Mereka yang Terhasut Rayuan Tanduk Setan Nejd
Mereka
adalah hasil pengajaran para ulama korban hasutan atau korban ghazwul
fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi
Mereka terhasut untuk kembali kepada Al Qur'an dan Hadits dengan makna
dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi “terjemahkan
saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi). Hal
ini umum terjadi pada mereka yang memahami agama berlandaskan muthola’ah
, menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri.
Perhatikan bagaimana ulama panutan mereka Muhammad bin Abdul Wahhab mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah.
Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab tentu tidak bertemu dengan ulama Ibnu Taimiyyah karena masa kehidupannya terpaut lebih dari 350 tahun. Artinya ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab memahami agama berdasarkan muthola’ah,
menelaah kitab ulama Ibnu Taimiyyah dengan akal pikirannya sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di
dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran,
sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Ulama keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Habib Munzir Al Musawa menyampaikan “Orang
yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan
menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru
bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi
kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya
(dengan akal pikirannya sendiri), maka oleh sebab itu jadi tidak boleh
baca dari buku, tentunya boleh baca buku apa saja boleh, namun kita
harus mempunyai satu guru yang kita bisa tanya jika kita mendapatkan
masalah”
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah
bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau
dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau
pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu)”
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud
dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar
untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu
mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga
meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya
dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan
al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan
pengamalan“
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan”Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi panutan Muhammad bin Abdul Wahhab dan
para pengikutnyapun, pemahamannya telah keluar (kharaja) dari apa yang
dipahami oleh kaum muslim pada umumnya.
Setiap pemahaman yang telah keluar (kharaja) dari apa yang dipahami
oleh kaum muslim pada umumnya dinamakan sebagai kaum khawarij. Khawarij
adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang
keluar. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakannya sebagai
“anak panah yang meluncur dari busurnya” (HR Muslim 1773)
Hadits selengkapnya,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “akan muncul suatu
firqah/sekte/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana,
bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka.
Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka
dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka
menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun
ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak
sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana
anak panah meluncur dari busurnya” (HR Muslim 1773)
Semula Ibnu Taimiyyah bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama bermazhab
dengan Imam Ahmad bin Hambal namun pada akhirnya Ibnu Taimiyyah lebih
bersandar kepada upaya pemahamannya sendiri melalui muthola’ah ,
menelaah kitab dengan akal pikirannya sendiri sehingga pemahamannya
bertentangan dengan pemahaman Imam Mazhab yang empat. Hal ini telah
diuraikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/
dan bantahan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari para ulama Ahlussunnah wal
Jama’ah sebagaimana yang terurai dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah
menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti
Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan
dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi
Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi
Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al
Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui
dan disepakati oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang
sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)
Begitupula Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama)
dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” telah membantah apa yang
dipahamai oleh Ibnu Taimiyyah maupun apa yang dipahami oleh ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab. Kutipannya dapat di baca pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/
Bahkan karena kesalahpahamannya mengakibatkan Ibnu Taimiyyah wafat di
penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau uraian
dalam tulisan pada
http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html
Mereka yang terhasut untuk kembali kepada Al Qur'an dan Hadits dengan
makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan metodologi
“terjemahkan saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan istilah
(terminologi).
Dalam memahami Al Qur’an dan Hadits atau berpendapat atau berfatwa
harus berdasarkan ilmu. Sanad ilmu yang tersambung kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan ilmu untuk memahami Al Qur’an
dan Hadits.
Untuk dapat menggali sendiri dari Al Qur’an dan Hadits maupun memahami
perkatan ulama Salaf yang Sholeh tidak cukup dengan makna dzahir yakni
dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja
sebagaimana umumnya mereka yang bersandar pada muthola’ah, menelaah
kitab namun dibutuhkan kompetensi seperti
a. Mengetahui dan menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena
al-Quran dan as-sunnah diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan
balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung
hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasainya bukan
hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa
arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak,
bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan
as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan
as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz
dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada
yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada
majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. Semua itu masing-masing
mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d. Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab
an-nuzul dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad,
baik dalam al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan
yang lainnya dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Berikut adalah akibat-akibat yang ditimbulkan dikarenakan mereka
memahami Al Qur'an dan Hadits serta perkataan ulama-ulama yang sholeh
terdahulu dengan makna dzahir atau yang kami namakan pemahaman dengan
metodologi “terjemahkan saja” berdasarkan arti bahasa (lughot) dan
istilah (terminologi).
1. Dengan makna dzahir mereka tidak dapat memahami
dengan baik hadits "Kullu bid'ah" sebagaimana yang telah kami uraikan
dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/10/tinjauan-kullu-bidah/
sehingga karena kesalahpahaman mereka tentang bid’ah boleh jadi dapat
terjerumus menjadi ahli bid’ah.
