ أَمْرُهُ كَانَ مَاضِيًا
عَلَيْكَ مِنَ اللهِ السَّلاَمُ تَحِيَّةً    وَاُدْخِلْتَ جَنَّاتٍ مِنَ الْعَدْنِ رَاضِيًا
أَفَاطِمُ صَلَّى الله ُرَبُّ مُحَمَّدٍ     عَلَى جَدَثٍ أَمْسَى بِطَيْبَةَ ثَاوِيًا
·         Wahai Rasulullah, engkau adalah harapan kami
 Engkau baik pada kami dan tidak kasar
·         Engkau pengasih, pembimbing dan pengajar
Hendaklah menangis sekarang orang yang ingin menangis
·         Engkau jujur, engkau telah menyampaikan risalah dengan jujur
Engkau telah melemparkan kayu salib yang mengkilap
·         Ibu, bibi, paman, ayah,
diriku dan hartaku menjadi tebusan untuk Rasulullah
·         Sungguh, aku tak menangisi kematian Nabi
Namun aku khawatir akan datangnya kekacauan
·         Di hatiku seolah-olah ada ingatan Muhammad
.Sesudah kematian beliau, aku tak takut pada kesusahan yang terpendam
·         Jika Allah mengekalkan Nabi kami
Kami akan bahagia, tapi urusan beliau telah berlalu
·         Salam dari Allah untukmu, sebagai ungkapan penghormatan
Engkau telah dimasukkan ke surga ‘Adn dengan suka cita
·         Wahai Fathimah, Allah Tuhan Muhammad telah menyampaikan shalawat
Atas kuburan yang berada di Thaibah
Ibnu Sa’d dalam Al Thabaqaat menyatakan bahwa bait-bait Shofiah ini adalah milik ‘Urwa binti Abdil Muththallib.
Ka’b ibn Zuhair menyanjung Nabi dalam qasidah populernya yang prolognya Sebagai berikut :
بِاَنْتِ سُعَادُ فَقَلْبِيْ الْيَوْمَ مَتْبُوْلٌ    مُتَيَّمٌ إِثْرَهَا لَمْ يُفِدْ مَكْبُوْلٌ
أُنْبِئْتُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ أَوْعَدَنِيْ    وَالْعَفْوُ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ مَأْمُوْلٌ
إِنَّ الرَّسُوْلَ لَنُوْرٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ    مُهَنِّدٌ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ مَسْلُوْلٌ
فِيْ عَصَبَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ قَالَ قَائِلُهُمْ     بِبَطْنِ مَكَّةَ لَمَّا أَسْلَمُوْا زَوَلُوْا
يَمْشُوْنَ مَشَى الْجَمَاِل الزَّهْرُ يَعْصِمُهُمْ      ضَرْب إذا عود السود التنابيل
·         Su’ad telah bercerai maka hatiku kini merasa sedih,
 diperbudak dan terbelenggu.Pengaruhnya tak bisa ditebus
·          Aku dikabari bahwa rasulallah menjanjikanku
Ampunan dapat diharapkan di sisi Rasulullah
·         Sungguh Rasulullah adalah cahaya yang menyinari
 Laksana pedang India dari beberapa pedang Allah, yang terhunus
·         Dalam kelompok suku Qurays di mana salah satu mereka berkata
Di dalam Makkah saat masuk Islam mereka berhijrah
·          Mereka berjalan seperti unta yang berkemilau. Mereka terlindungi
 oleh pukulan saat orang-orang negro yang pendek berusia lanjut.
Dalam riwayat Abu Bakar ibn Hanbali bahwasanya saat Zuhair sudah datang pada bait :
إِنَّ الرَّسُوْلَ لَنُوْرٌ يُسْتَضَاءُ بِهِ       مُهَنِّدٌ مِنْ سُيُوْفِ اللهِ مَسْلُوْلٌ
·         Sungguh Rasulullah adalah cahaya yang menyinari 
Laksana pedang India dari beberapa pedang Allah, yang terhunus
Maka, Rasulullah melemparkan selimut yang melekat pada badannya kepada Ka’ab dan bahwa Mu’awiyah menawarkan 10.000 dirham kepada Ka’ab untuk memiliki selimut tersebut. “Saya tidak akan memprioritaskan siapapun dengan Rasulullah,” kata Ka’ab. Waktu Ka’ab meninggal dunia Mu’awiyah mengambil selimut tersebut dari ahli warisnya dengan memberi 20.000 dirham kepada mereka.
Rasulullah juga memuji dirinya sendiri.
Beliau berkata :
أَنَا خَيْرُ أَصْحَابِ الْيَمِيْنِ
“Saya adalah sebaik-baik kelompok kanan ( Ashabul Yamin )”
أَنَا خَيْرُ السَّابِقِيْنَ
“Saya adalah sebaik-baik orang dahulu.
أَنَا أَثْقَى وَلَدِ آدَمَ وَأَكْرَمُهُمْ عَلَى اللهِ وَلاَ فَخْرَ
Saya adalah anak cucu Adam yang paling bertaqwa dan paling mulia di sisi Allah, namun saya tidak merasa angkuh.” HR Al Turmudzi dan Al Baihaqi dalam Al Dalaail.
أَنَا أَكْرَمُ اْلأَوَّلِيْنَ وَاْلآخِرِيْنَ وَلاَ فَخْرَ
Saya adalah orang paling mulia dari generasi awal dan akhir, namun aku tidak merasa angkuh.” HR. AL Turmudzi dan Al Darimi.
لَمْ يَلْتَقِ أ َبَوَىَّ عَلَى سِفَاحٍ قَطُّ    
Kedua orang tuaku sama sekali tidak pernah melakukan perzinahan.” HR Ibnu ‘Umar Al ‘Adani dalam Musnadnya.
Jibril berkata, “Saya telah menelusuri wilayah timur dan barat bumi. Saya tidak melihat seorang lelaki yang lebih utama melebihi Muhammad dan tidak melihat anak cucu seorang ayah yang lebih utama melebihi anak cucu Hasyim.”
HR Al Baihaqi, Abu Nu’aim dan Al Thabarani dari ‘Aisyah RA.
- 0 komentar

Benarkah Suguhan Makanan Kematian Haram?


Wahabi Berdusta Atas Nama Ulama Madzhab Imam Syafi’i
Pada tanggal 23 Juli 2011, penulis mengisi acara Daurah pemantapan Ahlussunnah Wal-Jama’ah di Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran, Sleman Yogyakarta yang diasuh oleh KH. Mu’tashim Billah Mufid. Dalam acara tersebut, salah seorang peserta mengajukan pertanyaan kepada penulis tentang hukum selamatan kematian, di mana dalam selebaran Manhaj Salaf, media siluman kaum Wahabi, selamatan atau suguhan makanan kematian dianggap haram secara mutlak. Selebaran tersebut berjudul Imam Syafie Mengharamkan Kenduri Arwah, Tahlilan, Yasinan dan Selamatan. Setelah saya memeriksa selebaran tersebut, ternyata isinya penuh dengan kebohongan dan pemalsuan terhadap pernyataan para ulama madzhab Syafi’i.  Ulama menyatakan makruh, selebaran tersebut merubahnya menjadi haram.

Saya menjadi heran, bukankah selama ini kaum Wahabi sangat keras menyuarakan penolakan terhadap hadits dha’if dan palsu, akan tetapi mengapa mereka sendiri justru kreatif memalsu pernyataan para ulama? Di antara kebohongan dan pemalsuan selebaran tersebut adalah pernyataannya yang berulang-ulang bahwa Imam Syafi’i dan madzhab Syafi’i mengharamkan “kenduri arwah” yang lebih dikenali dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati.
Kemudian selebaran tersebut mengutip pernyataan ulama dalam kitab I’anah al-Thalibin, Hasyiyah al-Qulyubi wa ‘Amirah dan Mughni al-Muhtaj. Anehnya, semua kutipan dari ketiga kitab tersebut menyatakan bahwa selamatan kematian selama tujuh hari atau lainnya itu dihukumi makruh. Akan tetapi penulis selebaran tersebut menegaskan bahwa tradisi selamatan kematian tersebut dihukumi haram. Sepertinya penulis selebaran tidak mengerti perbedaan antara hukum makruh dan hukum haram.Selebaran tersebut banyak melakukan pemelintiran dan distorsi terhadap pernyataan para ulama madzhab Syafi’i dalam kitab-kitab fiqih mu’tabaroh.  Oleh karena itu, catatan ini akan mengupas secara ringkas tentang hukum suguhan kematian menurut para ulama.
Suguhan makanan yang dibuat oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah, diperselisihkan di kalangan ulama menjadi 3 pendapat.

