Rabu, 20 November 2013 - 0 komentar

Ta'wil imam bukhari membungkam wahabi junior

kaum wahabi yang memang suka sok dan pintar sendiri,dalam otaknya sudah penuh dengan doktrin.
dalam ajaran wahabi saling menghormati dan menyayangi bisa dikatakan tidak ada sama sekali,yang ada hanya ego dan kecongkakan.
saking sombong dan congkaknya mereka sampai berani mengkafirkan imam imam besar.
malah tidak sedikit yang menjelaskan banyak diantara mereka yang sampai mengkafirkan shahabat.
dibawah ini adalah artikel yang membahas mengenai orang wahabi yang tidak bisa menjawab karna  pendapatnya yang berlainan dengan pendapat imam bukhari.
Kalau kita mengamati dengan seksama, perdebatan orang-orang Wahhabi dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah, akan mudah kita simpulkan, bahwa kaum Wahhabi seringkali mengeluarkan vonis hukum tanpa memiliki dasar ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan. Bahkan tidak jarang, pernyataan mereka dapat menjadi senjata untuk memukul balik pandangan mereka sendiri. Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan bercerita kepada saya.

“Ada sebuah pesantren di kota Siantar, Siamlungun, Sumatera Utara. Pesantren itu bernama Pondok Pesantren Darus Salam. Setiap tahun, Pondok tersebut mengadakan Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengundang sejumlah ulama dari berbagai daerah termasuk Medan dan Aceh. Acara puncak biasanya ditaruh pada siang hari. Malam harinya diisi dengan diskusi. Pada Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tahun 2010 ini saya dan beberapa orang ustadz diminta sebagai pembicara dalam acara diskusi. Kebetulan diskusi kali ini membahas tentang Salafi apa dan mengapa, dengan judul Ada Apa Dengan Salafi?

Setelah presentasi tentang aliran Salafi selesai, lalu tibalah sesi tanya jawab. Ternyata dalam sesi tanya jawab ini ada orang yang berpakaian gamis mengajukan keberatan dengan pernyataan saya dalam memberikan keterangan tentang Salafi, antara lain berkaitan dengan ta’wil. Orang Salafi tersebut mengatakan: “Al-Qur’an itu diturunkan dengan bahasa Arab. Sudah barang tentu harus kita fahami sesuai dengan bahasa Arab pula”. Pernyataan orang Salafi itu, saya dengarkan dengan cermat. Kemudian dia melanjutkan keberatannya dengan berkata: “Ayat-ayat al-Qur’an itu tidak perlu dita’wil dan ini pendapat Ahlussunnah”.

Ta’wil tehadap teks-teks mutasyabihat telah dilakukan oleh para ulama salaf, di antaranya Imam Malik bin Anas, Imam Ahmad bin Hanbal, dan lain-lain. Akan tetapi kaum Wahhabi sering kali mengingkari fakta-fakta tersebut dengan berbagai macam alasan yang tidak ilmiah dan selalu dibuat-buat.

Setelah diselidiki, ternyata pemuda Salafi itu bernama Sofyan. Ia berprofesi sebagai guru di lembaga As-Sunnah, sebuah lembaga pendidikan orang-orang Wahhabi atau Salafi. Mendengar pernyataan Sofyan yang terakhir, saya bertanya: “Apakah Anda yakin bahwa al-Imam al-Bukhari itu ahli hadits?”Sofyan menjawab: “Ya, tidak diragukan lagi, beliau seorang ahli hadits.”

Saya bertanya: “Apakah al-Bukhari penganut faham Ahlussunnah Wal-Jama’ah?” Sofyan menjawab: “Ya.” Saya berkata: “Apakah al-Albani seorang ahli hadits?” Sofyan menjawab: “Ya, dengan karya-karya yang sangat banyak dalam bidang hadits, membuktikan bahwa beliau juga ahli hadits.” Saya berkata: “Kalau benar al-Bukhari menganut Ahlussunnah, berarti al-Bukhari tidak melakukan ta’wil. Bukankah begitu keyakinan Anda?” Sofyan menjawab:“Benar begitu.”

Saya berkata: “Saya akan membuktikan kepada Anda, bahwa al-Bukhari juga melakukan ta’wil .” Sofyan berkata: “Mana buktinya?” Mendengar pertanyaan Sofyan, saya langsung membuka Shahih al-Bukhari tentang ta’wil yang beliau lakukan dan memberikan photo copynya kepada anak muda itu. Saya berkata: “Anda lihat pada halaman ini, al-Imam al-Bukhari mengatakan:

بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ.

Artinya, “Bab tentang ayat : Segala sesuatu akan hancur kecuali Wajah-Nya, artinya Kekuasaan-Nya.”

Nah, kata wajah-Nya, oleh al-Imam al-Bukhari diartikan dengan mulkahu, artinya kekuasaan-Nya.
كل شيئ هالك الا وجهه. الا ملكه. ويقال الا ما اريد به وجه الله

Artinya: “Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya”, maksudnya adalah“Kecuali kekuasaan-Nya. Dan ada pendapat lain yang mengatakan “Kecuali yang ditujukan untuk mendapatkan balasan Allah”. (Lihat Shahih Al Bukhari Juz 3 halaman 171).

Apa yang dilakukan Al Bukhari di atas jelas merupakan Ta’wil terhadap firman Allah. Ini berarti Akidah Imam Al Bukhari sama dengan Akidah mayoritas Ummat Islam.

“Kalau begitu al-Imam al-Bukhari melakukan ta’wil terhadap ayat ini. Berarti, menurut logika Anda, al-Bukhari seorang yang sesat, bukan Ahlussunnah. Anda setuju bahwa al-Bukhari bukan Ahlussunnah dan pengikut aliran sesat?”.

Mendengar pertanyaan saya, Sofyan hanya terdiam. Sepatah katapun tidak terlontar dari lidahnya. Kemudian saya berkata: “Kalau begitu, sejak hari ini, sebaiknya Anda jangan memakai hadits al-Bukhari sebagai rujukan. Bahkan Syaikh al-Albani, orang yang saudara puji itu, dan orang-orang Salafi memujinya dan menganggapnya lebih hebat dari al-Imam al-Bukhari sendiri. Al-Albani telah mengkritik al-Imam al-Bukhari dengan kata-kata yang tidak pantas. Al-Albani berkata: “Pendapat al-Bukhari yang melakukan ta’wil terhadap ayat di atas ini tidak sepatutnya diucapkan oleh seorang Muslim yang beriman”. Inilah komentar Syaikh Anda, al-Albani tentang ta’wil al-Imam al-Bukhari ketika menta’wil ayat:

بَابُ – كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ اَيْ مُلْكَهُ.


Dengan beraninya Syaikh Albani bertindak kurang ajar terhadap Imam Bukhari dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak patut diucapkan oleh seorang Muslim. Secara tidak langsung, seolah-olah al-Albani mengatakan bahwa ta’wilan al-Imam al-Bukhari tersebut pendapat orang kafir (selain Muslim). Kemudian saya mengambil photo copy buku fatwa al-Albani dan saya serahkan kepada anak muda Salafi ini. Ia pun diam seribu bahasa. Demikian kisah yang dituturkan oleh Syafi’i Umar Lubis dari Medan, seorang ulama muda yang kharismatik dan bersemangat dalam membela Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
bagi wahabi pemula memang masih ada yang canggung untuk mengkafirkan para imam besar langsung dari mulut mereka,namun pada dasarnya,dalam hati mereka,mereka sudah menghinakan bahkan mengkufurkan dan memasukkan para imam besar islam pada katagori ahlul bid'ah.
seperti contoh yang sudah dilakukan oleh albani.
maka dari itu,mengajilah yang baik kepada orang yang benar benar alim dan berakhlakul karimah,agar anda selamat didunia dan di akhirat.
- 0 komentar

Penjelasan Makna Hadits Menjadikan Kuburan Sebagai Masjid

Sebelumnya saya sudah membahas persoalan hadits tersebut dan juga maknanya, namun karena kawan-kawan salafi wahhabi belum juga bisa memaknai hadits tersbut dengan makna yang shahih dan benar, maka Kali ini saya akan membahas lebih lanjut makna Hadits tersebut ditinjau dengan beberapa disiplin ilmu, dengan keterbatasn ilmu al-Faqir.
Hadits Pertama :
Nabi Saw bersabda :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujudnya “
Hadits Kedua :
لاتجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها
“ Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah sholat menghadapnya “.