2. Dengan makna dzahir mereka akan menemukan pertentangan contohnya memahami dua hadits berikut
Hadits pertama
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ
وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ
عَمْرٍو يَعْنِي ابْنَ دِينَارٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَوْسٍ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو بَكْرٍ يَبْلُغُ بِهِ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي حَدِيثِ زُهَيْرٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ
الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ يَمِينٌ الَّذِينَ
يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Zuhair bin
Harb dan Ibnu Numair mereka berkata; telah menceritakan kepada kami
Sufyan bin 'Uyainah dari 'Amru -yaitu Ibnu Dinar- dari 'Amru bin Aus
dari Abdullah bin 'Amru, -dan Ibnu Numair dan Abu Bakar mengatakan
sesuatu yang sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan dalam
haditsnya Zuhair- dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Orang-orang yang berlaku adil berada di sisi Allah di atas
mimbar (panggung) yang terbuat dari cahaya, di sebelah kanan Ar Rahman
'azza wajalla -sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua-, yaitu
orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil
dalam melaksanakan tugas yang di bebankan kepada mereka." (HR Muslim
3406)
Contoh pemahaman mereka terhadap hadits di atas dapat kita ketahui dari
apa yang terurai dalam tulisan pada
http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/
Hadits kedua
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطْوِي اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ السَّمَاوَاتِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُهُنَّ بِيَدِهِ الْيُمْنَى ثُمَّ يَقُولُ أَنَا
الْمَلِكُ أَيْنَ الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ ثُمَّ يَطْوِي
الْأَرَضِينَ بِشِمَالِهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ
الْجَبَّارُونَ أَيْنَ الْمُتَكَبِّرُونَ
Abdullah bin ‘Umar dia berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda: ‘Pada hari kiamat kelak, Allah Subhanahu wa
Ta’ala akan melipat langit. Setelah itu, Allah akan menggenggamnya
dengan tangan kanan-Nya sambil berkata: ‘Akulah Sang Maha Raja. Di
manakah sekarang orang-orang yang selalu berbuat sewenang-wenang? Dan di
manakah orang-orang yang selalu sombong dan angkuh? ‘ Setelah itu,
Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya sambil berkata: ‘Akulah
Sang Maha Raja. Di manakah sekarang orang-orang yang sering berbuat
sewenang-wenang? Di manakah orang-orang yang sombong? “ (HR Muslim
4995).
Dengan makna dzahir maka mereka akan menemukan pertentangan, hadits pertama makna dzahirnya adalah "sedangkan kedua tangan Allah adalah kanan semua" sedangkan hadits kedua makna dzahirnya adalah “setelah itu, Allah akan melipat bumi dengan tangan kiri-Nya"
Firman Allah Azza wa Jalla,
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ اخْتِلاَفاً كَثِيراً
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya
Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa 4 : 82)
Firman Allah ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa
dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an maupun Hadits. Jikalau
manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maupun
hadits maka pastilah yang salah adalah pemahaman mereka.
3. Dengan makna dzahir mereka dapat bersifat radikal
atau eksterimisme bahkan terorisme seperti pelaku bom bunuh diri.
Contohnya ketika mereka salah memahami ayat Al Qur'an berikut
Firman Allah ta'ala yang artinya
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah
orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah
mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian”. (QS At Taubah [9]:5)
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu; dan fitnah” (QS Al
Baqarah [2]:191)
4. Dengan makna dzahir mereka tidak dapat memahami
kitab-kitab ulama tasawuf karena kitab-kitab tersebut ditulis dalam
bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi,
pengertiannya luas , dalam dan penuh dengan hikmah. Disamping itu mereka
terhasut dengan potongan-potongan perkataan-perkataan ulama tasawuf
yang ditempatkan bukan pada tempatnya atau disembunyikan maksud tujuan
perkataan tersebut.
Contoh hasutan, mereka menyampaikan bahwa Al-Imam Al-Baihaqi
rahimahullahu meriwayatkan dengan sanadnya sampai Al-Imam Asy-Syafi’i
rahimahullahu: “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Penjelasan telah kami sampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/apakah-tasawuf/
5. Dengan makna dzahir mereka memandang kaum muslim
yang melakukan ziarah kubur sambil bertabarruk dan bertawassul dengan
ahli kubur yang telah meraih maqom disisiNya sebagai penyembah kuburan
dan mereka menjulukinya dengan kuburiyyun. Contohnya terurai dalam
syarah Qawaidul Arba’ yang ditulis oleh ulama Sholih Fauzan Al-Fauzan
pada halaman 28. Silahkan baca pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2012/03/pemahaman-tauhid-maw.pdf
Ulama yang sholeh dari kalangan Ahlul Bait, keturunan cucu Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang
tua-orang tua mereka terdahulu yang tersambung kepada Imam Sayyidina
Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam seperti Habib Munzir Al Musawa mengatakan,
***** awal kutipan *****
“Tak ada ulama salaf yang sholeh yang membedakan antara tawassul pada
yang hidup dan mati, karena tawassul adalah berperantara pada kemuliaan
seseorang, atau benda (seperti air liur yang tergolong benda) dihadapan
Allah, bukanlah kemuliaan orang atau benda itu sendiri, dan tentunya
kemuliaan orang dihadapan Allah tidak sirna dengan kematian.