Pertama, pendapat yang menyatakan makruh. Pendapat ini diikuti oleh mayoritas ulama madzhab empat, seperti dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam kitab I’anah al-Thalibin dengan mengutip fatwa gurunya, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan berikut ini:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتِمَاعِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ (2/145) وَفِيْ حَاشِيَةِ الْعَلاَّمَةِ الْجَمَلِ عَلَى شَرْحِ الْمَنْهَجِ وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ وَالْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجُمَعِ وَاْلأَرْبَعِيْنَ بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ إِنْ كَانَ مِنْ مَالِ مَحْجُوْرٍ أَوْ مِنْ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ أَوْ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ ضَرَرٌ أَوْ نَحْوُ ذَلِكَ اهـ (2/146) وَلاَ شَكَّ أَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ إِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَإِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ أَبْوَابِ الشَّرِّ فَإِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ إِلَى أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا (2/146).
“Apa yang dilakukan oleh manusia berupa berkumbul di rumah keluarga duka cita dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang munkar. Dalam Hasyiyah al-Jamal diterangkan, “Di antara bid’ah yang munkar adalah tradisi selamatan (kenduri) kematian yang disebut wahsyah, juma’, dan arba’in (nama-nama tradisi di Hijaz). Bahkan semua itu dihukumi haram apabila makanan tersebut diambil dari harta mahjur ‘alaih (orang yang belum dibolehkan mentasarufkan hartanya seperti anak yang belum dewasa), atau harta si mati yang memiliki hutang, atau dapat menimbulkan madarat pada si mati tersebut dan sesamanya.” Tidak diragukan lagi bahwa mencegah manusia dari bid’ah yang munkar ini, dapat menghidupkan sunnah, mematikan bid’ah, membuka sekian banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup sekian banyak pintu-pintu kejelekan. Karena manusia yang melakukannya telah banyak memaksakan diri yang membawa pada hukum keharaman.” (Syaikh al-Bakri, I’anah al-Thalibin, juz 2 hal. 145-146).
Demikian fatwa Sayyid Ahmad Zaini Dahlan al-Syafi’i yang dikutip oleh Syaikh al-Bakri dalam I’anah al-Thalibin. Kesimpulan dari fatwa tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, selamatan pada hari kematian, sampai hari ketujuh dan hari empat puluh adalah makruh, apabila makanan yang disediakan berasal dari harta keluarga si mati.
Kedua, selamatan tersebut bisa menjadi haram, apabila makanan disediakan dari harta mahjur ‘alaih (orang yang tidak boleh mengelola hartanya seperti anak yatim/belum dewasa), atau dari harta si mati yang mempunyai hutang, atau dapat menimbulkan madarat dan sesamanya. Demikian kesimpulan fatwa Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan yang bermadzhab Syafi’i. Fatwa yang sama juga dikemukakan oleh ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali.
Meski demikian, apabila makanan yang disediakan kepada penta’ziyah tersebut berasal dari bantuan para tetangga, maka status hukum makruhnya menjadi hilang dan berubah menjadi tidak makruh. Hal ini seperti dikemukakan oleh Syaikh Abdul Karim Bayyarah al-Baghdadi, mufti madzhab Syafi’i di Iraq, dalam kitabnya Jawahir al-Fatawa. Dalam hal ini, ia berkata:
اِنِ اجْتَمَعَ الْمُعِزُّوْنَ الرُّشَدَاءُ وَأَعْطَى كُلٌّ مِنْهُمْ بِاخْتِيَارِهِ مِقْدَارًا مِنَ النُّقُوْدِ أَوْ جَمَعُوْا فِيْمَا بَيْنَهُمْ مَا يُكْتَفَى بِهِ لِذَلِكَ الْجَمْعِ مِنَ الْمَأْكُوْلاَتِ وَالْمَشْرُوْبَاتِ وَأَرْسَلُوْهُ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ أَوْ إِلَى أَحَدِ جِيْرَانِهِمْ وَتَنَاوَلُوْا ذَلِكَ بَعْدَ الْوُصُوْلِ اِلَى مَحَلِّ التَّعْزِيَةِ فَلاَ حَرَجَ فِيْهِ هَذَا وَاللهُ الْهَادِيْ إِلَى الْحَقِّ وَالصَّوَابِ.
“Apabila orang-orang yang berta’ziyah yang dewasa berkumpul, lalu masing-masing mereka menyerahkan sejumlah uang, atau mengumpulkan sesuatu yang mencukupi untuk konsumsi perkumpulan (selamatan kematian) berupa kebutuhan makanan dan minuman, dan mengirimkannya kepada keluarga si mati atau salah satu tetangganya, lalu mereka menjamahnya setelah sampai di tempat ta’ziyah itu, maka hal tersebut tidak mengandung hukum kesulitan (tidak apa-apa). Allah lah yang menunjukkan pada kebenaran.” (Jawahir al-Fatawa, juz 1, hal. 178).
Kedua, pendapat yang menyatakan boleh atau mubah. Pendapat ini diriwayatkan dari Khalifah Umar, Sayyidah Aisyah dan Imam Malik bin Anas. Riwayat dari Khalifah Umar bin al-Khatthab disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar sebagai berikut:
عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رضي الله عنه يَقُوْلُ لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِيْ بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ فَلاَ أَدْرِيْ مَا تَأْوِيْلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رضي الله عنه فَأَمَرَ صُهَيْبًا رضي الله عنه أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلاَثًا وَأَمَرَ أَنْ يُجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَاماً فَلَمَّا رَجَعُوْا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوْا وَقَدْ وُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ. (المطالب العالية، 5/328).
“Dari Ahnaf bin Qais, berkata: “Aku mendengar Umar berkata: “Seseorang dari kaum Quraisy tidak memasuki satu pintu, kecuali orang-orang akan masuk bersamanya.” Aku tidak mengerti maksud perkataan beliau, sampai akhirnya Umar ditusuk, lalu memerintahkan Shuhaib menjadi imam sholat selama tiga hari dan memerintahkan menyediakan makanan bagi manusia. Setelah mereka pulang dari jenazah Umar, mereka datang, sedangkan hidangan makanan telah disiapkan. Lalu mereka tidak jadi makan, karena duka cita yang menyelimuti.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, al-Mathalib al-‘Aliyah, juz 5 hal. 328).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Sayyidah Aisyah, istri Nabi SAW. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ الْمَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلاَّ أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِيْنَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيْدٌ فَصُبَّتْ التَّلْبِيْنَةُ عَلَيْهَا ثُمَّ قَالَتْ كُلْنَ مِنْهَا فَإِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ اَلتَّلْبِيْنَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيْضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ. رواه مسلم.
“Dari Urwah, dari Aisyah, istri Nabi SAW, bahwa apabila seseorang dari keluarga Aisyah meninggal, lalu orang-orang perempuan berkumpul untuk berta’ziyah, kemudian mereka berpisah kecuali keluarga dan orang-orang dekatnya, maka Aisyah menyuruh dibuatkan talbinah (sop atau kuah dari tepung dicampur madu) seperiuk kecil, lalu dimasak. Kemudian dibuatkan bubur. Lalu sop tersebut dituangkan ke bubur itu. Kemudian Aisyah berkata: “Makanlah kalian, karena aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Talbinah dapat menenangkan hari orang yang sedang sakit dan menghilangkan sebagian kesusahan.” (HR. Muslim [2216]).
Dua hadits di atas mengantarkan pada kesimpulan bahwa pemberian makanan oleh keluarga duka cita kepada orang-orang yang berta’ziyah tidak haram. Khalifah Umar berwasiat, agar para penta’ziyah diberi makan. Sementara Aisyah, ketika ada keluarganya meninggal, menyuruh dibuatkan kuah dan bubur untuk diberikan kepada keluarga, orang-orang dekat dan teman-temannya yang sedang bersamanya. Dengan demikian, tradisi pemberian makan kepada para penta’ziyah telah berlangsung sejak generasi sahabat Nabi SAW.
Demikian pula Imam Malik bin Anas, pendiri madzhab Maliki, berpandangan bahwa hidangan kematian yang telah menjadi tradisi masyarakat dihukumi jaiz (boleh), dan tidak makruh. Dalam konteks ini, Syaikh Abdullah al-Jurdani berkata:
يَجُوْزُ مِنْهُ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ عِنْدَ الْإِماَمِ مَالِكٍ كَالْجُمَعِ وَنَحْوِهَا وَفِيْهِ فُسْحَةٌ كَمَا قَالَهُ الْعَلاَّمَةُ الْمُرْصِفِيُّ فِيْ رِسَالَةٍ لَهُ.
“Hidangan kematian yang telah berlaku menjadi tradisi seperti tradisi Juma’ dan sesamanya adalah boleh menurut Imam Malik. Pandangan ini mengandung keringanan sebagaimana dikatakan oleh al-Allamah al-Murshifi dalam risalahnya.” (Syaikh Abdullah al-Jurdani, Fath al-‘Allam Syarh Mursyid al-Anam, juz 3 hal. 218).
Ketiga, pendapat yang mengatakan sunnah. Pendapat ini diriwayatkan dari kaum salaf sejak generasi sahabat yang menganjurkan bersedekah makanan selama tujuh hari kematian untuk meringankan beban si mati. Dalam hal ini, al-Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam kitab al-Zuhd:
عَنْ سُفْيَانَ قَالَ قَالَ طَاوُوْسُ إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُوْنَ فِيْ قُبُوْرِهِمْ سَبْعاً فَكَانُوْا يَسْتَحِبُّوْنَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَياَّمَ.
“Dari Sufyan berkata: “Thawus berkata: “Sesungguhnya orang yang mati akan diuji di dalam kubur selama tujuh hari, karena itu mereka (kaum salaf) menganjurkan sedekah makanan selama hari-hari tersebut.”
Hadits di atas diriwayatkan al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam al-Zuhd, al-Hafizh Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ (juz 4 hal. 11), al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur (32), al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah (juz 5 hal. 330) dan al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi (juz 2 hal. 178).
Menurut al-Hafizh al-Suyuthi, hadits di atas diriwayatkan secara mursal dari Imam Thawus dengan sanad yang shahih. Hadits tersebut diperkuat dengan hadits Imam Mujahid yang diriwayatkan oleh Ibnu Rajab dalam Ahwal al-Qubur dan hadits Ubaid bin Umair yang diriwayatkan oleh Imam Waki’ dalam al-Mushannaf, sehingga kedudukan hadits Imam Thawus tersebut dihukumi marfu’ yang shahih. Demikian kesimpulan dari kajian al-Hafizh al-Suyuthi dalam al-Hawi lil-Fatawi.
Tradisi bersedekah kematian selama tujuh hari berlangsung di Kota Makkah dan Madinah sejak generasi sahabat, hingga abad kesepuluh Hijriah, sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh al-Suyuthi.
Berdasarkan paparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa tradisi hidangan makanan dari keluarga duka cita untuk orang-orang yang berta’ziyah masih diperselisihkan di kalangan ulama salaf sendiri antara pendapat yang mengatakan makruh, mubah dan sunnat. Di antara mereka tidak ada pendapat yang menyatakan haram. Bahkan untuk selamatan tujuh hari, berdasarkan riwayat Imam Thawus, justru dianjurkan oleh kaum salaf sejak generasi sahabat dan berlangsung di Makkah dan Madinah hingga abad kesepuluh Hijriah. Wallahu a’lam.
(Oleh: Muhammad Idrus Ramli)
- 0 komentar