PENJELASAN HADITS PERTAMA :
Segi Ilmu Nahwu :
لعن : فعل ماض مبني على الفحة
الله : فاعل مرفوع بالضمة
اليهود : مفعول لعن منصوب بالفتحة
و : حرف عطف
النصارى : معطوف باليهود منصوب بالفتحة
اثخذوا : فعل ماض والواو للجماعة ضمير متصل في محل رفع فاعل
والاتخاذ من افعال التحويل تنصب مفعولين.
قبور : مفعول اول وهو مضاف
انبياء : مضاف اليه مجرور بالكسرة
هم : ضمير متصل مبني على السكون
مساجد : مفعول ثان منصوب بالفتحة لانه من الاسماء غير منصرفة
وجملة الفعل والفاعل وما بعدها في محل نصب نعت لليهود والنصارى
Keterangan :
• Lafadz ittakhadza termasuk fi’il tahwil yaitu predikat yang menunjukkan arti merubah dan memiliki dua maf’ul karena ia juga termasuk akhowat dzonna (saudaranya dzonna) yang menashobkan dua maf’ulnya.
• Maf’ul pertamanya adalah kalimat QUBURA ANBIYAIHIM (Kuburan para nabi mereka). Dan maf’ul keduanya adalah MASAJID (masjid-masjid).
• Dan jumlah susunan kalimat ITTAKHODZA dan setelahnya menjadi NA’AT (Sifat) bagi Yahudi dan Nashoro.
Maka arti dari sisi nahwunyaadalah :
“ Allah melaknat kepada Yahudi dan Nashoro yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid-masjid “.
Segi Ilmu Balaghah dan Bayan :
لعن الله • : Adalah jumlah du’aiyyah (susunan doa) yang mengandung makna tholabiyyah (permohonan).
اتخذوا • : Adalah jumlah musta’nifah ‘ala sabilil bayan limuujibil la’an (Susunan permulaan kalimat untuk menjelaskan sebab pelaknatan)
قبور انبيائهم مساجد • : Kalimat ini merupakan Majaz tasybih.
- Majaz : Penggunaan suatu kata dengan makna yang lain daripada maknanya yang lazim. Kebalikan dari majaz ialah haqiqah.
- Tasybih : Uslub yang menunjukkan perserikatan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam sifatnya.
Secara umum tasybih ini tujuannya untuk menjadikan suatu sifat lebih mudah diindera.
Maka arti dari sisi ilmu balaghah dan bayan ini adalah :
“ Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.
Syarah alfadz atau mufradat :
Sekarang kita akan kupas satu persatu dari kalimat hadits tersebut dengan melihat dan menyesuaikan hadits-hadits shahih lainnya, merujuk pada asbab wurudnya dan ilmu sejarahnya, sehingga kita akan dapatkan makna yang shohih, kuat dan sesuai dengan hadits-hadits lainnya yang saling berkaitan.
Setelah itu kita akan timbang dengan komentar-komentar atau pendapat-pendapat para ulama besar yang sangat berkompeten dan menguasai segala disiplin ilmu baik dhahir maupun bathin.
PEMBAHASAN :
Mufradat :
• Lafadz qubur jama’ dari mufrad qobrun yang berarti madfanul insane al-mayyit (tempat pendaman mayat).
• Sedangkan lafadz maqbarah adalah isim makan lilqobri yaitu maudhi’u dafnil mauta (tempat pendaman orang-orang yang mati atau istilah lainnya pekuburan / pemakaman). Yang berarti juga tempat dimana terdapat tiga atau lebih dari orang yang dipendam.
• Dan lafadz Masajid adalah jama’ dari kata Masjid berasal dari kata sajada yasjudu (bersujud). Masjid adalah isim makan ‘ala wazni maf’ilun. Maka masjidun artinya makanun lis sujud (tempat untuk sujud).
Maka dari ini makna hadits yang shahih adalah :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah : “ Semoga Allah melaknat orang-orang yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan tempat pendaman para nabi mereka sebagai tempat untuk sujud “.
Yakni, orang-orang yahudi menjadikan kuburan nabi mereka sebagai tempat sujud dan ibadah mereka. Mereka buat patung seorang nabi atau orang sholeh di atas kuburan nabi atau orang sholeh tersebut. Kemudian patung itu mereka sembah dan mereka jadikan arah sembahyang mereka.
Inilah makna yang shahih dan sebenarnya, kenapa bias demikian ? simak penjabarannya berikut ini..
Pertama :
Fi’il ittakhodza (اتخذ) adalah dari fi’il khumasi muta’addi dan salah satu fi’il tahwil atau shoirurah yang memiliki makna merubah dan berhukum menashobkan dua maf’ul (objek)-nya. Maf’ul yang pertama menjadi dzat maf’ul yang kedua seluruhnya.
Contoh : اتخذت الحقل مرعى “ Aku jadikan ladang itu sebagai tempat penggembalaan “.
Artinya ; “ Aku merubah semua ladang itu menjadi tempat penggembalaan “.
Kalau untuk sebagian maka kalimatnya sebagai berikut :
اتخذت من الحقل مرعى
“ Aku rubah sebagian ladang itu sebagai tempat penggembalaan “.
Kalau untuk di artikan membangun, maka tidak boleh kita katakan :
اتخذت الارض بيتا
“ Aku bangun tanah itu sebagai rumah “,
kalimat ini tidak sah dan rusak karena tidak sesuai dengan fungsi fi’il ittakhodza sebagai fi’iI tahwil bukan bina’.
Maka seharusnya yang lebih tepat kalimatnya adalah sebagai berikut :
بنيت على الارض بيتا
“ Aku membangun rumah di atas tanah itu “.
Maka hadits di atas tidak tepat jika diartikan membangun tempat sujud di kuburan, makna shahihnya adalah merubah kuburan sebagai tempat sujud. Karena ini sesuai fungsi dan kaedah fi’il tersebut.
Dan hadits membangun masjid / tempat sujud dikuburan, ada matan dan riwayatnya tersendiri tidak ada kaitannya dengan hadits di atas. Nanti saya akan jelaskan.
Kedua :
Dari sisi sejarah dan sebab wurudnya hadits di atas dapat diketahui makna hadits di atas yang sebenarnya :
فقد قالت السيدة أم سلمة رضى الله تعالى عنها لرسول الله صلى الله عليه وسلم حين كانت فى بلاد الحبشة تقصد الهجرة إنها رأت أناسا يضعون صور صلحائهم وأنبيائهم ثم يصلون لها، عند إذن قال الرسول صلى الله عليه وسلم (لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد.
Ummu Salamah Ra bercerita kepada Rasulullah Saw ketika dulu ia berada di Habasyah saat hendak Hijrah, bahwa dia pernah melihat beberapa orang yang meletakkan patung-patung orang sholih dan para Nabi mereka, kemudian mereka sholat kepada patung-patung tersebut. Maka bersabdalah Rasulullah Saw “ Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid “.
Dan sejarah ini telah dijelaskan pula oleh Allah Saw dalam al-Quran berikut :
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَاباً مِّن دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا إِلَهاً وَاحِداً لاَّ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“ Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nashoro) sebagai tuhan selain Allah. Dan orang-orang Nashoro berkata “ dan juga Al-Masih putra maryam “. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Mah Esa. Tidakada Tuhan selain Dia. Maha Dia dari apa yang mereka persekutukan “. (At-Taubah : 31)
Jelas dari sisi ini, bahwa sebab Rasul Saw melaknat orang yahudi dan nashoro adalah karena mereka menyembah patung para nabi dan patung orang sholeh (dalam istilah mereka disebut rahib) di antara mereka. Bukan membangun masjid di atas kuburan apalagi sholat di dalam masjid yang ada kuburannya.
Ketiga :
Makna ini sesuai dengan hadits shohih Nabi Saw lainnya berikut diriwayatkan dari Atho’’bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد، اشتد غضب الله على قوم، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد
“ Ya Allah, jangan jadikan kuburanku sesembahan yang disembah, Allah sangat murka pada kaum yang menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai tempat sujud “.
Illat / alasan Allah murka kepada kaum yang menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud adalah karena mereka memang menyembah kuburan tersebut, sujud pada kuburan tersebut dengan anggota tubuh dan juga hati mereka. Oleh karenanya Nabi Saw mengucapkan kata-kata “ watsanan yu’bad “ (sesembahan yang disembah). Bahkan jika dikaitkan hadits ummu Salamah Nampak jelas mereka menyembah patung nabinya atau patung orang sholeh mereka.
Keempat :
Kalimat masajid dalam hadits di atas maknanya adalah tempat sujud bukan berupa bangunan masjid. Karena orang-orang yahudi beribadah bukan di dalam masjid, demikian juga orang-orang Nashoro beribadah bukan di dalam masjid, melainkan mereka beribadah di ma’bad dan kanisah (kuil dan gereja).
Maka hadits di atas sangat tidak tepat diarahkan pada bangunan masjid kaum muslimin. Maka makna hadits tersebut yang shahih adalah “ Semoga Allah melaknat orang Yahudi dan Nashoro tersebut, sebab menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud “.
Makna tempat sujud ini juga sesuai dengan hadits Nabi Saw sebagai berikut :
الأرض كلها مسجد إلا المقبرة والحمام
“ Bumi ini seluruhnya adalah layak untuk dijadikan tempat sujud (tempat untuk sholat), kecuali pekuburan dan tempat pemandian “.
Jika kita artikan masjid dalam hadits ini adalah bangunan masjid, maka logikanya kita boleh melakukan I’tikaf dan sholat tahiyyatul masjid di kebun, lapangan atau di tanah pasar. Sungguh hal ini bertentangan dengan hokum fiqihnya.