Justru mereka yang membedakan bolehnya tawassul pada yang hidup saja
dan mengharamkan pada yang mati, maka mereka itu malah dirisaukan akan
terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi
manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang mati
tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah memuliakannya,
bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah,
berarti si hidup itu sebanding dengan Allah??, si hidup bisa berbuat
sesuatu pada keputusan Allah??
Tidak saudaraku.. Demi Allah bukan demikian, Tak ada perbedaan dari
yang hidup dan dari yang mati dalam memberi manfaat kecuali dengan izin
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang hidup tak akan mampu berbuat terkecuali dengan izin Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan yang mati pun bukan mustahil memberi manfaat
bila memang di kehendaki oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketahuilah bahwa pengingkaran akan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala
atas orang yang mati adalah dirisaukan terjebak pada kekufuran yang
jelas, karena hidup ataupun mati tidak membedakan kodrat Ilahi dan tidak
bisa membatasi kemampuan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap abadi walau mereka telah wafat”
***** akhir kutipan *****
Mereka telah mencela kaum muslim yang melakukan ziarah kubur sambil
bertabarruk dan bertawassul dengan ahli kubur yang telah meraih maqom
disisiNya sebagai penyembah kuburan atau dengan panggilan (julukan)
kuburiyun
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apakah dengan panggilan-panggilan jahiliyah, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian?.” Lalu beliau membacakan Ali Imron ayat 103 yang artinya, ‘Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah,
dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu
semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara
hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara sedangkan kamu diatas tepi
jurang api neraka, maka Allah mendamaikan antara hati kamu. Demikianlah
Allah menjelaskan ayat ayatnya agar kamu mendapat petunjuk”
Mereka tidak dapat merasakan kehadiran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di tengah-tengah kita
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam walupun secara dzahir telah
wafat, pada hakikatnya tetap berada di tengah tengah kaum muslim.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.
“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian.
Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian
disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji
Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada
Allah buat kalian.”
Dengan julukan-julukan seperti itu mereka tidak takut atas pengawasan Allah ta'ala yang tidak pernah tidur
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)
Kaum Muslim yang meyakini dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla atau
kaum muslim yang bermakrifat atau dapat melihat Allah Azza wa Jalla
dengan hatinya (ain bashiroh) maka ia mencegah dirinya dari melakukan
sesuatu yang dibenciNya, mencegah dirinya dari perbuatan maksiat,
mencegah dirinya dari melakukan perbuatan keji dan mungkar. Sehingga
terwujud dalam berakhlakul karimah
Tujuan beragama adalah menjadi muslim yang baik, muslim yang sholeh,
muslim yang berakhlakul karimah, muslim yang ihsan, muslim yang
bermakrifat yakni muslim yang menyaksikan Allah dengan hatinya (ain
bashiroh).
Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).
Firman Allah ta’ala yang artinya,
“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)
Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah
menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh
karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda
kepada Allah”
Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara
syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar manusia tidak rusak dan
menjadi manusia berakhlak baik
Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia
yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak
keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat)
tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan
keduanya terjamin benar“
Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai
ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan
perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih
sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim
yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan
Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya)
,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya
mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin
memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih
(menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak
dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani
tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka
bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i,
hal. 47]
Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada
putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada
hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya
kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.”
Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan
mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai
anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa
memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak,
muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)”
Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih
utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka
sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah
mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”
Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran
tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai,
mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk
di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari
pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah
saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Abu Bakar ra berkata, “Orang-orang saleh itu akan dicabut satu
persatu, sehingga manusia hanya tinggal yang fasik saja, seperti serbuk
kurma dan gandum. Allah sudah tidak peduli lagi terhadap mereka“
Semakin akhir zaman maka semakin sedikit atau semakin asing muslim yang
mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim yang ihsan,
muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan
hati mereka (ain bashiroh).
“Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika
manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang
buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Islam pada awalnya asing diantara manusia yang berakhlak buruk (non
muslim / jahiliyah) dan pada akhirnya akan asing atau semakin sedikit
muslim yang mencapai maqom disisiNya atau muslim yang sholeh, muslim
yang ihsan, muslim yang bermakrifat, muslim yang menyaksikan Allah
ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh).
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar
semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan
kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari
Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)
Wassalam (Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830)
0 komentar:
Posting Komentar