Ibnu Taimiyah Menganggap Baik Maulid Nabi


islamic_pictures__29_
Sebetulnya, kalau wahabi mau menelaah ulang kitab para pendahulunya, seperti Ibnu Taimiyah sebagai tokoh sentral mereka. Mereka akan sadar bahwa Ibnu Taimiyah sendiri tidak se-ekstrem kaum salafi sekarang. Peringatan maulid misalnya, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa merayakan maulid dengan dasar cinta Nabi Saw. adalah bernilai pahala. Kaum wahabi berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan perbuatan itu sebagai bid’ah, kurafat, dan pengkultusan yang ujung-ujungnya adalah syirik.
Bagi masyarakat Muslim, jika ada kelompok yang suka menyalahkan, mencaci-maki dan membid’ahkan amalan-amalan ahlussunnah, cukuplah dijawab dengan dalil-dalil imam mereka sendiri, yang akan kita bahas satu persatu. Dijamin, mereka bakal kelabakan dan diam seribu bahasa. Sebab, nyatanya mereka melabrak pendapat-pendapat para imam mereka sendiri.
Peringatan maulid Nabi Saw. itu tergolong bid’ah hasanah. Peringatan semacam ini sudah ditradisikan sejak ratusan tahun lalu. Peringatan ini merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh raja-raja, para ulama’, masayikh. Termasuk para ahli hadits, pakar fikih, orang-orang zuhud, para ahli ibadah dan berbagai individu dari kalangan awam.
Di samping itu, peringatan ini punya dasar kuat yang diambil dengan cara istinbath seperti telah dijelaskan Imam al-Hafid Ibnu Hajar dan para ulama ahlussunnah lainnya.
Diantara bidah dan kesesatan para penentang tawassul, mereka mengharamkan maulid dengan ekstrem. Bahkan seorang tokoh mereka, Abubakar Aljazairi –semoga Allah memberinya petunjuk- menyatakan, sembelihan yang disediakan untuk suguhan maulid lebih haram dari babi. Wal iyadzu billah, semoga Allah melindungi kita dari membenci Rasulillah Saw.
Begitu antinya mereka terhadap maulid. Namun yang menarik, Ibnu Taimiyah sendiri tidak mengharamkan, bahkan dalam sebagian fatwanya dia katakan, “Jika maulid dilaksanakan dengan niat baik akan membuahkan pahala,” artinya sah-sah saja dilakukan.
Marilah kita simak kitab Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim karya seorang filosof mujassim Ahmad ibn Taimiyah (meninggal tahun 728 hijriah) cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H. Pada hal.269 Ibnu Taimiyah berkata,
فتعظيم المولد ، واتخاذه موسمًا ، قد يفعله بعض الناس ، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده ، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وسلم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutinan, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah Saw..”
Jika semua ini telah jelas, maka bersama siapakah kelompok sempalan wahabi ini? Mereka tidak bersama ahlussunnah wal jamaah. Tidak pula bersama tokohnya, Ibnu Taimiyah. Sepatutnya mereka mencela diri mereka sendiri, dan bertaubat dari kesesatan mereka selama masih ada kesempatan. Cukuplah sebagai kehinaan, penilaian buruk mereka terhadap hal yang telah disepakati kaum muslimin berabad-abad di penjuru timur dan barat bumi.
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita taufiq untuk menjelaskan hal ini. Semoga salawat dan rahmat Allah tetap tercurah atas Rasulullah Saw..
Video berikut akan memperjelas buktinya

 http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=uepJrvqveZQ
- 0 komentar

Habib Luthfi: Hormat Bendera Bukan Syirik


hormat Merah putih, bukan hanya sekadar warna dari bendera Indonesia. Tetapi memiliki makna yang tinggi bagi kebanggaan dan kewibawaan bangsa. Maka wajib hukumnya untuk dihormati.
”Kalau tidak mau hormat pada Bendera Merah Putih, silahkan enyah dari Indonesia,” tegas Ketua Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al Mutabaroh An Nahdliyyah (JATMAN) Habib Muhammad Luthfiy bin Ali bin Hasyim bin Yahya saat menyampaikan mauidlatul khasanah Brebes Bersholawat di Simpang Empat Saditan Baru Brebes Ahad malam (29/1).

Fanatisme terhadap Indonesia, lanjutnya, mutlak dimiliki oleh segenap umat Islam Indonesia. Jangan hanya janji yang diucapkan tetapi buktikan, kalau jiwa dan raga kita rela dikorbankan untuk Indonesia. ”Sangat aneh kalau hormat bendera merah putih dikatakan musyrik, syirik. Mereka tidak mengerti makna musyrik dan syirik, artinya perlu memperdalam lagi belajar agama,” ujar Habib.
Harusnya, kata Habib, kita malu pada para pendahulu kita yang telah menegakan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia bukanlah hasil dari hadiah. Tetapi melalui perjuangan yang memakan banyak korban. ”Betapa tak terkira jumlahnya syuhada bangsa yang telah mengorbakan jiwa raganya demi kemerdekaan Indonesia,” papar Habib.
Dikala kita sudah merdeka, kita tinggal mengisinya dengan jalan membangun dan membangun bangsa sesuai dengan posisi dan keahlian masing-masing. Kita harus merenung, bagaimana nasib sebutir nasi yang kita makan. Tidak serta merta ada, tetapi banyak tangan-tangan yang terlibat di dalamnya.
Di awali dengan ahli bibit mengadakan penelitian untuk menghasilkan bibit unggul, petani mencangkul, ibu-ibu memanggul, juragan menawarkan kepada bakul-bakul, lalu digiling di rice mill dengan meninggalkan bekatul, barulah beras di tanak menjadi nasi. ”Sebutir nasi, perlu beribu-ribu tangan keihlasan untuk dimakan sebagai sarana menyehatkan badan kita,” urai Habib.
Sementara, berbicara di pengajian Maulid Nabi Muhammad SAW di pesantren Assalafiyah Luwungragi Bulakamba Habib mengajak peran serta generasi muda. Baik dalam peneguhan NKRI maupun pengembangan intelektual dan moral.
Kita belum sadar, kalau laut yang begitu luas mengandung sikap dan sifat yang bersahaja dan tetap teguh pada pendirian, tak tergoyahkan. Kendati laut di kirimi air dari berbagai anak sungai tetapi tetap saja terasa asin.
Begitupun dengan ikan, meski hidup di laut yang berair asin, tetapi tetap saja ikan tidak terasa asin bila di makan, kecuali kalau kita kasihkan garam. ”Peneguhan pendirian mutlak diperlukan, tidak berarti kolot dan mementingkan diri sendiri. Tetapi sebagai tekad mempertahankan prinsip dan ketetapan Allah SWT,” terangnya.
Kerusakan lingkungan dengan menelantarkan tanaman mangrove (bakau), akan membuat banjir rob. Padahal, fungsi pohon bakau disamping akan menstabilkan ekosistem biota pantai juga akan melestarikan kehidupan pantai beserta nelayan.
Habib Lutfi bangga, dengan makin banyaknya remaja yang menghadiri pengajian. Sehingga bisa menstabilkan rohaninya dan juga mendapatkan keberkahan dari aktivitas yang positif.
Dalam pengajian Maulid Nabi yang digelar Jamiyah Ratib Brebes maupun Pesantren Assalafiyah, Bupati Brebes H Agung Widyantoro SH MSi menyampaikan sambutan pentingnya peneguhan hati. Sebagai warga negara yang baik, dia mengingatkan kalau pada bulan November 2012 bakal digelar Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Brebes. Untuk itu dia menghimbau kepada warga masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dengan cerdas.
Dikandung maksud, tidak mudah di iming-iming dan jangan takut di amang-amang. Jangan tergiur dengan iming-iming duit 5 ribu perak sampai 50 ribu perak, kalau ternyata menyengsarakan untuk 5 tahun lamanya.
Begitupun, tidak perlu takut dengan amang-amang. Jangan takut dengan intimidasi dan teror dalam menentukan pilihan hati nuraninya. ”Aja wedi gedor-gedor lawange kon milih sing dudu pilihane dewek,” tandas Bupati.
Bupati menyarankan, pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan. Dengan modal persatuan, kedamaian, kondusifitas akan menjadi modal pembangunan daerah. ”Mari kita bersatu padu, walau berbeda warna,” ajaknya.
(NU Online)


Redaktur     : Syaifullah Amin
Kontributor : Wasdiun
- 0 komentar

Jidat Hitam Benarkah Sunnah?


jidat itemمُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ
Yang artinya, “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS al Fath:29).
Banyak orang yang salah paham dengan maksud ayat ini. Ada yang mengira bahwa dahi yang hitam karena sujud itulah yang dimaksudkan dengan ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’. Padahal bukan demikian yang dimaksudkan. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tanda mereka…” adalah perilaku yang baik. Diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang kuat dari Mujahid bahwa yang dimaksudkan adalah kekhusyuan. Juga diriwayatkan oleh Thabari dengan sanad yang hasan dari Qatadah, beliau berkata, “Ciri mereka adalah shalat” (Tafsir Mukhtashar Shahih hal 546).

عَنْ سَالِمٍ أَبِى النَّضْرِ قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى ابْنِ عُمَرَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَالَ : مَنْ أَنْتَ؟ قَالَ : أَنَا حَاضِنُكَ فُلاَنٌ. وَرَأَى بَيْنَ عَيْنَيْهِ سَجْدَةً سَوْدَاءَ فَقَالَ : مَا هَذَا الأَثَرُ بَيْنَ عَيْنَيْكَ؟ فَقَدْ صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَهَلْ تَرَى هَا هُنَا مِنْ شَىْءٍ؟
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut. Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّهُ رَأَى أَثَرًا فَقَالَ : يَا عَبْدَ اللَّهِ إِنَّ صُورَةَ الرَّجُلِ وَجْهُهُ ، فَلاَ تَشِنْ صُورَتَكَ.
Dari Ibnu Umar, beliau melihat ada seorang yang pada dahinya terdapat bekas sujud. Ibnu Umar berkata, “Wahai hamba Allah, sesungguhnya penampilan seseorang itu terletak pada wajahnya. Janganlah kau jelekkan penampilanmu!” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3699).

عَنْ أَبِى عَوْنٍ قَالَ : رَأَى أَبُو الدَّرْدَاءِ امْرَأَةً بِوَجْهِهَا أَثَرٌ مِثْلُ ثَفِنَةِ الْعَنْزِ ، فَقَالَ : لَوْ لَمْ يَكُنْ هَذَا بِوَجْهِكِ كَانَ خَيْرًا لَكِ.
Dari Abi Aun, Abu Darda’ melihat seorang perempuan yang pada wajahnya terdapat ‘kapal’ semisal ‘kapal’ yang ada pada seekor kambing. Beliau lantas berkata, ‘Seandainya bekas itu tidak ada pada dirimu tentu lebih baik” (Riwayat Bahaqi dalam Sunan Kubro no 3700).