Dan juga semakin jelas dan nyata bahwa makna masjid di situ adalah bukan bangunan masjid melainkan tempat yang layak untuk sujud, dengan penyebutan mustatsna (yang dikecualikan) setelah menyebutkan mutstsana minhunya dengan huruf illanya yaitu kalimat al-Maqbarah (pekuburan) dan al-Hammam (tempat pemandian).
Karena tidak mungkin pekuburan dan kamar mandi disebut juga bangunan masjid. Maka arti hadits tersebut bermakna :
“ Bumi ini seluruhnya layak dijadikan tempat sujud, kecuali tempat pekuburan dan tempat pemandian “.
Jika kita artikan masjid disitu dengan bangunan masjid “ Bumi ini seleuruhnya adalah masjid kecuali pekuburan dan tempat pemandian “, maka pengertian seperti ini jelas salah dan batal, karena sama juga menyamakan pekuburan dan tempat pemandian itu dengan masjid yang boleh I’tikaf dan sholat tahiyyatul masjid lalu diisttisnakan dengan illat yang tidak diketahui.
Kelima :
Melihat sejarah pemakaman Nabi Saw. Rasulullah Saw dimakamkan di tempat meninggalnya, yakni di tempat yang dahulunya adalah kamar Ummul Mukminin Aisyah ra., isteri Nabi saw. Kemudian berturut-turut dimakamkan pula dua shahabat terdekatnya di tempat yang sama, yakni Abu Bakar Al-Shiddiq dan Umar bin Khatthab.
Di masa Nabi Saw Awalnya, masjid ini berukuran sekitar 50 m × 50 m, dengan tinggi atap sekitar 3,5 m. Karena umat muslim yang berkunjung semakin pesat dan tempatnya semakin sempit, maka oleh Utsman bin Affan direnovasi dan diperluas lagi walaupun yang pertama merovasinya adalah Umar bin Khoththob. Kemudian diperluas lagi di zaman modern oleh raja Abdul Aziz sehingga bangunannya menjadi 6.024 m² di tahun 1372 H. Selanjutnya diperluas lagi oleh raja Raja Fahd di tahun 1414 H, sehingga luas bangunan masjidnya hampir mencapai 100.000 m², ditambah dengan lantai atas yang mencapai luas 67.000 m² dan pelataran masjid yang dapat digunakan untuk salat seluas 135.000 m². Sehingga mau tidak mau, makam Nabi Saw berada dalam masjd tersebut. Bahkan setelah itu turut dimakamkan di dalamnya yaitu Abu Bakar Ash-Shdiddiq dan Umar bin Khoththob.
Di zaman Utsman bin Affan saat perluasan masjid yang disaksikan lebih dari 15 sahabat Nabi Saw, tidak ada satu pun dari mereka yang mengingkarinya atau mengatakannya haram. Bahkan sholat di masjid Nabawi yang memang terdapat makam Nabi saw di dalamnya, memiliki keutamaan tersendiri dari masjid lainnya.
Nabi Saw bersabda :
صلاة في مسجدي هذا أفضل من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد الحرام
“ Sholat di masjidku ini lebih utama dari sholat seribu kali diselainnya kecuali di masjdil haram “
Beliau juga bersabda :
من زار قبري وجبت له شفاعتي
“ Barangsiapa yang ziarah ke makamku, maka ia berhak mendapat syafa’atku “.
Bahkan siti Aisyah pun sering sholat di kamar tersebut sebagaimana telah dikisahkan dalam shahih Bukhari.
Seandainya hal itu suatu kemungkaran dan keharaman karena beralasan dengan alasan yang tidak nyambung yaitu dengan hadits menjadikan kubur para nabi sebgai tempat sujud di atas, seperti yang telah difatwakan oleh guru besar wahhabi salafi yaitu syaikh Muqbil yang merupakan guru Bin Bazz, Utsaimin dan Fauzan, maka sudah pasti para sahabat saat itu melarangnya dan mengatakan itu haram.
Umat muslim sejak zaman sahabat hingga sekarang ini terus berziarah ke masjid Nabawi tersebut, melakukan sholat di dalamnya dan ziarah kubur Nabi Saw, dan tak ada satu pun ulama di seluruh penjuru dunia mulai dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama madzhab yang melarang mereka sholat di dalam masjid tersebut yang terdapat makam Nabi Saw dan makam dua sahabat Nabi yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khoththob.
Ke enam :
Allah Swt berfirman :
وَكَذَلِكَ أعْثَرْنَا عَلَيْهِمْ لِيَعْلَمُوا أنَّ وَعْدَ اللّهِ حَقٌّ وَأنَّ السّاعَةَ لاَ رَيبَ فيها إذْ يَتنازَعُونَ بَيْنَهُم أمْرَهُم فَقَالُوا ابْنُوا عَلَيْهِم بُنْيَاناً رَبُّهُم أعْلَمُ بِهِم قَالَ الّذينَ غَلَبُوا عَلَى أمْرِهِم لَنَتَّخِذَنّ عَلَيْهِم مَسْجداً
“ Dan demikianlah Kami perlihatkan (manusia) dengan mereka agar mereka tahu bahwa janji Allah benar dan bahwa hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika mereka berselisih tentang urusan mereka, maka mereka berkata “ Dirikanlah sebuah bangunan di atas (gua) mereka “. Orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata “ Kami pasti akan mendirikan masjid di atas kuburan mereka “. (Al-Kahfi : 21)
Ayat ini jelas menceritakan dua kaum yang sedang berselisih mengenai makam ashabul kahfi. Kaum pertama berpendapat agar menjadikan sebuah rumah di atas kuburan mereka. Sedangkan kaum kedua berpendapat agar menjadikan masjid di atas kuburan mereka.
Kedua kaum tersebut bermaksud menghormati sejarah dan jejak mereka menurut manhajnya masing-masing. Para ulama Ahli Tafsir mengatakan bahwa kaum yang pertama adalah orang-orang msuyrik dan kaum yang kedua adalah orang-orang muslim yang mengesakan Allah Swt. Sebagaimana dikatakan juga oleh imam asy-Syaukani berikut :
يقول الإمام الشوكانى «ذِكر اتخاذ المسجد يُشعر بأنّ هؤلاء الذين غلبوا على أمرهم هم المسلمون، وقيل: هم أهل السلطان والملوك من القوم المذكورين، فإنهم الذين يغلبون على أمر من عداهم، والأوّل أولى». انتهى. ومعنى كلامه أن الأولى أن من قال ابنوا عليهم مسجدا هم المسلمون.
Imam Syaukani berkata “ Penyebutan menjadikan masjid dalam ayat tsb menunjukkan bahwa mereka yang menguasai urusan adalah orang-orang muslim. Ada juga yang berpendapat bahwa mereka adalah para penguasa dan raja dari kaum muslimin..”. Makna ucapan beliau adalah pendapat yang lebih utama adalah bahwa yang berkata bangunlah masjid di atas kuburan mereka adalah kaum muslimin “.
وقال الإمام الرازى فى تفسير ﴿لنتّخذنّ عليه مسجداً﴾ «نعبد الله فيه، ونستبقى آثار أصحاب الكهف بسبب ذلك المسجد». تفسير الرازى
Imam Ar-Razi di dalam tafisrnya berkata “ Kami akan menjadikan masjid di atasnya “ maknanya adalah “ Kami akan beribadah kepada Allah di dalam masjid tersebut dan kami akan memelihara bekas-bekas para pemuda ashabul kahfi dengan sebab masjid tersebut “.
Ketujuh :
عن عائشة أنه: قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم في مرضه الذي مات فيه: لعن الله اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. قالت: ولولا ذلك لأبرز قبره غير أنه خشي أن يتخذ مسجداً
Dari siti Aisyah bahwasanya Nabi Saw bersabda saat sakit menjelang wafatnya “ Semoga Allah melaknat orang yahudi dan nashoro, sebab mereka menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid “. Siti Aisyah berkata “ Jika bukan karena itu, maka aku akan tampakkan makam Nabi namun dikhawatirkan dijadikan tempat sujud “.
Siti Aisyah ingin menampakkan makam Nabi Saw yaitu tanpa dinding dan pagar, namun beliau khawatir makam Nabi Saw dibuat sujud oleh kaum muslimin yang awam sehingga masuk kategori hadits larangan menjadikan kuburan para Nabi sebgai tempat sujud.
Maka ucapan siti Aisyah tersebut menjelaskan makna hadits :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah masjid dalam hadits tersebut ialah tempat sujud bukan bangunan masjid. Dan inilah rahasia doa Nabi Saw :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يعبد
“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang disembah “ Nabi tidak mengatakan :
اللهم لا تجعل قبري مسجدا
“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sebagai masjid “.
Doa Nabi Saw terkabuli dan terbukti, bahwa makam beliau Saw tidak menjadi sesembahan kaum muslimin yang berziarah di sana.
Dalam riwayat lainnya Nabi Saw bersabda :
اللهم لا تجعل قبري وثناً يصلى له
“ Ya Allah, jangan jadikan makamku sesembahan yang dijadikan untuk sholat “.
Maka dengan penejelasan ilmiyyah ini, berdasarkan kaidah-kaidah ilmunya menjadi jelas dan terang bahwa yang dimaksud masjid dalam hadits di awal adalah tempat sujud bukan bangunan masjid.
Maka makna hadits Nabi Saw :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور انبيائهم مساجد
Adalah : Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashoro, sebab mereka telah menjadikan kuburan para nabi seperti tempat sujud “.
Inilah makna yang shahih dan yang sebenarnya berdasarkan ilmu bukan hawa nafsu atau kedangkalan cara berpikir.
Selanjutnya saya akan memaparkan makna hadits ini dan juga hadits yang kedua dari segi ilmu Ushul Fiqihnya. Dan setelahnya saya cantumkan pendapat mayoritas ulama yang memaknai hadits tersebut seperti penjelasan di atas. Sehingga kemusykilan menjadi musnah dan kebenaran semakin jelas dan nyata.


- 0 komentar

Nyekar Tabur Bunga di Kuburan


Barangkali telinga masyarakat Indonesia tidaklah asing dengan istilah nyekar. Adapun arti nyekar adalah menabur beberapa jenis bunga di atas kuburan orang yang diziarahinya, seperti menabur bunga kamboja, mawar, melati, dan bunga lainnya yang beraroma harum. Ada kalanya yang diziarahi adalah kuburan sanak keluarga, namun tak jarang pula kuburan orang lain yang dikenalnya.  Nabi SAW sendiri pernah berziarah kepada dua kuburan muslim yang sebelumnya tidak dikenal oleh beliau SAW.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasannya suatu saat Nabi SAW melewati dua kuburan muslim, lantas beliau SAW bersabda: Sesungguhnya kedua orang ini sedang disiksa, keduanya disiksa bukanlah karena suatu masalah yang besar, tetapi yang satu terbiasa bernamimah (menfitnah dan mengadu domba), sedangkan yang satu lagi terbiasa tidak bersesuci (tidak cebok) jika habis kencing. Kemudian beliau SAW mengambil pelepah korma yang masih segar dan memotongnya, untuk dibawa saat menziarahi kedua kuburan tersebut, lantas beliau SAW menancapkan potongan pelepah korma itu di atas dua kuburan tersebut pada bagian kepala masing-masing, seraya bersabda : Semoga Allah meringankan siksa dari kedua mayyit ini selagi pelepah korma ini masih segar. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim pada Kitabut Thaharah (Bab Bersesuci).
Berkiblat dari hadits shahih inilah umat Islam melakukan ajaran Nabi SAW, untuk menziarahi kuburan sanak famili dan orang-orang yang dikenalnya untuk mendoakan penduduk kuburan. Dari hadits ini pula umat Islam belajar pengamalan nyekar bunga di atas kuburan.
Tentunya kondisi alam di Makkah dan Madinah saat Nabi SAW masih hidup, sangat berbeda dengan situasi di Indonesia. Maksudnya, Nabi SAW saat itu melakukan nyekar dengan menggunakan pelepah korma, karena pohon korma sangat mudah didapati di sana, dan sebaliknya sangat sulit menemui jenis pepohonan yang berbunga. Sedangkan masyarakat Indonesia berdalil bahwa yang terpenting dalam melakukan nyekar saat berziarah kubur, bukanlah faktor pelepah kormanya, yang kebetulan sangat sulit pula ditemui di Indonesia , namun segala macam jenis pohon, termasuk juga jenis bunga dan dedaunan, selagi masih segar, maka dapat memberi dampak positif bagi mayyit yang berada di dalam kubur, yaitu dapat memperingan siksa kubur sesuai sabda Nabi SAW.
Karena Indonesia adalah negeri yang sangat subur, dan sangat mudah bagi masyarakat untuk menanam pepohonan di mana saja berada, ibarat tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Maka masyarakat Indonesia-pun menjadi kreatif, yaitu disamping mereka melakukan nyekar dengan menggunakan berbagai jenis bunga dan dedaunan yang beraroma harum, karena memang banyak pilihan dan mudah ditemukan di Indonesia, maka masyarakat juga  rajin menanam berbagai jenis pepohonan di tanah kuburan, tujuan mereka hanya satu yaitu mengamalkan hadits Nabi SAW, dan mengharapkan kelanggengan peringanan siksa bagi sanak keluarga dan handai taulan yang telah terdahulu menghuni tanah pekuburan. Karena dengan menanam pohon ini, maka kualitas kesegarannya pepohonan bisa bertahan relatif sangat lama.
Memang Nabi SAW tidak mencontohkan secara langsung penanaman pohon di tanah kuburan. Seperti halnya Nabi SAW juga tidak pernah mencontohkan berdakwah lewat media cetak, elektronik, bahkan lewat dunia maya, karena situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan Nabi SAW melakukannya. Namun para ulama kontemporer dari segala macam aliran pemahaman, saat ini marak menggunakan media cetak, elektronik, dan internet sebagai fasilitas penyampaian ajaran Islam kepada masyarakat luas, tujuannya hanya satu yaitu mengikuti langkah dakwah Nabi SAW, namun dengan asumsi agar dakwah islamiyah yang mereka lakukan lebih menyentuh masyarakat luas, sehingga pundi-pundi pahala bagi para ulama dan da’i akan lebih banyak pula dikumpulkan. Yang demikian ini memang sangat memungkinkan dilakukan pada jaman modern ini.
Jadi, sama saja dengan kasus nyekar yang dilakukan masyarakat muslim di Indonesia, mereka bertujuan hanya satu, yaitu mengikutijejak nyekarnya Nabi SAW, namun mereka menginginkan agar keringanan siksa bagi penghuni kuburan itu bisa lebih langgeng, maka masyarakt-apun menanam pepohonaan di tanah pekuburan, hal ini dikarenakan sangat memungkinkan dilakukan di negeri yang bertanah subur ini, bumi Indonesia dengan penduduk muslim asli Sunny Syafii.
Ternyata dari satu amalan Nabi dalam menziarahi dua kuburan dari orang yang tidak dikenal, dan memberikan solusi amalan nyekar dengan penancapan pelepah korma di atas kuburan mayyit, dengan tujuan demi peringasnan siksa kubur yang tengah mereka hadapi, menunjukkan bahwa keberadaan Nabi SAW adalah benar-benar rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam, termasuk juga alam kehidupan dunia kasat mata, maupun alam kubur, bahkan bagi alam akhirat di kelak kemudian hari.
(Oleh: Ust. Lutfi Bashori)

_______________________________________________________________________
(Literatur tunggal: Kitab Tahqiiqul Aamal fiima yantafiul mayyitu minal a`maal, karangan Abuya Sayyid Muhammad Alwi Almaliki Alhasani, Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad 21)


- 0 komentar

Ya Rasulullah, Aku Lapar ….

ilustrasi-ziarah-kubur
Telah menjadi tradisi di kalangan para ulama Salaf dan Khalaf bahwa ketika mereka menghadapi kesulitan atau ada keperluan mereka mendatangi kuburan orang-orang saleh untuk berdoa di sana dan mengambil berhaknya dan setelahnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Al Imam asy-Syafi’i ketika ada hajat yang ingin dikabulkan seringkali mendatangi kuburan Abu Hanifah dan berdoa di sana dan setelahnya dikabulkan doanya oleh Allah. Abu ‘Ali al Khallal mendatangi kuburan Musa ibn Ja’far. Ibrahim al Harbi, al Mahamili mendatangi kuburan Ma’ruf al Karkhi sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam kitabnya “Tarikh Baghdad”. Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin Ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :

 
"وَمِنْ مَوَاضِعِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ الصَّالِـحِيْنَ".
"Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh ".
 
Al Hafizh Ibn al Jazari sendiri sering mendatangi kuburan Imam Muslim ibn al Hajjaj, penulis Sahih Muslim dan berdoa di sana sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat.
Al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi menyebutkan sebuah kisah dalam kitabnya yakni Al Wafa bi Ahwal al Mushthafa [1/419] –kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi – bahwa Abu Bakr al Muqrii berkata:
 
قال الإمام أبو بكر بن المقري كنت أنا والبطرانيّ وأبو الشيخ في حرم رسول الله صلى الله عليه وسلم وكنا في حالة وأثر فينا الجوع وواصلنا ذلك اليوم فلما كان وقت العشاء حضرت قبر النبي صلى الله عليه وسلم فقلت يا رسول الله الجوع وانصرفت فنمت أنا وأبو الشيخ والطبراني جالس ينظر في شيء فحضر علويّ معه غلامان مع كل واحد زنبيل فيه شيء كثير فجلسنا وأكلنا وترك عندنا الباقي وقال يا قوم أشكوتم إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فأني رأيته في المنام فأمرني أن أحمل بشيء إليكم
"Adalah aku, ath-Thabrani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Yaa Rasulallah, al Juu’ al Juu’ (Wahai Rasulullah! lapar…lapar)”, lalu aku kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati". Abu Bakr melanjutkan kisahnya: "Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah kami selesai makan, 'Alawi itu berkata: "Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian".
 
Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighotsah) adalah boleh dan baik. Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam. Kisah ini dinukil oleh para ulama termasuk ulama madzhab Hanbali dan lainnya. Mereka ini di mata ummat Islam adalah Muwahhidun (Ahli Tauhid), bahkan merupakan tokoh-tokoh besar di kalangan para Ahli Tauhid, sedangkan di mata para anti tawassul mereka dianggap sebagai ahli bid’ah dan syirik. Padahal kalau mau ditelusuri, peristiwa-peristiwa semacam ini sangatlah banyak seperti yang disebutkan sebagian pada dalil ke delapan.