عَنْ حُمَيْدٍ هُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ : كُنَّا عِنْدَ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ إِذْ جَاءَهُ الزُّبَيْرُ بْنُ سُهَيْلِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فَقَالَ : قَدْ أَفْسَدَ وَجْهَهُ ، وَاللَّهِ مَا هِىَ سِيمَاءُ ، وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّيْتُ عَلَى وَجْهِى مُذْ كَذَا وَكَذَا ، مَا أَثَّرَ السُّجُودُ فِى وَجْهِى شَيْئًا.
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).

عَنْ مَنْصُورٍ قَالَ قُلْتُ لِمُجَاهِدٍ (سِيمَاهُمْ فِى وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ) أَهُوَ أَثَرُ السُّجُودِ فِى وَجْهِ الإِنْسَانِ؟ فَقَالَ : لاَ إِنَّ أَحَدَهُمْ يَكُونُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ مِثْلُ رُكْبَةِ الْعَنْزِ وَهُوَ كَمَا شَاءَ اللَّهُ يَعْنِى مِنَ الشَّرِّ وَلَكِنَّهُ الْخُشُوعُ.
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702). Bahkan Ahmad ash Showi mengatakan, “Bukanlah yang dimaksudkan oleh ayat adalah sebagaimana perbuatan orang-orang bodoh dan tukang riya’ yaitu tanda hitam yang ada di dahi karena hal itu adalah ciri khas khawarij (baca: ahli bid’ah)” (Hasyiah ash Shawi 4/134, Dar al Fikr). Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku. Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali. Kemudian beliau bersabda,
يَخْرُجُ مِنْ قِبَلِ الْمَشْرِقِ رِجَالٌ كَانَ هَذَا مِنْهُمْ هَدْيُهُمْ هَكَذَا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ ثُمَّ لاَ يَرْجِعُونَ فِيهِ سِيمَاهُمُ التَّحْلِيقُ لاَ يَزَالُونَ يَخْرُجُونَ
“Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun alQur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. Cirri khas mereka adalah plontos kepala. Mereka akan selalul muncul” (HR Ahmad no 19798, dinilai shahih li gharihi oleh Syeikh Syu’aib al Arnauth). Oleh karena itu, ketika kita sujud hendaknya proporsonal jangan terlalu berlebih-lebihan sehingga hampir seperti orang yang telungkup. Tindakan inilah yang sering menjadi sebab timbulnya bekas hitam di dahi.
(Dafid Fuadi)
- 0 komentar

Ngusaimin Menyunat Fatwa Ibnu Taimiyah


ngusaiminSungguh ia telah melakukan talbis (penipuan terhadap umat)
Peringatan maulid, Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa merayakan maulid dengan dasar cinta Nabi Saw. adalah bernilai pahala. Kaum wahabi berpendapat sebaliknya. Mereka mengatakan perbuatan itu sebagai bid’ah, kurafat, dan pengkultusan yang ujung-ujungnya adalah syirik.
Ibnu Utsaimin telah kurang ajar berani memanipulasi fatwa seorang ulama besar tokoh sentral salafy Ibnu Taimiyyah, perhatikan berikut ini.
Ibnu Taimiyyah di dalam kitabnya Iqtidhoush shirotil Mustaqim juz 1 halaman : 619 mengatakan tentang Maulid Nabi Saw :
وكذلك ما يحدثه بعض الناس، إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام، وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم، وتعظيمًا. والله قد يثيبهم على هذه المحبة والاجتهاد، لا على البدع- من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيدًا. مع اختلاف الناس في مولده. فإن هذا لم يفعله السلف، مع قيام المقتضي له وعدم المانع منه لو كان خيرً ا  (اقتضاء الصراط المستقيم مخالفة أصحاب الجحيم ، ج 1 ، ص  619 )1)
“Demikian pula apa yang diperbuat orang-orang, terkadang bisa saja menyerupai orangt-orang Nashroni di dalam memperingati hari lahirnya isa As, dan juga terkadang bisa juga karena rasa cinta dan pengagungan Kepada Nabi Saw dan Allah memberi pahala mereka atas kecintaan dan ijtihad ini bukan karena bid’ah berupa menjadikan mauled Nabi Saw sebagai hari raya padahal para ulama berbeda pendapat tentang hari kelahiran Nabi Saw “
Sekarang perhatikan fatwa Utsaimin dan pengkaburannya terhadap fatwa Ibnu Taimiyah dengan membuang sebagian tulisan ibnu Timiyyah dalam kitab Majmu’ Fatawanya jilid 6 halaman 200 berikut ini :
وقال شيخ الإسلام ابن تيمية – رحمه الله: “وكذلك ما يحدثه بعض الناس؛ إما مضاهاة للنصارى في ميلاد عيسى عليه السلام، وإما محبة للنبي صلى الله عليه وسلم وتعظيما له… من اتخاذ مولد النبي صلى الله عليه وسلم عيدًا – مع اختلاف الناس في مولده؛ فإن هذا لم يفعله السلف مع القيام المقتضى له وعدم المانع ولو كان هذا خيرًا محضا أو راجحا؛ لكان السلف – رضي الله عنهم – أحق به منا؛
“Demikian pula apa yang diperbuat orang-orang, terkadang bisa saja menyerupai orangt-orang Nashroni di dalam memperingati hari lahirnya isa As, dan juga terkadang bisa juga karena rasa cinta dan pengagungan Kepada Nabi Saw (sampai di sini Utsaimin memotong ucapan Ibnu Taimiyah), dari menjadikan hari kelahiran Nabi Saw sebagai hari raya…”
Catatan :
Lihatlah, bagaimana Utsaimin begitu lancang berani membuang dan memotong ucapan ulama sentralnya sendiri Ibnu Taimiyah bukan hanya memotong tetapi ia juga menambahi ucapannya sendiri ke dalam ucapan Ibnu Taimiyyah seperti tertera di atas… Sungguh ia telah melakukan talbis (penipuan terhadap umat) dan berkhianat terhadap ilmu dan ulama panutannya…!

Video berikut akan memperjelas buktinya
Terjemah narasi:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta. Amma ba’du
Peringatan maulid Nabi Saw. itu tergolong bid’ah hasanah. Peringatan semacam ini sudah ditradisikan sejak ratusan tahun lalu. Peringatan ini merupakan kesepakatan yang dilakukan oleh raja-raja, para ulama’, masayikh. Termasuk para ahli hadits, pakar fikih, orang-orang zuhud, para ahli ibadah dan berbagai individu dari kalangan awam.
Di samping itu, peringatan ini punya dasar kuat yang diambil dengan cara istinbath seperti telah dijelaskan Imam al-Hafid Ibnu Hajar dan para ulama ahlussunnah lainnya.
Diantara bidah dan kesesatan para penentang tawassul, mereka mengharamkan maulid dengan ekstrem. Bahkan seorang tokoh mereka, Abubakar Aljazairi –semoga Allah memberinya petunjuk- menyatakan, sembelihan yang disediakan untuk suguhan maulid lebih haram dari babi. Wal iyadzu billah, semoga Allah melindungi kita dari membenci Rasulillah Saw.
Begitu antinya mereka terhadap maulid. Namun yang menarik, Ibnu Taimiyah sendiri tidak mengharamkan, bahkan dalam sebagian fatwanya dia katakan, “Jika maulid dilaksanakan dengan niat baik akan membuahkan pahala,” artinya sah-sah saja dilakukan.
Marilah kita simak kitab Iqtidha’ as-Sirath al-Mustaqim karya seorang filosof mujassim Ahmad ibn Taimiyah (meninggal tahun 728 hijriah) cet. Darul Fikr Lebanon th.1421 H. Pada hal.269 Ibnu Taimiyah berkata,
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutinan, segolongan orang terkadang melakukannya. Dan mereka mendapatkan pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya kepada Rasulullah Saw..”
Jika semua ini telah jelas, maka bersama siapakah kelompok sempalan wahabi ini? Mereka tidak bersama ahlussunnah wal jamaah. Tidak pula bersama tokohnya, Ibnu Taimiyah. Sepatutnya mereka mencela diri mereka sendiri, dan bertaubat dari kesesatan mereka selama masih ada kesempatan. Cukuplah sebagai kehinaan, penilaian buruk mereka terhadap hal yang telah disepakati kaum muslimin berabad-abad di penjuru timur dan barat bumi.
Segala puji bagi Allah yang telah memberi kita taufiq untuk menjelaskan hal ini. Semoga salawat dan rahmat Allah tetap tercurah atas Rasulullah Saw.. [http://www.forsansalaf.com/]
- 0 komentar

Albani Yang Hobi Mencaci Maki Ulama


Terlalu banyak kalimat cacian, hinaan, dan sumpah serapah yang dilontarkan Muhammad Nashiruddin al-Albani kepada para ulama terdahulu dan zaman sekarang, sehingga tidak terhitung lagi jumlahnya saking banyaknya.  Sampai-sampai ulama asal Yordania, Syaikh Hasan bin Ali As-Segaf merangkum cercaan dan cacian mulut kotor al-Albani dalam sebuah buku berjudul Qamus Syata’im al-Albani (Kamus Caci Maki al-Albani). Buku setebal 206 halaman ini berisi tentang caci-maki al-Albani kepada para ulama terdahulu maupun ulama kontemporer.

KAMUS CACI MAKI AL-ALBANI 
Judul : Qamus Syata-im al-Albani
Pengarang : Sayyid Hasan bin Ali As-Segaf
Penerbit : دار الامام النووي
Bahasa : Arab
Tebal : 206 halaman
 
Albani telah menghina dan mencaci maki para ulama dengan ungkapan-ungkapan yang tidak pantas dan tidak layak, beberapa diantaranya adalah:
- himar khassaf (keledai dungu)
- waqah (tidak punya rasa malu)
- syiddatu humqih (sangat tolol!)
- dhahalatu aqlih (sesat otaknya)
- istifhalu jahlil (ketololannya amat sangat!)
- jahul (orang tolol!)
- mubtadi’ (ahli bid’ah)
- dhal (sesat)
- kadzdzab (pendusta)
- mumawwih (pemalsu)
- mulabbis (penipu)
- ghairu mu’tamin ‘ala din (tidak amanah dalam agama)
- kanud (kufur nikmat)
- jahil (orang bodoh)
- halik (binasa)
- muta’ashshib (fanatik)
- azhim ul-ghaflah (sangat sembrono)
- thabl la yadri ma yakhruj min ra’sih (gendang yang tidak tahu apa yang keluar dari kepalanya)
- ka dhartati ‘air fi al-’ara (seperti ringkikan keledai liar di tanah lapang)
- fanzhuru ila iffatihi bal ufunatih (lihatlah kebersihannya bahkan kebusukan-kebusukannya)
- huwa akdzab min himari hadza (dia lebih dusta dari keledaiku ini)
- rafidhi mitslu al-himar (dia seorang rafidhi seperti keledai)

Dan masih terlalu banyak lagi ungkapan-ungkapan kotornya yang lain, yang itu menunjukan kerendahan akhlaknya dan ketidaklayakannya untuk diikuti dan diambil ilmu darinya. Lihatlah wahai para pembaca! sebenarnya dia sedang mempertontonkan aibnya sendiri!