- 1 komentar

Madzhab Hanbali pun Percaya Keberkahan Kuburan Orang Saleh

makam-luar-batang
(فَصْلٌ) وَيُسْتَحَبُّ الدَّفْنُ فِي الْمَقْبَرَةِ الَّتِي يَكْثُرُ فِيْهَا الصَّالِحُوْنَ لَتَنَالَهُ بَرَكَتهُمْ، وَكَذَلِكَ فِي الْبِقَاعِ الشَّرِيْفَةِ فَقَدْ رُوِيَ فِي الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ أَنَّ مُوْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ لَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ سَأَلَ اللهَ تَعَالَى أَنْ يُدْنِيَهُ إِلَى اْلاَرْضِ الْمُقَدَّسَةِ رَمْيَةً بِحَجَرٍ (الشرح الكبير لابن قدامة – ج 2 / ص 389)
“(Fashal) Disunahkan mengubur di pemakaman yang banyak orang salehnya, agar dapat berkah mereka, begitu pula tempat-tempat mulia. Al-Bukhari dan Muslim sungguh meriwayatkan bahwa Musa As ketika ia akan wafat meminta kepada Allah agar didekatkan dengan tanah Baitul Maqdis sejarak lemparan batu” (Syarh al-Kabir, Ibnu Qudamah, 2/389)

( وَ ) يُسْتَحَبُّ أَيْضًا الدَّفْنُ فِي ( مَا كَثُرَ فِيهِ الصَّالِحُونَ ) لِتَنَالَهُ بَرَكَتُهُمْ وَلِذَلِكَ الْتَمَسَ عُمَرُ الدَّفْنَ عِنْدَ صَاحِبَيْهِ وَسَأَلَ عَائِشَةَ ، حَتَّى أَذِنَتْ لَهُ . (كشاف القناع عن متن الإقناع – ج 4 / ص 420)
“Disunahkan mengubur di pemakaman yang banyak orang salehnya, agar dapat berkah mereka, oleh karenanya Umar berusaha agar dimakamkan di deekat kedua sahabatnya dan meminta pada Aisyah hingga ia memberi izin” (Kasysyaf al-Qina’ 4/420)
يُسْتَحَبُّ الدَّفْنُ عِنْدَ الصَّالِحِ لِتَنَالَهُ بَرَكَتُه (الفروع لابن مفلح – ج 3 / ص 353)
“Disunahkan mengubur di dekat orang saleh agar mendapat berkahnya” (al-Furu’ Ibnu Muflih, 3/353)
Ahli hadis juga mempercayai tabarruk dan tawassul:
قَالَ عَبْدُ الْحَقِّ فِي الْعَاقِبَةِ : فَيُنْدَبُ لِوَلِيِّ الْمَيِّتِ أَنْ يَقْصِدَ بِهِ قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ وَمَدَافِنَ أَهْلِ الْخَيْرِ فَيَدْفَنَهُ مَعَهُمْ وَيَنْزِلَهُ بِإِزَائِهِمْ وَيُسْكِنَهُ فِي جِوَارِهِمْ تَبَرُّكًا وَتَوَسُّلاً بِهِمْ وَأَنْ يَجْتَنِبَ بِهِ قُبُوْرَ مَنْ يُخَافُ التَّأَذِّي بِمُجَاوَرَتِهِ وَالتَّأَلُّمُ بِمُشَاهَدَةِ حَالِهِ (فيض القدير – ج 1 / ص 297)
“Abdulhaqq berkata dalam kitab al-Aqibah: Disunahkan bagi keluarga mayit untuk bertuju ke makam orang-orang saleh dan pemakaman orang-orang baik, kemudian dimakamkan bersama mereka dan diletakkan didekat mereka, ditempatkan di sebelah mereka, untuk mencari berkah dan bertawassul dengan mereka. Dan hendaknya menjauhi kuburan orang yang dikhawatirkan buruk berdampingan dengan kubur mereka dan tersakiti menyaksikan keadaannya” (Faidl al-Qadir 1/297)


- 0 komentar

Yang Pertama Kali Membangun Kubah di Kuburan

maqam-al-habib-ali-bin-muhammad-al-habsyi
Siapa pertama kali yang membangun kubah di kuburan?
قَالَ مَالٍكٌ: أَوَّلُ مَنْ ضَرَبَ عَلَى قَبْرٍ فُسْطَاطًا عُمَرُ، ضَرَبَ عَلَى قَبْرِ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ زَوْجِ النَّبِىِّ، – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – (شرح ابن بطال – ج 5 / ص 346)
“Malik berkata: Orang yang pertama kali membangun kubah diatas kuburan adalah Umar. Ia membangun kubah di atas makam Zainab binti Jahsy, istri Nabi Saw” (Syarahal-Bukhari karya Ibnu Baththal, 5/346)
Padahal Sayidina Umar adalah salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga dan Amir al-Mu’minin atau Khalifah kedua. Apakah yang dilakukan Sayidina Umar adalah bid’ah yang sesat?
 
(Oleh: Ust. Ma'ruf Khozin)


- 0 komentar

Mereka yang Terhasut Rayuan Tanduk Setan Nejd

Wahabi Setan Bertanduk dari NAJD-763460
Mereka adalah hasil pengajaran para ulama korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi

Mereka terhasut untuk kembali kepada Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi). Hal ini umum terjadi pada mereka yang memahami agama berlandaskan muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri.
Perhatikan bagaimana ulama panutan mereka Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah.
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab tentu tidak bertemu dengan ulama Ibnu Taimiyyah karena masa kehidupannya terpaut lebih dari 350 tahun. Artinya ulama Muhammad bin Abdul Wahhab memahami agama berdasarkan muthola’ah, menelaah kitab ulama Ibnu Taimiyyah dengan akal pikirannya sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaikan “Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya (dengan akal pikirannya sendiri), maka oleh sebab itu jadi tidak boleh baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan masalah
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu)
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan”Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnyapun, pemahamannya telah keluar (kharaja) dari apa yang dipahami oleh kaum muslim pada umumnya.
Setiap pemahaman yang telah keluar (kharaja) dari apa yang dipahami oleh kaum muslim pada umumnya dinamakan sebagai kaum khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakannya sebagai “anak panah yang meluncur dari busurnya” (HR Muslim 1773)
Hadits selengkapnya,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “akan muncul suatu firqah/sekte/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya” (HR Muslim 1773)
Semula Ibnu Taimiyyah bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama bermazhab dengan Imam Ahmad bin Hambal namun pada akhirnya Ibnu Taimiyyah lebih bersandar kepada upaya pemahamannya sendiri melalui muthola’ah , menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri sehingga pemahamannya bertentangan dengan pemahaman Imam Mazhab yang empat. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ dan bantahan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Begitupula Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” telah membantah apa yang dipahamai oleh Ibnu Taimiyyah maupun apa yang dipahami oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab. Kutipannya dapat di baca pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/
Bahkan karena kesalahpahamannya mengakibatkan Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Mereka yang terhasut untuk kembali kepada Al Qur'an dan Hadits dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi).
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapat atau berfatwa harus berdasarkan ilmu. Sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ilmu untuk memahami Al Qur’an dan Hadits.
Untuk dapat menggali sendiri dari Al Qur’an dan Hadits maupun memahami perkatan ulama Salaf yang Sholeh tidak cukup dengan makna dzahir yakni dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja sebagaimana umumnya mereka yang bersandar pada muthola’ah, menelaah kitab namun dibutuhkan kompetensi seperti
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Berikut adalah akibat-akibat yang ditimbulkan dikarenakan mereka memahami Al Qur'an dan Hadits serta perkataan ulama-ulama yang sholeh terdahulu dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahkan saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi).
1. Dengan makna dzahir mereka tidak dapat memahami dengan baik hadits "Kullu bid'ah" sebagaimana yang telah kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/10/tinjauan-kullu-bidah/ sehingga karena kesalahpahaman mereka tentang bid’ah boleh jadi dapat terjerumus menjadi ahli bid’ah.
2. Dengan makna dzahir mereka akan menemukan pertentangan contohnya memahami dua hadits berikut
Hadits pertama
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah dari 'Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari 'Amru bin Aus dari Abdullah bin 'Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar mengatakan sesuatu yang sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan dalam haditsnya Zuhair- dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman 'azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka." (HR Muslim 3406)
Contoh pemahaman mereka terhadap hadits di atas dapat kita ketahui dari apa yang terurai dalam tulisan pada http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Hadits kedua
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
Abdullah bin ‘Umar dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: ‘Pada hari kiamat kelak, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipat langit. Setelah itu, Allah akan menggenggamnya dengan tangan kanan-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang selalu berbuat sewenang-wenang? Dan di manakah orang-orang yang selalu sombong dan angkuh? ‘ Setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang sering berbuat sewenang-wenang? Di manakah orang-orang yang sombong? “ (HR Muslim 4995).
Dengan makna dzahir maka mereka akan menemukan pertentangan,  hadits pertama makna dzahirnya adalah "sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua" sedangkan hadits kedua makna dzahirnya adalah “setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya"
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Firman Allah ta’ala  dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an maupun Hadits. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maupun hadits maka pastilah yang salah adalah pemahaman mereka.
3.  Dengan makna dzahir mereka dapat bersifat radikal atau eksterimisme bahkan terorisme seperti pelaku bom bunuh diri. Contohnya  ketika mereka salah memahami ayat Al Qur'an berikut
Firman Allah ta'ala yang artinya
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)
Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah” (QS Al Baqarah [2]:191)
4. Dengan makna dzahir mereka tidak dapat memahami kitab-kitab ulama tasawuf karena kitab-kitab tersebut ditulis dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas , dalam dan penuh dengan hikmah. Disamping itu mereka terhasut dengan potongan-potongan perkataan-perkataan ulama tasawuf  yang ditempatkan bukan pada tempatnya atau disembunyikan maksud tujuan perkataan tersebut.
Contoh hasutan, mereka menyampaikan bahwa Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.”  Penjelasan telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/apakah-tasawuf/
5. Dengan makna dzahir mereka memandang kaum muslim yang melakukan ziarah kubur sambil bertabarruk dan bertawassul dengan ahli kubur yang telah meraih maqom disisiNya sebagai penyembah kuburan dan mereka menjulukinya dengan kuburiyyun. Contohnya terurai dalam syarah Qawaidul Arba’ yang ditulis oleh ulama Sholih Fauzan Al-Fauzan pada halaman 28. Silahkan baca pada http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf
Ulama yang sholeh dari kalangan Ahlul Bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam seperti Habib Munzir Al Musawa mengatakan,
***** awal kutipan *****
“Tak ada ulama salaf yang sholeh yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian.
Justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah??, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah??
Tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat bila memang di kehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang yang mati adalah dirisaukan terjebak pada kekufuran yang jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak bisa membatasi kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap abadi walau mereka telah wafat”
***** akhir kutipan *****
Mereka telah mencela kaum muslim yang melakukan ziarah kubur sambil bertabarruk dan bertawassul dengan ahli kubur yang telah meraih maqom disisiNya sebagai penyembah kuburan atau dengan panggilan (julukan) kuburiyun
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apakah dengan panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian?.” Lalu beliau membacakan Ali Imron ayat 103 yang artinya, ‘Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk
Mereka tidak dapat merasakan kehadiran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di tengah-tengah kita
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam walupun secara dzahir telah wafat, pada hakikatnya tetap berada di tengah tengah kaum muslim.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.”
Dengan julukan-julukan seperti itu mereka tidak takut atas pengawasan Allah ta'ala yang tidak pernah tidur
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Kaum Muslim yang meyakini dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla atau kaum muslim yang bermakrifat atau dapat melihat Allah Azza wa Jalla dengan hatinya (ain bashiroh) maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat yakni muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Firman Allah ta’ala yang artinya,
Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda kepada Allah
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus  menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar
Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Abu Bakar ra berkata, “Orang-orang saleh itu akan dicabut satu persatu, sehingga manusia hanya tinggal yang fasik saja, seperti serbuk kurma dan gandum. Allah sudah tidak peduli lagi terhadap mereka
Semakin akhir zaman maka semakin sedikit atau semakin asing muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).
Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Islam pada awalnya asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non muslim / jahiliyah) dan pada akhirnya akan asing atau semakin sedikit muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)