Jika dia adalah pakar ulama hadits  (seperti klaim para pengikutnya), maka apakah layak dirinya dipercaya dalam menshahihkan dan mendha’ifkan hadits-hadits Nabi SAW? Seorang perawi hadits yang makan sambil berdiri atau duduk-duduk di pinggir jalan saja tidak boleh diterima hadits-haditsnya, apalagi ini, al-Albani yang gemar mencaci-maki (Apalagi dia sudah terbukti kecerobohannya dan kebohongannya).
Pantaskah ulama hadits berakhlaq seperti itu? Tidakkah dia mengamalkan hadits-hadits Nabi SAW tentang akhlaq yang dia riwayatkan sendiri? Nabi SAW bersaabda :

ليس المسلم بالسّباب ولا بالفاحش ولا البذي
“Bukan seorang muslim yang suka mencaci-maki, berkata kotor, ataupun mencela”

Silahkan yang mau download kitabnya:
DOWNLOAD DISINI
- 0 komentar

Raja Saudi Arabia Keturunan Yahudi..?

MUJAHIDIN
Diringkaskan dari: Risalah Mujahidin , Indonesia, edisi 26 Jan-Feb 2009
Penulis buku berjudul ‘ Ali Saud min aina wa ila aina’ ( Ali Saud dari mana dan ke mana ) iaitu Muhammad Shakher menggemparkan dunia apabila mendedahkan fakta berkaitan siapa sebenarnya Dinasti Saud sehingga setiap kali berlaku konflik antara Palestin – Israel, pasti mereka diam dan bungkam. Muhammad Shakher akhirnya dibunuh oleh Regim Saudi kerana penemuannya yang menggemparkan itu. Benarkah Dinasti Saud berasal dari keturunan Anza bin Wael, keturunan Yahudi militant ?

Informasi yang didedahkan sangat mencekam sekaligus mencengangkan. Sulit untuk dipercayai, sebuah dinasti yang bernaung dibawah kerajaan Islam Saudi boleh melakukan kebiadaban iblis dengan melakukan pembakaran masjid sekaligus membunuh jama’ah solat yang berada didalamnya. Jika isi buku yang terbit pada 03 Rabi’ul Awal 1401 H (1981 M) ini ‘terpaksa’ dipercayai kerana faktanya yang jelas, maka kejahatan Kerajaan Arab Saudi terhadap kabilah Arab dahulu, sama seperti kebuasan Zionis Israel membantai rakyat Muslim di Jalur Ghazzah.
Lebih mencurigakan lagi, sikap kelompok Salafiyyun di Indonesia yang menolak dari mengutuk Israel. Lidah mereka lebih fasih mengutuk tertuduh bom Bali: Imam Samudera, Amrozi dan Al-Ghufron daripada mengutuk Ariel Sahron, Ehud Olmert, Meir Dagan, Tzipi Livni dan tokoh Zionis lainnya. Alasannya, mengikuti doktrin Dinasti Saud bahawa Israel anak keturunan Nabi Ya’akub. Seorang Salafi di Mataram yang tidak mahu membela Palestin dan menolak mengutuk Israel menyebut, “ Bangsa Israel tidak boleh dimusuhi kerana mereka keturunan Nabi Ya’akub a.s”.
Mengesan Asal Dinasti Saudi
RAJA