- 0 komentar

Wahabi Termasuk Golongan Khawarij (1)

Mayoritas umat Islam meyakini bahwa Ahlussunnah Wal-Jama’ah itu pengikut madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi. Tetapi tidak sedikit pula yang berasumsi bahwa aliran Wahhabi juga masuk dalam golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Padahal menurut para ulama yang otoritatif di kalangan Sunni, aliran Wahhabi itu tergolong Khawarij, bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
Dalam sebuah diskusi tentang ASWAJA di Kantor PWNU Jawa Timur di Surabaya, ada pembicaraan mengenai Wahhabi, apakah termasuk Ahlussunnah Wal-Jama’ah atau bukan. Dalam kesempatan itu saya menjelaskan bahwa aliran Wahhabi atau Salafi itu bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Bahkan aliran Wahhabi itu termasuk golongan Khawarij. Mendengar penjelasan ini, sebagian peserta ada yang bertanya, “Mengapa aliran Wahhabi Anda masukkan dalam golongan Khawarij? Bukankah mereka juga berpedoman dengan kitab-kitab hadits yang menjadi pedoman kita seperti Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan lain-lain?”
Aliran Wahhabi itu dikatakan Khawarij karena ada ajaran penting di kalangan Khawarij menjadi ajaran Wahhabi, yaitu takfir al-mukhalif dan istihlal dima’ al-mukhalifin (mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka). Suatu kelompok dikatakan keluar dari Ahlussunnah Wal-Jama’ah, tidak harus berbeda 100 % dengan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kaum Khawarij pada masa sahabat dulu dikatakan Khawarij bukan semata-mata karena perlawanan mereka terhadap kaum Muslimin, akan tetapi karena perlawanan mereka terhadap Sayyidina Ali dilatarbelakangi oleh motif ideologi yaitu takfir dan istihlal dima’ al-mukhalifin (pengkafiran dan pengahalalan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan mereka). Sayyidah ‘Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-’Awwam dan banyak sahabat yang lain juga memerangi Sayidina Ali. Sayidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan juga memerangi Sayidina Ali. Akan tetapi karena latar belakang peperangan mereka bukan motif ideologi, tetapi karena semata-mata karena persoalan politik, maka mereka tidak dikatakan Khawarij.
Persoalan bahwa kaum Wahhabi juga merujuk terhadap kitab-kitab tafsir dan hadits yang menjadi rujukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, hal ini bukan alasan menganggap mereka sebagai Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kalau kita mempelajari ilmu rijal hadits, dalam Shahih al-Bukhari, Muslim dan lain-lain, tidak sedikit para perawi hadits yang mengikuti aliran Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadariyah dan lain-lain. Para ulama kita, termasuk dari kalangan ahli hadits, sangat toleran dengan siapapun, sehingga tidak menghalangi menerima hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi ahli bid’ah untuk dimasukkan dalam kitab-kitab mereka dan kemudian menjadi rujukan utama kaum Muslimin Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Kalau setiap orang yang merujuk terhadap Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim dan kitab-kitab hadits lainnya harus dimasukkan dalam golongan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, maka kita tentunya harus pula memasukkan semua perawi hadits al-Bukhari dan lain-lain dalam Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Padahal faktanya tidak demikian.
Alasan utama mengapa aliran Wahhabi dikatakan Khawarij dan bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah, adalah paradigma pemikirannya yang mengusung konsep takfir dan istihlal dima’ wa amwal al-mukhalifin (pengkafiran dan penghalalan darah dan harta benda kaum Muslimin di luar alirannya). Dalam sebuah diskusi di PCNU Sumenep, pada 22 Mei 2010, tentang aliran Syi’ah dan Wahhabi, seorang ulama Wahhabi kelahiran Sumatera dan sekarang tinggal di Jember, berinisial AMSP menggugat pernyataan saya, bahwa Wahhabi mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin di luar mereka. Ia mengatakan:
“Wahhabi itu Ahlussunnah Wal-Jama’ah, bukan Khawarij. Karena Wahhabi tidak mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin yang berbeda dengan dirinya.” Mendengar pernyataan tersebut saya katakan: “Bahwa Wahhabi itu mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin, itu bukan kata saya. Tetapi itu pernyataan Syaikh Muhammad, pendiri aliran Wahhabi.
Misalnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata:
“Aku pada waktu itu tidak mengerti makna la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam, sebelum kebaikan yang dianugerahkan oleh Allah. Demikian pula guru-guruku, tidak seorang pun di antara mereka yang mengetahui hal tersebut. Barangsiapa yang berasumsi di antara ulama Aridh (Riyadh) bahwa ia mengetahui makna la ilaha illallah atau mengetahui makna Islam sebelum waktu ini, atau berasumsi bahwa di antara guru-gurunya ada yang mengetahui hal tersebut, berarti ia telah berdusta, mereka-reka (kebohongan), menipu manusia dan memuji dirinya dengan sesuatu yang tidak dimilikinya.” (Ibn Ghannam, Tarikh Najd hal. 310).
Dalam pernyataan di atas, jelas sekali Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan bahwa sebelum ia menyebarkan faham Wahhabi, ia sendiri tidak mengerti makna kalimat la ilaha illallah dan tidak mengerti agama Islam. Bahkan tidak seorang pun dari guru-gurunya dan ulama manapun yang mengerti makna kalimat la ilaaha illallah dan makna agama Islam. Pernyataan ini menunjukkan bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan guru-gurunya, semua ulama dan mengkafirkan dirinya sebelum menyebarkan faham Wahhabi. Pernyataan tersebut ditulis oleh muridnya sendiri, Syaikh Ibn Ghannam dalam Tarikh Najd hal. 310.
Dalam kitab Kasyf al-Syubuhat hal. 29-30, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Ketahuilah bahwa kesyirikan orang-orang dulu lebih ringan dari pada kesyirikan orang-orang masa kita sekarang ini.” Maksudnya kaum Muslimin di luar golongannya itu telah syirik semua. Kesyirikan mereka melebihi kesyirikan orang-orang Jahiliyah. Sebagaimana ia tulis dalam kitab Kasyf al-Syubuhat, kitab pendiri Wahhabi yang paling ekstrem dan paling keras dalam mengkafirkan seluruh kaum Muslimin selain golongannya.
Dalam kitab al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibat al-Najdiyyah, kumpulan fatwa-fatwa ulama Wahhabi sejak masa pendirinya, yang di-tahqiq oleh Syaikh Abdurrahman bin Muhammad bin Qasim, ulama Wahhabi kontemporer, ada pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, bahwa ilmu fiqih dan kitab-kitab fiqih madzhab empat yang diajarkan oleh para ulama adalah ilmu syirik, sedangkan para ulama yang menyusunnya adalah syetan-syetan manusia dan jin. (Al-Durar al-Saniyyah, juz 3 hal. 56). Pernyataan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ini berarti pembatalan dan pengkafiran terhadap kaum Muslimin yang mengikuti madzhab fiqih yang empat.
Dalam berbagai kitab dan risalahnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab selalu menyebutkan kalimat-kalimat yang ditujukan kepada orang-orang musyrik. Namun ia tidak pernah menyebut seorang pun nama orang musyrik yang menjadi lawan polemiknya dalam kitab-kitab dan tulisannya. Justru yang ia sebutkan adalah nama-nama para ulama terkemuka pada waktu itu seperti Syaikh Ibn Fairuz, Marbad al-Tamimi, Ibn Suhaim, Syaikh Sulaiman dan ulama-ulama lainnya. Maksudnya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab mengkafirkan seluruh ulama pada waktu itu yang tidak mengikuti ajarannya. Bahkan secara terang-terangan, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyebutkan dalam kitab Kasyf al-Syubuhat, bahwa kaum Muslimin pada waktu itu telah memilih mengikuti agamanya Amr bin Luhay al-Khuza’i, orang yang pertama kali mengajak orang-orang Arab memuja berhala.
Pengkafiran terhadap kaum Muslimin terus dilakukan oleh ulama Wahhabi dewasa ini. Dalam kitab Kaifa Nafhamu al-Tauhid, karangan Muhammad bin Ahmad Basyamil, disebutkan:
عَجِيْبٌ وَغَرِيْبٌ أَنْ يَكُوْنَ أَبُوْ جَهْلٍ وَأَبُوْ لَهَبٍ أَكْثَرَ تَوْحِيْدًا للهِ وَأَخْلَصَ إِيْمَانًا بِهِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ الَّذِيْنَ يَتَوَسَّلُوْنَ بِاْلأَوْلِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ وَيَسْتَشْفِعُوْنَ بِهِمْ إِلَى اللهِ. أَبُوْ جَهْلٍ وَأَبُوْ لَهَبٍ أَكْثَرُ تَوْحِيْدًا وَأَخْلَصُ إِيْمَانًا مِنْ هَؤُلاَءِ الْمُسْلِمِيْنَ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ. (محمد بن أحمد باشميل، كيف نفهم التوحيد، ص/١٦).
“Aneh dan ganjil, ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya kepada Allah dan lebih murni imannya kepada-Nya dari pada kaum Muslimin yang bertawassul dengan para wali dan orang-orang saleh dan memohon pertolongan dengan perantara mereka kepada Allah. Ternyata Abu Jahal dan Abu Lahab lebih banyak tauhidnya dan lebih tulus imannya dari mereka kaum Muslimin yang mengucapkan tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah.” (Muhammad bin Ahmad Basyamil, Kaifa Nafhamu al-Tauhid, hal. 16).
Dalam pernyataan tersebut, Basyamil menganggap bahwa kaum Muslimin selain Wahhabi, lebih syirik dari pada Abu Jahal dan Abu Lahab. Kitab karya Basyamil ini dibagi-bagikan secara gratis oleh tokoh-tokoh Wahhabi kepada siapapun yang berminat. Demikian dialog saya dengan AMSP yang tidak berjalan lama. Karena ia minta agar dialog segera diakhiri.
(Oleh: Ustadz Muhammad Idrus Ramli)