Hasil dari pendedahan sebanyak 43 halaman buku tersebut ditambah dengan banyak rujukan lainnya, disebutkan bahawa Dinasti Saudi bermula sejak abad ke-12 Hijrah atau abad ke-18 Masihi. Ketika itu di tengah kota Jazirah Arab, tepatnya di wilayah Najd yang secara sejarahnya sangat terkenal, lahirnya Nagara Saudi yang pertama didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di Ad-Dir’iyah yang terletak di sebelah barat laut Kota Riyadh pada tahun 1175 H / 1744 M dan meliputi hampir sebahagian besar wilayah Jaizrah Arab.
Negara ini mengaku memikul tanggungjawab dakwah menuju kemurniaan Tauhid kepada Allah, mencegah pebuatan bid’ah dan khurafat, kembali kepada ajaran para Salafus Soleh dan berpegang teguh kepada dasar-dasar Islam yang lurus. Peringkat awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H / 1818 M. Peringkat kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H / 1824 M. Peringkat ini berlangsung hingga tahun 1309 H / 1891 M. Pada tahun 1319 H / 1902 M, Raja Abdul Aziz berhasrat mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, ketika beliau merebut kembali kota Riyadh yang merupakan ibu kota bersejarah kerajaan ini.
Semenjak itulah Raja Abdul Aziz mulai bekerja dan membangun serta mewujudkan kesatuan sebuah wilayah terbesar dalam sejarah Arab Moden, iaitu berhasil mengembalikan suasana keamanan dan ketenteraman ke bahagian terbesar wilayah Jazirah Arab, serta menyatukan seluruh wilayahnya yang luas kedalam sebuah Negara moden yang kuat yang dikenal dengan nama Kerajaan Saudi Arabia. Penyatuan dengan nama ini yang dideklarasikan pada tahun 1351 H / 1932 M merupakan bermulanya fasa baru sejarah Arab moden.
Raja Abdul Aziz As-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja Dinasti Saud untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam, menebar kemanan dan ketenteraman keseluruh penjuru negeri Kerajaan yang sangat luas, mengamankan perjalanan haji ke Baitullah, memberikan perhatian kepada ilmu dan para ulama’ dan membangun hubungan luar negeri untuk merealisasikan tujuan-tujuan solidarity Islam dan memperkuatkan tali persaudaraan diantara seluruh bangsa Arab dan kaum Muslimin serta sikap saling memahami dan menghormati dengan seluruh masyarakat dunia. Di atas prinsip inilah, para putra beliau sesudahnya mengikuti jejak langkahnya dalam memimpin Kerajaan Arab Saudi. Mereka adalah Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd dan pelayan II Kota Suci, Raja Abdullah bin Abdul Aziz.
Dinasti Saud Keturunan Yahudi
Namun, dimasa yang jauh sebelumnya, di Najd tahun 851 H. Sekumpulan lelaki dari Bani Al-Masalikh iaitu keturunan dari Kaum Anza, yang membentuk sebuah kelompok dagang yang bergerak dibidang bisnes gandum dan jagung dan bahan makanan lain dari Iraq dan membawanya kembali ke Najd, Direktor perdagangan ini bernama Sahmi bin Hathlul. Kelompok dagang ini melakukan aktiviti bisnes mereka sampai ke Basra, disana mereka berjumpa dengan seorang pedagang gandum Yahudi bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe.
Ketika sedang terjadi proses tawar menawar, si Yahudi itu bertanya kepada kafilah dagang itu, “dari manakah anda berasal?” Mereka menjawab, “dari kaum Anza, kami adalah keluarga Bani Al-Masalikh”. Setelah mendengar itu, orang Yahudi itu menjadi gembira dan mengaku bahawa dirinya juga berasal dari kaum keluarga yang sama tetapi terpaksa tinggal di Basrah, Iraq kerana persengketaan keluarga antara bapanya dan ahli keluarga kaum Anza.
Setelah itu Mordakhai kemudian menyuruh budaknya untuk menaikkan guni-guni berisi gandum, kurma dan makanan lain ke atas pundak unta-unta milik kabilah itu. Hal itu adalah sebuah ungkapan penghormatan bagi para saudagar Bani Al-Masalikh itu dan menunjukkan kegembiraannya kerana berjumpa saudara tuanya di Iraq. Bagi pedagang Yahudi itu, kafilah dagang merupakan sumber pendapatan dan pertalian bisnes. Mordakhai adalah saudagar kayaraya yang sejatinya adalah keturunan Yahudi yang bersembunyi dibalik wajah Arab dari kabilah Al-Masalikh.
Ketika rombongan itu hendak bertolak ke Najd, si Yahudi ini meminta diizinkan untuk bersama mereka kerana sudah lama dia ingin pergi ke tanah asal mereka, Najd. Setelah mendengar permintaan lelaki Yahudi itu, kafilah dagang suku Anza ini pun amat berbesar hati dan menyambutnya dengan gembira. Pedagang Yahudi yang sedang bertaqiyyah (menyamar) itu tiba di Najd dengan pedati-pedatinya (kenderaan tunggangan).
Di Najd, dia mulai melancarkan aksi propaganda tentang sejatinya siapa dirinya melalui sahabat-sahabat, teman dagang dan teman-teman dari Bani Al-Masalikh yang baru dikenal. Setelah itu, disekitar Mordakhai berkumpullah para pendukung dan penduduk Najd. Tetapi, tanpa disangka dia berhadapan dengan seorang ulama’ yang menentang doktrin dan fahamannya. Dialah Sheikh Salman Abdullah At-Taimi seorang ulama karismatik dari daerah Al-Qasem. Daerah-daerah yang menjadi lokasi dakwahnya sepanjang daerah Najd, Yaman dan Hijaz.
Oleh kerana suatu alasan tertentu, si Yahudi Mordakhai ( yang menurunkan keluarga Saud itu), berpindah dari Al-Qasem ke Al-Ihsa. Disana dia merubah namanya dari Mordakhai kepada Markhan bin Ibrahim Musa.Kemudian dia pindah dan menetap di sebuah tempat bernama Dlir’iya yang berdekatan dengan AlQateef. Disana dia memaklumatkan propaganda dustanya bahawa perisai Nabi s.a.w telah direbut sebagai barang rampasan oleh seorang kuat musyrikin pada waktu Perang Uhud antara Arab Musyrikin dan umat Islam. Katanya, “perisai itu telah dijual oleh Arab Musyrikin kepada kabilah kaum Yahudi bernama Bani Qainuqa’ yang menyimpannya sebagai harta karun”.
Selanjutnya dia mengukuhkan lagi posisinya dikalangan Arab Badwi melalui cerita-cerita dusta yang menyatakan bagaiman kaum Yahudi di Tanah Arab sangat berpengaruh dan berhak mendapatkan penghormatan tinggi. Akhirnya, dia diberi suatu rumah untuk menetap di Dlir’iya berdekatan Al-Qatef. Dia berkeinginan mengembangkan daerah ini sebagai pusat Teluk Parsi. Dia kemudian mendapatkan idea untuk menjadikannya sebagai tapak atau batu loncatan guna mendirikan kerajaan Yahudi di tanah Arab. Untuk memuluskan cita-citanya itu, dia mendekati kaum Arab Badwi untuk menguatkan posisinya, kemudian secara perlahan dia memasyhurkan dirinya sebagai raja kepada mereka.
Kabilah Ajaman dan kabilah Bani Khaled yang merupakan penduduk asli Dlir’iya menjadi risau akan sepak terajang dan rencana busuk keturunan Yahudi itu. Mereka merancang menentang untuk berdebat dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Mereka menangkap Yahudi itu dan menawannya, namun dia berjaya meloloskan diri.
Saudagar keturunan Yahudi ini mencari suaka disebuah ladang bernama Al-Malibed Ghusaiba yang berdekatan dengan Al-Arid (sekarang Riyadh). Disana dia meminta suaka kepada pemilik kebun tersebut untuk menyebunyikan diri dan melindunginya. Tuan kebun itu sangat simpati lalu memberikan tempat kepadanya untuk berlindung. Tetapi, tidak sampai sebulan tinggal dirumah pemilik kebun itu, kemudian Yahudi itu secara biadab membantai tuan kebun bersama keluarganya. Sungguh bengis, air susu dibalasa dengan tuba. Mordakhai memang pandai beralibi, dia katakan bahawa mereka semua telah dibunuh oleh pencuri yang menceroboh masuk rumahnya. Dia juga berpura-pura bahawa dia telah membeli kebun tersebut dari tuan tanah sebelum terjadinya pembunuhan itu. Setelah merampas tanah tersebut, dia menamakannya Al-Dlir’iya iaitu nama tempat dari mana dia diusir dan sudah ditinggalkannya.
Lalu, Mordakhai dengan cepat mendirikan sebuah markaz dan tempat pertemuan bernama ‘Madaffa’ diatas tanah yang dirampasnya itu. Di markaz inilah beliau mengumpulkan para pahlawan dan kepala-kepala propaganda (kaum Munafiq) yang selanjutnya mereka jadi ujung tombak propaganda dustanya. Mereka mengatakan bahawa Mordakhai adalah Syeikh kepada orang-orang keturunan Arab yang disegani. Dia menabuh gendang perang terhadap Sheikh Shaleh Salman At-Taimi, musuh tradisinya. Akhirnya, Sheikh Salman terbunuh ditangan anak buah Mordakhai di Masjid Al-Zalafi.
Mordakhai berhasil dan puas hati dengan aksi-aksinya. Dia berhasil menjadikan Dlir’iya sebagai pusat kekuasaannya .Ditempat itulah dia mengamalkan poligami, mengahwini puluhan gadis, melahirkan banyak anak yang kemudian diberi nama dengan nama-nama Arab. Walhasil, kaum kerabatnya semakin bertambah dan berhasil menghegemoni daerah Dlir’iya dibawah bendera Dinasti Saud. Mereka acapkali melakukan criminal , menggalang beragam konspirasi untuk menguasai semenanjung Arab. Mereka melakukan aksi perampasan dan perompakan tanah dan ladang penduduk setempat, membunuh setiap orang yang mencuba menentang rencana jahat mereka. Dengan beragam cara dan muslihat mereka melancarkan aksinya. Memberikan suap, memberikan pemikat-pemikat wanita dan gratifikasi wang kepada para pejabat berpengaruh dikawasan itu. Bahkan mereka ‘menutup mulut dan membelenggu tangan’ para sejarawan yang cuba menyingkap sejarah hitam dan merunut asal garis keturunan mereka kepada kabilah Rabi’a, Anza dan Al-Masalikh.
Kelompok ‘Wahabi’ (bukan ittiba’ dakwah muhammad bin abdul wahhab)
Seorang Munafiq bernama Muhammad Amin At-Tamimi (director / manager Perpustakaan Kontemporer Kerajaan Saudi ) menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk keluarga Yahudi ini (keluarga Saudi) dan menghubungkan keturunan mereka kepada Nabi Muhammad. Sebagai imbalannya, beliau mendapat sebesar 35.000 pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Cairo, Mesir pada tahun 1362 H / 1943 M. Nama duta besar ini adalah Ibrahim Al-Fadel.
Seperti disebutkan diatas, Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai) yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab dan melahirkan banyak anak, saat ini pola poligami Mordakhai dilanjutkan oleh keturunannya dan mereka bertaut pada warisan perkahwinan itu. Salah seorang anak Mordakhai bernama Al-Maqaran ( Yahudi : Mack Ren ) mempunyai anak bernama Muhammad dan anak yang lainnya bernama Sa’ud inilah Dinasti Saudi saat ini berasal. Keturunan Saud (keluarga Saud) memulai melakukan kempen pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku Arab dengan dalih mereka murtad, khianati Islam, meninggalkan ajaran Al-Qur’an dan keluarga Saud membantai mereka atas nama Islam. Rakyat yang mencuba bersuara memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan wang Negara ini akan ditembak mati dan dipenggal lehernya.
Didalam buku sejarah Keluarga Saud dihalaman 98-101, penulis peribadi sejarah keluarga Saud menyatakan bahawa Dinasti Saud menganggap semua penduduk Najd menghina Tuhan. Oleh kerana itu, darah mereka halal, harta bendanya dirampas, wanita-wanitanya dijadikan gundik , tidak seorang Muslim pun yang dianggap benar kecuali pengikut kelompok Muhammad bin Abdul Wahab (yang asalnya juga keturunan Yahudi Turki ).
Doktrin Wahabi memberikan otoritas kepada keluarga Saud untuk menghancurkan perkampungan dan penduduknya termasuk anak-anak dan memperkosa wanitanya, menusuk perut wanita hamil, memotong tangan anak-anak ,kemudian membakarnya. Selanjutnya mereka diberikan kewenangan dengan ajarannya yang kejam (brutal doctrin) untuk merampas semua harta kekayaan milik orang yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran agama kerana tidak mengikuti ajaran Wahabi.
Keluarga Yahudi yang jahat dan mengerikan ini melakukan segala jenis kekejaman atas nama kelompok agama palsu mereka (kelompok Wahabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi untuk menabur benih-benih keganasan terror didalam hati penduduk di kota-kota dan desa-desa. Pada tahun 1163 H, Dinasti Yahudi ini mengganti nama semenanjung Arab dengan nama keluarga mereka menjadi Saudi Arabia, seolah-olah seluruh wilayah itu milik peribadi mereka dan penduduknya sebagai bujang atau budak merdeka, bekerja keras siang dan malam untuk senangan tuannya, iaitu keluarga Saudi.
Mereka dengan sepenuhnya menguasai kekayaan alam negeri itu seperti milik peribadinya. Bila ada rakyat biasa yang mengemukakan penentangan atas kekuasaan sewenang-wenang Dinasti Yahudi ini, dia akan dihukum pancung dilapangan terbuka. Seorang puteri anggota keluarga kerajaan Saudi beserta rombongannya sekali kesempatan mengunjungi ke Florida, Amerika Syarikat, dia menyewa 90 buah Suite Rooms di Grand Hotel dengan harga $1 juta semalamnya. Rakyat yang mencuba memprotes lawatan sang puteri yang jelas menghamburkan wang Negara ini akan ditembak mati dan dipenggal kepalanya.
Fakta Menggemparkan
Sejumlah kesaksian yang meyakinkan bahawa, keluarga Saud merupakan keturunan Yahudi dapat dibuktikan dengan fakta-fakta berikut:
Pada tahun 1960-an, pemancar radio ‘Sawtul Arab’ di Kaherah, Mesir dan pemancar radio di San’a, Yaman, membuktikan bahawa nenek moyang keluarga Saud adalah dari keturunan Yahudi. Bahkan Raja Faisal tidak boleh menyanggah kenyataan itu ketika memberitahu kepada ‘The Washington Post’ pada tanggal 17 Sept 1969 dengan menyatakan bahawa, “kami (keluarga Saud) adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhan kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia adalah merupakan sumber awal Yahudi dan nenek moyangnya, lalu menyebar keseluruh dunia”.
Pernyataan ini keluar dari lisan Raja Faisal As-Saud bin Abdul Aziz. Hafez Wahabi, penasihat Hukum Keluarga Kerajaan Saudi menyebutkan didalam bukunya yang berjudul ‘Semenanjung Arabia’ bahawa Raja Abdul Aziz yang mati pada tahun 1953 mengatakan : “ pesan kami (pesan Saudi) dalam menghadapi oposisi (pihak lawan) dari suku-suku Arab, datukku, Saud Awal menceritakan saat menawan sejumlah Sheikh dari suku Mathir dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk meminta membebaskan semua tawanannya. Saud Awal memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk memenggal kepala semua tawanannya, kemudian memalukan mereka dan menurunkan nyali para penengah (orang yang ingin membuat rundingan) dengan cara mengundang mereka ke jamuan makan. Makanan yang disediakan adalah daging manusia yang sudah dimasak, potongan kepala tawanan diletakkan diatas piring”.
Para penengah menjadi terkejut dan menolak untuk makan daging saudara mereka sendiri. Kerana mereka menolak untuk memakannya, Saud Awal memerintahkan memenggal kepala mereka juga. Itulah kejahatan yang sangat mengerikan yang dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya sendiri sebagai raja kepada rakyat yang tidak berdosa kerana kesalahan mereka menentang terhadap kebengisannya dan memerintah dengan sewenang-wenangnya.
Hafez Wahabi selanjutnya menyatakan bahawa, berkaitan dengan kisah berdarah nyata yang menimpa Sheikh suku Mathir dan sekelompok suku Mathir yang mengunjunginya dalam rangka meminta pembebasan pimpinan mereka yang menjadi tawanan Raja Abdul Aziz As-Saud, iaitu Faisal Ad-Darwis. Diceritakan kisah (pembunuhan Ad-Darwis) itu kepada utusan suku Mathir dengan maksud untuk mencegah mereka untuk tidak meminta pembebasan pimpinan mereka. Jika tidak, akan diperlakukan sama. Dia bunuh Sheikh Faisal Darwis dan darahnya dipakai untuk berwudhu’ sebelum dia solat.
Kesalahan Faisal Darwis waktu itu hanya kerana dia mengkritik Raja Abdul Aziz As-Saud. Ketika Raja menandatangani dokumen yang disiapkan pengusa Inggeris pada tahun 1922 sebagai penyataan memberikan Palestin kepada Yahudi. Tandatangannya dibubuhkan dalam sebuah konferensi di Al-Qir tahun 1922.
Sistem regim keluarga Yahudi (keluarga Saud) dulu dan sekarang masih tetap sama. Tujuannya untuk merampas kekayaan Negara, merompak, memalsukan, melakukan semua jenis kekejaman, ketidak adilan, serangan dan penghinaan, yang kesemuanya itu dilakukan sesuai dengan ajaran kelompok Wahabi yang membolehkan memenggal kepala orang yang menentang ajarannya.
Wallahua’lam bis sowab.
Sikap apatis Negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, khususnya Arab Saudi, mengundang kecurigaan umat Islam. Bagimana mungkin mereka bungkam menyaksikan pembantaian saudara Muslim yang berlangsung di depan matanya, dilakukan oleh musuh abadi zionis Israel la’natullah? Penelitian dan Penelusuran seorang Mohammad Shakher, yang akhirnya dibunuh oleh rezim Saudi karena temuannya yang menggemparkan, agaknya menuntun kita menemukan jawabnya.
Shakher menulis buku berjudul ‘Ali Saud min Aina wa Ila Aina?’ membongkar apa di balik bungkamnya penguasa Khadimul Haramaian setiapkali berhadapan dengan konflik Palestina-Israel. Buku ini juga menemukan fakta baru, mengenai asal muasal Dinasti Saudi. Bagaimanakah runut garis genealoginya? Benarkah mereka berasal dari trah Anza Bin Wael, keturunan Yahudi militan?
Informasi buku ini mencekam sekaligus mencengangkan. Sulit dipercaya, sebuah dinasti yang bernaung di bawah kerajaan Islam Saudiyah bisa melakukan kebiadaban iblis dengan melakukan pembakaran masjid sekaligus membunuh jamaah shalat yang berada di dalamnya. Jika isi buku yang terbit 3 Rabi’ul Awal 1401 H (1981 M) ini ‘terpaksa’ dipercaya, karena faktanya yang jelas, maka kejahatan Kerajaan Saudi Arabia terhadap kabilah Arab dahulu, persis seperti kebuasan zionis Israel membantai rakyat Muslim di Jalur Gaza.
Melacak Asal Dinasti Saudi
Dalam silsilah resmi kerajaan Saudi Arabia disebutkan, bahwa Dinasti Saudi Arabia bermula sejak abad ke dua belas Hijriyah atau abad ke delapan belas Masehi. Ketika itu, di jantung Jazirah Arabia, tepatnya di wilayah Najd yang secara historis sangat terkenal, lahirlah Negara Saudi yang pertama yang didirikan oleh Imam Muhammad bin Saud di “Ad-Dir’iyah”, terletak di sebelah barat laut kota Riyadh pada tahun 1175 H./1744 M., dan meliputi hampir sebagian besar wilayah Jazirah Arabia.
Negara ini mengaku memikul tanggung jawab dakwah menuju kemurnian Tauhid kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mencegah prilaku bid’ah dan khurafat, kembali kepada ajaran para Salafus Shalih dan berpegang teguh kepada dasar-dasar agama Islam yang lurus. Periode awal Negara Saudi Arabia ini berakhir pada tahun 1233 H./1818 M.
Periode kedua dimulai ketika Imam Faisal bin Turki mendirikan Negara Saudi kedua pada tahun 1240 H./1824 M. Periode ini berlangsung hingga tahun 1309 H/1891 M. Pada tahun 1319 H/1902 M, Raja Abdul Aziz berhasil mengembalikan kejayaan kerajaan para pendahulunya, ketika beliau merebut kembali kota Riyad yang merupakan ibukota bersejarah kerajaan ini.
Semenjak itulah Raja Abdul Aziz mulai bekerja dan membangun serta mewujudkan kesatuan sebuah wilayah terbesar dalam sejarah Arab modern, yaitu ketika berhasil mengembalikan suasana keamanan dan ketenteraman ke bagian terbesar wilayah Jazirah Arabia, serta menyatukan seluruh wilayahnya yang luas ke dalam sebuah negara modern yang kuat yang dikenal dengan nama Kerajaan Saudi Arabia. Penyatuan dengan nama ini, yang dideklarasikan pada tahun 1351 H/1932 M, merupakan dimulainya fase baru sejarah Arab modern.
Raja Abdul Aziz Al-Saud pada saat itu menegaskan kembali komitmen para pendahulunya, raja-raja dinasti Saud, untuk selalu berpegang teguh pada prinsip-prinsip Syariah Islam, menebar keamanan dan ketenteraman ke seluruh penjuru negeri kerajaan yang sangat luas, mengamankan perjalanan haji ke Baitullah, memberikan perhatian kepada ilmu dan para ulama, dan membangun hubungan luar negeri untuk merealisasikan tujuan-tujuan solidaritas Islam dan memperkuat tali persaudaraan di antara seluruh bangsa arab dan kaum Muslimin serta sikap saling memahami dan menghormati dengan seluruh masyarakat dunia.
Di atas prinsip inilah, para putra beliau sesudahnya mengikuti jejak-langkahnya dalam memimpin Kerajaan Saudi Arabia. Mereka adalah: Raja Saud, Raja Faisal, Raja Khalid, Raja Fahd, dan Pelayan Dua Kota Suci Raja Abdullah bin Abdul Aziz.
Dinasti Sa’udi Trah Yahudi
Namun, di masa yang jauh sebelumnya, di Najd tahun 851 H. Sekumpulan pria dari Bani Al Masalikh, yaitu trah dari Kaum Anza, yang membentuk sebuah kelompok dagang (korporasi) yang bergerak di bidang bisnis gandum dan jagung dan bahan makananan lain dari Irak, dan membawanya kembali ke Najd. Direktur korporasi ini bernama Sahmi bin Hathlool. Kelompok dagang ini melakukan aktifitas bisnis mereka sampai ke Basra, di sana mereka berjumpa dengan seorang pedagang gandum Yahudi bernama Mordakhai bin Ibrahim bin Moshe,
Ketika sedang terjadi proses tawar menawar, Si Yahudi itu bertanya kepada kafilah dagang itu. “Dari manakah anda berasal?” Mereka menjawab, ”Dari Kaum Anza, kami adalah keluarga Bani Al-Masalikh.” Setelah mendengar nama itu, orang Yahudi itu menjadi gembira, dan mengaku bahwa dirinya juga berasal dari kaum keluarga yang sama, tetapi terpaksa tinggal di Bashra, Irak. Karena persengketaan keluarga antara bapaknya dan ahli keluarga kaum Anza.
Setelah itu, Mordakhai kemudian menyuruh budaknya untuk menaikkan keranjang-keranjang berisi gandum, kurma dan makanan lain ke atas pundak unta-unta milik kabilah itu. Hal ini adalah sebuah ungkapan penghormatan bagi para saudagar Bani Al Masalikh itu, dan menunjukkan kegembiraannya karena berjumpa saudara tuanya di Irak. Bagi pedagang Yahudi itu, para kafilah dagang merupakan sumber pendapatan, dan relasi bisnis. Mardakhai adalah saudagar kaya raya yang sejatinya adalah keturunan Yahudi yang bersembunyi di balik roman wajah Arab dari kabilah Al-Masalikh.
Ketika rombongan itu hendak bertolak ke Najd, saudagar Yahudi itu minta diizinkan untuk ikut bersama mereka, kerana sudah lama dia ingin pergi ke tanah asal mereka Najd. Setelah mendengar permintaan lelaki Yahudi itu, kafilah dagang suku Anza itu pun amat berbesar hati dan menyambutnya dengan gembira.