- 0 komentar

Tawassul Imam Abu Hanifah Kepada Rasulullah SAW

Qasidah ini berisi tawassul Imam Abu Hanifah dengan Rasulullah. Beliau mencurahkan puji-pujian, rasa rindu, dan kecintaan yang suci kepada Rasulullah.
توسل الإمام أبي حنيفة رضي الله عنه بالنبي الحبيب محمد صلى الله عليه وسلم

يـا سيـد السـادات جئـتـك قـاصـدا أرجــو رضــاك و أحتـمـي بحمـاكـا
و الله يـاخـيـر الـخـلائـق ان لـــي قـلـبـا مـشـوقـا لا يـــروم سـواكــا


و بـحـق جـاهــك انـنــي بـــك مـغــرم و الله يـعـلـم أنـنــي أهـواكــا
أنـت الـذي لــولاك مــا خـلـق امــرؤ كــلا و لا خـلـق الــورى لـولاكـا

أنت الذي من نـورك البـدر اكتسـى و الشمـس مشرقـة بنـور بهاكـا
أنت الذي لمـا رفعـت الـى السمـا بـك قـد سمـت و تزينـت لسراكـا

انــت الــذى نــا داك ربــك مرحـبـا ولـقـد دعــاك لقـربـه وحـبــا كـــا
أنـت الـذى فيـنـا سـالـت شفـاعـة نــاداك ربــك لــم تـكـن لسـواكـا

أ نــت الــذى لـمـا تـوسـل آدم مـــن زلـــة بـــك فـــاز وهـــوأ بـاكــا
وبــك الخلـيـل دعــا فـعـادت نــاره بــردا وقــد خـمـدت بـنـور سنـاكـا

ودعــاك أ يــوب لـضــر مـســه فـأزيــل عـنــه الـضــر حـيــن دعـاكــا
وبـك المسيـح أتـى بشيـرا مخبـرا بصـفـات حسـنـك مـادحـا لعـلاكـا

وكـذاك موسـى لـم يـزل متوسـلا بـك فـى القيامـة محـتـم بحمـاكـا
والأ نبيـاء وكـل خلـق فـى الـورى والرسـل والأ مـلاك تحـت لــوا كــا

لـك معجـزات أعجـزت كـل الـورى وفضائـل جلـت فلـيـس تـحـا كــى
نـطـق الــذراع بسِـمـه لــك معلـنـا والـضـب قــد لـبـاك حـيـن أتـاكــا

والـذئـب جــاءك والغـزالـة قـدأتـت بــك تستجـيـر وتحتـمـى بحمـاكـا
وكذا الوحوش أ تـت إليـك وسلمـت وشكـى البعيـر إليـك حيـن رآكـا

ودعـوت أشـجـارا أتـتـك مطيـعـة وسمـعـت إلـيـك مجيـبـة لـنـدا كــا
والمـاء فـاض براحتيـك وسبحـت صـم الحصـى بالفضـل فـى يمنـاكـا

وعليك ظللـت الغمامـة فـى الـورى والجـذع حـن إلـى كريـم لقـا كـا
وكـذاك لا أثـر لمشيـك فـى الثـرى والصخـر قـد غاصـت بـه قدمـا كـا

وشفيـت ذا العاهـات مـن أمراضـه ومـلات كــل الارض مــن جـدواكـا
ورددت عيـن قتـادة بـعـد العـمـى وابــن الحصـيـن شفيـتـه بشفـاكـا

وكــذا حبـيـب وابــن عـفـر بعـدمـا جـرحـا شفيتهـمـا بلـمـس يـداكـا
و علـي مـن رمـد بــه داويـتـه فــي خيـبـر فشـفـى بطبـيـب لمـاكـا

وسألـت ربـك فـي ابـن جـابـر بعـدمـا أن مــات أحـيـاه وقــد أرضـاكـا
و مسست شاة لأم معبد بعدما ما نشفت فدرت من شفاكـا رقياكـا

و دعوت عـام القحـط ربـك معلنـا فانهـال قطـر السحـب حيـن دعاكـا
ودعـوت كـل الخلـق فانقـادوا الــى دعــواك طـوعـا سامعـيـن نـداكـا

و خفضت دين الكفـر يـا علـم الهـدى ورفعـت دينـك فاستقـام هناكـا
أعداك عادو في القليب بجمعهـم صرعـى وقـد حرمـوا الرضـا بجفاكـا

فــي يــوم بــدر قــد أتـتـك مـلائـك مــن عـنـد ربــك قاتـلـت أعـداكـا
و الفتـح جـاءك يـوم فتحـك مكـة و النصـر فـي الأحــزاب قــد وافـاكـا

هـود و يونـس مـن بهـاك تجمـلا و جمـال يوسـف مـن ضيـاء سناكـا
قــد فـقـت يــا طــه جمـيـع الأنبـيـا طــرا فسبـحـان الــذي أسـراكــا

و الله يـا يسيـن مثلـك لـم يكـن فــي العالمـيـن و حــق مــن نبـاكـا
عـن وصفـك الشعـراء يـا مدثـر عـجـزوا و كـلـوا عــن صـفـات عـلاكـا

انجيل عيسـى قـد أتـى بـك مخبـرا و لنـا الكتـاب أتـى بمـدح حلاكـا
مـاذا يقـول المادحـون ومـا عسـى أن تجمـع الكتَـاب مــن معنـاكـا؟!

و الله لــو أنَ الـبـحـار مـدادهــم و الـشـعـب أقـــلام جـعـلـن لـذاكــا
لــم تـقـدر الثـقـلان تجـمـع نــزره أبــدا و مــا اسطـاعـوا لــه ادراكــا

بــك لــي فــؤاد مـغـرم يــا سـيـدي و حشـاشـة محـشـوة بـهـواكـا
فــاذا سـكـتُ ففـيـك صمـتـي كـلـه و اذا نـطـقـت فـمـادحـا علـيـاكـا

و اذا سـمـعـت فـعـنـك قـــولا طـيـبـا و اذا نـظــرت فـمــا أرى الاَكـــا
يـا مالكـي كـن شافعـي فـي فاقتـي انـيِ فقيـر فـي الـورى لغنـاكـا

يـا أكـرم الثقليـن يـا كنـز الغنـى جـد لـي بجـودك و ارضنـي برضـاكـا
أنـا طامـع بالجـود منـك و لـم يكـن لأبـي حنيفـة فـي الأنـام سـواكـا

فعسـاك تشفـع فـيـه عـنـد حسـابـه فلـقـد غــدا متمسـكـا بعـراكـا
فلأنـت أكـرم شافـع و مشـفـع ومــن التـجـى بحـمـاك نــال رضـاكـا

فاجعل قراى شفاعة لي في غد فعسى أرى في الحشر تحت لواكا
صلـى عليـك الله يـا علـم الـهـدى مــا حــنَ مشـتـاق الــى مثـواكـا