Pedagang Yahudi yang sedang taqiyyah alias nyamar itu tiba di Najd dengan pedati-pedatinya. Di Najd, dia mulai melancarkan aksi propaganda tentang sejatinya siapa dirinya melalui sahabat-sahabat, kolega dagang dan teman barunya dari keturunan Bani Al-Masalikh tadi. Setelah itu, disekitar Mordakhai, berkumpullah para pendukung dan penduduk Najd. Tetapi tanpa disangka, dia berhadapan dengan seorang ulama yang menentang doktrin dan fahamnya. Dialah Syaikh Shaleh Salman Abdullah Al-Tamimi, seorang ulama kharimatik dari distrik Al-Qasem. Daerah-daerah yang menjadi lokasi disseminasi dakwahnya sepanjang distrik Najd, Yaman, dan Hijaz.
Oleh karena suatu alasan tertentu, si Yahudi Mordakhai itu -yang menurunkan Keluarga Saud itu- berpindah dari Al Qasem ke Al Ihsa. Di sana, dia merubah namanya dari Mordakhai menjadi Markhan bin Ibrahim Musa. Kemudian dia pindah dan menitip di sebuah tempat bernama Dir’iya yang berdekatan dengan Al-Qateef. Di sana, dia memaklumatkan propaganda dustanya, bahwa perisai Nabi Saw telah direbut sebagai barang rampasan oleh seorang pagan (musyrikin) pada waktu Perang Uhud antara Arab Musyrikin dan Kaum Muslimin. Katanya, “Perisai itu telah dijual oleh Arab musyrikin kepada kabilah kaum Yahudi bernama Banu Qunaiqa’ yang menyimpannya sebagai harta karun.”
Selanjutnya dia mengukuhkan lagi posisinya di kalangan Arab Badwi melalui cerita-cerita dusta yang menyatakan bagaimana Kaum Yahudi di Tanah Arab sangat berpengaruh dan berhak mendapatkan penghormatan tinggi Akhirnya, dia diberi suatu rumah untuk menetap di Dlir’iya, yang berdekatan Al-Qatef. Dia berkeinginan mengembangkan daerah ini sebagai pusat Teluk Persia. Dia kemudian mendapatkan ide untuk menjadikannya sebagai tapak atau batu loncatan guna mendirikan kerajaan Yahudi di tanah Arab. Untuk memuluskan cita-citanya itu, dia mendekati kaum Arab Badwi untuk menguatkan posisinya, kemudian secara perlahan, dia mensohorkan dirinya sebagai raja kepada mereka.
Kabilah Ajaman dan Kabilah Bani Khaled, yang merupakan penduduk asli Dlir’iya menjadi risau akan sepak terjang dan rencana busuk keturunan Yahudi itu. Mereka berencana menantang untuk berdebat dan bahkan ingin mengakhiri hidupnya. Mereka menangkap saudagar Yahudi itu dan menawannya, namun berhasil meloloskan diri.
Saudagar keturunan Yahudi bernama Mordakhai itu mencari suaka di sebuah ladang bernama Al-Malibed Gushaiba yang berdekatan dengan Al Arid, sekarang bernama Riyadh. Disana dia meminta suaka kepada pemilik kebun tersebut untuk menyembunyikan dan melindunginya. Tuan kebun itu sangat simpati lalu memberikannya tempat untuk berlindung. Tetapi tidak sampai sebulan tinggal di rumah pemilik kebun, kemudian Yahudi itu secara biadab membantai tuan pelindungnya bersama seluruh keluarganya.
Sungguh bengis, air susu dibalas dengan air aki campur tuba. Mordakhai memang pandai beralibi, dia katakan bahwa mereka semua telah dibunuh oleh pencuri yang menggarong rumahnya. Dia juga berpura-pura bahwa dia telah membeli kebun tersebut dari tuan tanah sebelum terjadinya pembantaian tersebut. Setelah merampas tanah tersebut, dia menamakannya Al-Dlir’iya, sebuah nama yang sama dengan tempat darimana ia terusir dan sudah ditinggalkannya.
Keturunan Yahudi bernama Mordakhai itu dengan cepat mendirikan sebuah markas dan ajang rendezvous bernama “Madaffa” di atas tanah yang dirampasnya itu. Di markas ini dia mengumpulkan para pendekar dan jawara propaganda (kaum munafik) yang selanjutnya mereka menjadi ujung tombak propaganda dustanya. Mereka mengatakan bahwa Mordakhai adalah Syaikh-nya orang-orang keturunan Arab yang disegani. Dia menabuh genderang perang terhadap Syaiikh Shaleh Salman Abdulla Al-Tamimi, musuh tradisinya. Akhirnya, Syeikh Shaleh Salman terbunuh di tangan anak buah Mordakhai di Masjid Al-Zalafi.
Mordakhai berhasil dan puas hati dengan aksi-aksinya. Dia berhasil menjadikan Dlir’iya sebagai pusat kekuasaannya. Di tempat ini, dia mengamalkan poligami, mengawini puluhan gadis, melahirkan banyak anak yang kemudian dia beri nama dengan nama-nama Arab.
Walhasil, kaum kerabatnya semakin bertambah dan berhasil menghegemoni daerah Dlir’iya di bawah bendera Dinasti Saud. Mereka acapkali melakukan tindak kriminal, menggalang beragam konspirasi untuk menguasai semenanjung Arab. Mereka melakukan aksi perampasan dan penggarongan tanah dan ladang penduduk setempat, membunuh setiap orang yang mencoba menentang rencana jahat mereka. Dengan beragam cara dan muslihat mereka melancarkan aksinya. Memberikan suap, memberikan iming-iming wanita dan gratifikasi uang kepada para pejabat berpengaruh di kawasan itu. Bahkan, mereka “menutup mulut” dan “membelenggu tangan” para sejarawan yang mencoba menyingkap sejarah hitam dan merunut asal garis trah keturunan mereka kepada kabilah Rabi’a, Anza dan Al-Masalikh.
Sekte Wahabi
Seorang munafik jaman kiwari bernama Muhammad Amin Al-Tamimi – Direktur/Manager Perpustakaan Kontemporer Kerajaan Saudi, menyusun garis keturunan (Family Tree) untuk Keluarga Yahudi ini (Keluarga Saudi), menghubungkan garis keturunan mereka kepada Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagai imbalan pekerjaannnya itu, ia menerima imbalan sebesar 35.000 (Tiga Puluh Lima Ribu) Pound Mesir dari Duta Besar Saudi Arabia di Kairo pada tahun 1362 H atau 1943 M. Nama Duta Besar Saudi Arabia itu adalah Ibrahim Al-Fadel.
Seperti disebutkan di atas, Yahudi nenek moyang Keluarga Saudi (Mordakhai), yang berpoligami dengan wanita-wanita Arab melahirkan banyak anak, saat ini pola poligami Mordakhai dilanjutkan oleh keturunannya, dan mereka bertaut kepada warisan perkawinan itu.
Salah seorang anak Mordakhai bernama Al-Maqaran, (Yahudi: Mack-Ren) mempunyai anak bernama Muhammad, dan anak yang lainnya bernama Sa’ud, dari keturunan Sa’ud inilah Dinasti Saudi saat ini berasal.
Keturunan Saud (Keluarga Saud) memulai melakukan kampanye pembunuhan pimpinan terkemuka suku-suku Arab dengan dalih mereka murtad, mengkhianati agama Islam, meninggalkan ajaran-ajaran Al-Quran, dan keluarga Saud membantai mereka atas nama Islam.
Rakyat yang mencoba bersuara memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang Negara ini akan di tembak mati dan dipenggal kepalanya.
Di dalam buku sejarah Keluarga Saudi halaman 98-101, penulis pribadi sejarah keluarga Saudi menyatakan bahwa Dinasti Saudi menganggap semua penduduk Najd menghina Tuhan. Oleh karena itu darah mereka halal, harta-bendanya dirampas, wanita-wanitanya dijadikan selir, tidak seorang Muslim pun yang dianggap benar, kecuali pengikut sekte Muhammad bin Abdul Wahab (yang aslinya juga keturunan Yahudi Turki).
Doktrin Wahabi memberikan otoritas kepada Keluarga Saudi untuk menghancurkan perkampungan dan penduduknya, termasuk anak-anak dan memperkosa wanitanya, menusuk perut wanita hamil, memotong tangan anak-anak, kemudian membakarnya. Selanjutnya mereka diberikan kewenangan dengan ajarannya yang kejam (brutal doctrin ) untuk merampas semua harta kekayaan milik orang yang dianggapnya telah menyimpang dari ajaran agama karena tidak mengikuti ajaran Wahabi.
Keluarga Yahudi yang jahat dan mengerikan ini melakukan segala jenis kekejaman atas nama sekte agama palsu mereka (sekte Wahhabi) yang sebenarnya diciptakan oleh seorang Yahudi untuk menaburkan benih-benih teror di dalam hati penduduk di kota-kota dan desa-desa. Pada tahun 1163 H, Dinasti Yahudi ini mengganti nama semenanjung Arabia dengan nama keluarga mereka, menjadi Saudi Arabia, seolah-olah seluruh wilayah itu milik pribadi mereka, dan penduduknya sebagai bujang atau budak mereka, bekerja keras siang dan malam untuk kesenangan tuannya, yaitu Keluarga Saudi.
Mereka dengan sepenuhnya menguasai kekayaan alam negeri itu seperti miliknya pribadi. Bila ada rakyat biasa mengemukakan penentangannya atas kekuasaan sewenang-wenang Dinasti Yahudi ini, dia akan di hukum pancung di lapangan terbuka. Seorang putri anggota keluarga kerajaan Saudi beserta rombongannya sekali tempo mengunjungi Florida, Amerika Serikat, dia menyewa 90 (sembilan pukuh) Suite rooms di Grand Hotel dengan harga $1 juta semalamnya. Rakyat yang mencoba bersuara memprotes lawatan sang puteri yang jelas-jelas menghamburkan uang Negara ini akan di tembak mati dan dipenggal kepalanya.
Fakta Menggemparkan
Sejumlah kesaksian yang meyakinkan bahwa Keluarga Saud merupakan keturunan Yahudi, dapat dibuktikan melalui fakta-fakta berikut ini. Pada tahun 1960-an, pemancar radio “Sawtul Arab” di Kairo, Mesir, dan pemancar radio di Sana’a, Yaman, membuktikan bahwa nenek moyang Keluarga Saudi adalah dari trah Yahudi
Raja Faisal Al-Saud tidak bisa menyanggah bahwa keluarganya adalah keluarga Yahudi ketika memberitahukan kepada The Washington Post pada tanggal 17 September 1969, dengan menyatakan bahwa: “Kami, Keluarga Saudi adalah keluarga Yahudi. Kami sepenuhnya tidak setuju dengan setiap penguasa Arab atau Islam yang memperlihatkan permusuhannya kepada Yahudi, sebaliknya kita harus tinggal bersama mereka dengan damai. Negeri kami, Saudi Arabia merupakan sumber awal Yahudi dan nenek-moyangnya, dari sana menyebar ke seluruh dunia”.
Pernyataan ini keluar dari lisan Raja Faisal Al-Saud bin Abdul Aziz. Hafez Wahbi, Penasihat Hukum Keluarga Kerajaan Saudi menyebutkan di dalam bukunya yang berjudul ‘Semenanjung Arabia’ bahwa Raja Abdul Aziz yang mati tahun 1953 mengatakan:
“Pesan Kami (Pesan Saudi) dalam menghadapi oposisi dari suku-suku Arab, kakekku, Saud Awal, menceriterakan saat menawan sejumlah Syaiikh dari suku Mathir, dan ketika kelompok lain dari suku yang sama datang untuk menengahi dan meminta membebaskan semua tawanannya. Saud Awal memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk memenggal kepala semua tawanannya, kemudian mempermalukan dan menurunkan nyali para penengah dengan cara mengundang mereka ke jamuan makan. Makanan yang dihidangkan adalah daging manusia yang sudah dimasak, potongan kepala tawanan diletakkan di atas piring.”
Para penengah menjadi terkejut dan menolak untuk makan daging saudara mereka sendiri. Karena mereka menolak untuk memakannya, Saud Awal memerintahkan memenggal kepala mereka juga. Itulah kejahatan yang sangat mengerikan yang telah dilakukan oleh orang yang mengaku dirinya sendiri sebagai raja kepada rakyat yang tidak berdosa, kesalahan mereka karena menentang terhadap kebengisannya dan memerintah dengan sewenang-wenang.
Sumber :
http://satuumat.blogspot.com/2009/02/dinasti-saud-keturunan-yahudi.html
http://arruhuljadid86.blogspot.com/2009/02/dinasti-saudi-keturunan-yahudi.html