و علـى صحابتـك الـكـرام جميعـهـم و التَابعـيـن و كــلَ مــن والاكــا


كتب أبو حنيفه هذه القصيدة ليتقرب بها من رسول الله صلى الله عليه و سلم، و لينشدها بين يديه في أثناء زيارته ، و لم يطلع عليها أحد.
فلما وصل الى المدينة المنورة، سمع المؤذن ينشدها على المئذنة،! فعجب من ذلك و انتظر المؤذن.
فسأله: لمن هذه القصيدة؟!.
قال :لأبي حنيفة.
قال: أتعرفه؟.
قال: لا.
قال: و عمن أخذتها؟!.
قال: في رؤياي أنشدها بين يدي المصطفى صلى الله عليه و سلم، فحفظتها و ناجيته بها على المئذنة.
فدمعت عينا أبي حنيفة

Berikut terjemahan tulisan bagian akhir:

Qasidah ini ditulis oleh Imam Abu Hanifah untuk mendekatkan diri kepada Rasulullah (artinya untuk mengungkapkan kerinduan, kecintaan, dan pujian terhadap Rasulullah), ia berniat hendak membacakan bait-bait syair tersebut di hadapan makam Rasulullah di tengah ziarah kepadanya nanti, dan bait-bait syair ini sebelumnya tidak pernah diketahui oleh siapapun.
Kemudian, ketika Imam Abu Hanifah sampai di Madinah al Munawwarah tiba-tiba beliau mendengar seorang mu’adzin melantunkan bait-bait syair tersebut. Sang Imam sangat heran, lalu beliau menunggu mu’adzin tersebut selesai. Setelah selesai Imam Abu Hanifah bertanya: “Siapakah pemilik qasidah yang engkau lantunkan itu?”
Mua’dzin menjawab: “Itu adalah qasidah milik Abu Hanifah”.
Sang Imam bertanya: “Apakah engkau kenal dengan Abu Hanifah?”
Mu’adzin berkata: “Tidak”.
Sang Imam: “Lalu dari siapa engkau mendapatkan qasidah tersebut?”
Mu’adzin: “Aku mendapatkannya di dalam mimpiku, aku mendendangkan qasidah tersebut di hadapan Rasulullah hingga aku menjadi hafal, maka aku jadikan qasidah ini untuk meminta pertolongan kepada Rasulullah di atas tempat adzan ini”.
Mendengar penjelasan ini Imam Abu Hanifah meneteskan air matanya….

“Semoga anda yang memperjuangkan aqidah Rasulullah yang telah diperjuangkan oleh Imam Abu Hanifah kelak dapat melihat Rasulullah dalam mimpi; bahkan dalam keadaan jaga dan meninggal dalam keadaan iman yang sempurna dan khusnul khatimah. Amiin.”


- 0 komentar

Kata Wahabi: "Nabi Muhammad SAW Manusia Biasa, Tidak Usah Dimuliakan?"


Begitulah kata-kata  yang sering diucapkan kaum puritan yang senantiasa didengung-dengungkan pada ceramah-ceramah mereka..
Apakah ucapan itu merupakan ucapan umat yang mencintai Nabinya?
Apakah ucapan itu merupakan ucapan umat yang mengharapkan SYAFA'AT Nabinya di hari kiamat nanti?
Subhannallah..
Wa innaka la'ala khuluqin 'adhim, Sungguh engkau Muhammad selalu berakhlak yang agung.
Masih ada pula yang berkata tapi bertanya, "Nabi Muhammad SAW adalah makhluk termulia tapi saya belum bisa menghayati keistimewaan beliau sebagai manusia agung karena semua nabi juga ma'shum, Nabi Adam bertahan 1000 tahun dalam keadaan ma'shum", demikian kata orang itu.

Orang biasa tentu saja sulit menghayati kebesaran Nabi Muhammad SAW,  karena keagungan yang tidak kasat mata pada diri Nabi Muhammad SAW jauh lebih besar daripada yang terlihat. Nabi  Muhammad SAW terlihat sebagai manusia normal tidak seperti malaikat yang memiliki keajaiban luar biasa . Namun kita akan terkesima jika dibuka satu demi satu nilai keluhuran yang ada pada dirinya.
Yang mudah saja sifat SABAR misalnya,
Mampukah seseorang bertahan dengan sifat sabar sepanjang hidupnya tanpa terlepas sebentar saja ?
Apalagi seperti umumnya manusia untuk bertahan dengan sabar sehari semalam saja sangatlah berat dan mengalami kegagalan.
Bagaimana dengan sifat-sifat  yang lain seperti  selalu bersyukur…?
Selalu qona'ah …?
Selalu ridho…?
Selalu dekat dengan Allah…?
Dan seluruh sifat-sifat  mulia yang paling tidak 77 cabang iman. Dan sebagian keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki 99 sifat mulia yang melekat pada dirinya tanpa terlepas barang sebentar.
Istiqomah dan mudawamah dhohir dan batin jasmani dan rohani, sehingga syekh Bushiri dalam Qasidah Burdahnya bersya'ir : “Fa mablaghul 'ilmi fihi annahu basyarun”, yang kita ketahui bahwa beliau adalah manusia, seolah Syekh Bushiri berkata lho kok sampai begitu kemampuannya.
Nabi  Muhammad SAW kapanpun, dimanapun, situasi apapun, adalah Uswatun Hasanah. Ketika bersama orang banyak, dan ketika sendirian, beliau dalam kemuliaan akhlaknya, dan tidak pernah berkurang, hingga tidurnya pun merupakan uswatun hasanah. Perilaku, perkataan, dan sikapnya adalah hukum, yang siapapun mengikutinya pasti benar dan terpuji. Ahwal seperti itu tidak mungkin bisa dilakukan selain beliau. Orang bisa terlihat mulia di mata umum, namun ketika sendirian untuk mempertahankan sikap mulia lahiriahnya saja akan mengalami keruntuhan.
Bagaimana Nabi Muhammad SAW Melakukan langkah besar merombak peradaban manusia yang hancur berantakan dalam gelap gulitanya kesesatan, kebrangasan kedloliman menyeluruh, yang menghinggapi setiap orang yang merasa kuat dan mereka menindas setiap yang lemah, bayi perempuan dikubur hidup-hidup, anak yatim dihinakan, para dhuafa ditindas, tak ada yang dilarang bagi yang kuat sebagaimana segalanya terlarang bagi yang lemah, sementara Nabi Muhammad SAW  harus merombak seluruh sisi kehidupan dan tidak ada sisi yang ditinggalkan dalam keadaan beliau tak punya kekuatan ekonomi bahkan miskin, tidak bisa membaca dan menulis seperti orang –orang maju ketika itu.
Mukjizat adalah bukti kebenaran yang tidak diupayakan, memiliki mukjizat bukanlah suatu kehebatan tapi suatu bukti kebenaran dan keagungan yang Allah berikan cuma-cuma karena kemulyaan Nabi Muhammad SAW. Yang kita lihat adalah seorang manusia yang bertahan dalam melawan hawa dan nafsunya senantiasa sebagaimana hawa dan nafsu itu tak pernah terlepas dari dirinya sebagai manusia.
Sifat-sifat ruhaniyahnya naik tanpa mengalami penurunan dengan perjuangan luar biasa dan susah payah mempertahankan kesempurnaan hablun-minallah juga hablun-minannas sehingga tak seorangpun menemui kesalahan atau kekurangan, kelemahan atau aib pada diri Nabi Muhammad SAW.
Ini baru setitik pengetahuan tentang diri Nabi Muhammad SAW yang mana orang tak menjangkau seperti apa batiniah Nabi ketika bermukalamah dengan Tuhannya, dan ketika ruh dan jasadnya naik ke sidratul muntaha melintasi segala yang menakjubkan yang tak pernah bisa dilakukan oleh manusia dan jin sekalipun.
Bagaimana pula pengalamannya melihat surga dan neraka serta seluruh jagat raya, bagaimana ketika beliau berada pada posisi teragung di hadapan Tuhannya. Kita hanya mendengar setitik cerita pendek dari lisan beliau. Dengan kemulyaannya Allah berkenan menebar barokah dan cahaya dunia melalui diri hamba-NYA yang mulia ini. Darinya tumbuh pandekar-pendekar ilmu dan taqwa, kebesarannya tercermin pada sahabat, para imam, para ulama dan auliya keturunan dan umatnya.
Sudah kita pahami bahwa Nabi Muhamad SAW adalah pembawa risalah, bersifat ma'shum, uswatun hasanah, perkataan, perbuatan dan sikapnya adalah hukum, makhluk termulia, wajib diikuti sunnahnya. Maka mencintai, memulyakan, mengagungkan, idola hidup bahwa perantara yang mengantarkan kita kepada Allah, itulah arti KULTUS individu yaag seharusnya menjadi sikap setiap umatnya.
Adapun Sang Maha Pencipta Allah SWT adalah MA’BUD (yang disembah) bukan lagi pantas jika dikatakan KULTUS kepada Allah, karena Allah di atas itu semua, Allah itu pencipta yang disembah, dimohon, tempat berlindung dan menentukan nasib seluruh makhlukNYA.Maka berbeda antara Menyembah dengan Kultus.
Semoga kita termasuk hamba Allah yang Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, dan senantiasa dalam keridloan keduanya..Aamiin..aamiin Yaa Robbal’alamiin..
Allahumma Sholli Wasalim Wabarik ‘Alaihi..
Mari kita perbanyak shalawat di hari Jum’at Yang penuh Barokah ini..

Sumber : Orang Baik-Baik, Mkub, Bogor