Pada poin ini, kita akan membahas tentang
ungkapan-ungkapan kaum Salafi & Wahabi yang mengandung tipu daya
dan telah banyak meyakinkan orang-orang awam agar mengikuti ajaran
mereka. Ungkapan-ungkapan itu memang bukan ayat al-Qur’an maupun hadis,
tetapi secara logika semata, ungkapan tersebut tidak bisa ditolak begitu
saja, padahal bila dikaitkan dengan pembahasan-pembahasan sebelum ini
maka semuanya akan tertolak mentah-mentah. Di antara ungkapan-ungkapan
itu adalah:
1. “Seandainya
apa yang diada-adakan sepeninggal mereka (Rasulullah Saw. dan para
shahabatnya) itu baik, tentu mereka yang lebih dahulu mengerjakannya” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 73).
Ungkapan ini sama sekali tidak bisa dianggap benar,
karena hanya mengandai-andai. Pada kenyataannya, perkara-perkara baru
seperti peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang sepertinya memang
mengandung banyak kebaikan, dan hal itu ditakdirkan Allah baru ada
setelah ratusan tahun Rasulullah Saw. wafat.
Untuk menjawab ungkapan berandai-andai di atas, kita juga bisa berkata seperti mereka, “Seandainya acara Maulid atau tahlilan itu buruk, tentu Rasulullah Saw. telah menyebutkan larangan melakukannya dengan jelas” . Ternyata Rasulullah Saw. hanya melarang bid’ah,
bukan Maulid atau tahlilan. Beliau juga tidak menyebutkannya sebagai
amalan-amalan yang merupakan dosa besar seperti syirik, zina, durhaka
kepada orang tua, lari dari medan perang, dan lain sebagainya. Apa yang
menghalangi beliau untuk menyebutkannya bila memang beliau tahu hal itu
buruk atau sesat, atau merupakan dosa besar? Pantaskah beliau
menyembunyikannya?
2. “Tak layak bagi orang yang berakal untuk tertipu dengan banyaknya orang yang mengerjakan perbuatan tersebut (Maulid-red) di seluruh penjuru dunia. Sebab, al-haq (kebenaran) tidak diketahui dari banyaknya yang mengerjakannya” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 10).
Dengan pernyataan ini, sepertinya mereka lupa, bahwa yang banyak melakukannya (Maulid) di seluruh penjuru dunia bukan cuma masyarakat Islam yang awam. Kenyataan itu juga menunjukkan bahwa di seluruh penjuru dunia ada banyak pula para ulama Islam
yang menerima acara Maulid sebagai suatu kegiatan positif dalam
pandangan agama, dan merekalah yang mengajak umat untuk mengamalkan dan
melestarikannya. Para ulama itu bahkan banyak yang menulis kitab khusus
berkenaan dengan acara Maulid.
Berarti, mayoritas ulama dan umat Islam menganggap
acara Maulid itu positif, kecuali segelintir ulama Salafi & Wahabi
beserta sejumlah kecil para pengikutnya. Jadi, lebih baik mana, pendapat
mayoritas ulama atau pendapat segelintir ulama? Bukankah hadis mutawatir (yang diriwayatkan banyak orang) lebih kuat status keotentikan dan kebenarannya di bandingkan dengan hadis aahaad (yang diriwayatkan oleh satu atau beberapa orang saja)?
Al-Haq (kebenaran) tentang suatu amalan
memang tidak didasarkan pada banyak atau sedikitnya orang yang
melakukan, tetapi pendapat mayoritas ulama tentang kebaikan amalan itu
adalah jalan yang lebih selamat dan paling logis untuk mencapai
kebenaran tersebut. Sementara sikap atau pandangan segelintir orang yang
berbeda dari mayoritas umat Islam, lebih pantas dibilang sebagai suatu
keganjilan atau kelainan. Karena yang biasa terjadi adalah, mayoritas siswa di suatu sekolah berhasil lulus ujian kecuali segelintir siswa saja. Sungguh sangat aneh bila yang terjadi, mayoritas siswa di sekolah itu tidak lulus ujian kecuali segelintir siswa saja.
Bila mereka katakan, “yang banyak belum tentu benar”, maka karena kebenaran hakiki hanya Allah yang tahu, kita katakan kepada mereka, “bila
yang banyak belum tentu benar, maka yang sedikit lebih jauh lagi
kemungkinannya untuk benar. Tetapi yang banyak lebih aman dan lebih
selamat daripada yang sedikit”.
3. “Jelaslah bahwa Islam adalah sempurna, mencakup segala aspek kehidupan, tidak perlu ditambah dan tidak boleh dikurangi” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 20). “Mengada-adakan
hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid, berarti beranggapan
bahwa Allah Swt. belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 8).
Islam memang sudah sempurna, siapapun orang Islamnya
pasti meyakini itu. Bila orang melakukan suatu amalan yang mengandung
kebaikan (seperti Maulid atau yang lainnya) dianggap menambah agama atau
beranggapan bahwa Allah belum menyempurnakan agama-Nya, maka itu hanyalah fitnah dan tuduhan yang diada-adakan oleh kaum Salafi & Wahabi.
Karena, baik yang merintis maupun yang melakukan amalan tersebut tidak
pernah berpikir begitu, mereka hanya fokus pada pelaksanaan suatu amalan
kebajikan atau amal shaleh yang bermanfaat bagi banyak orang. Sungguh aneh memang, mereka yang menuduh, lalu mereka pula yang menyalahkan!
4. “Melakukan
amalan seperti peringatan Isra’ & Mi’raj atau yang lainnya adalah
sia-sia dan tidak ada pahalanya, karena Rasulullah Saw. tidak pernah
menyuruh atau tidak pernah mengerjakannya” (Ceramah agama di Radio Roja’ AM 726 Mhz.).
Ungkapan yang ini lebih aneh lagi, karena: 1.
Allah Swt. dan Rasulullah Saw. tidak pernah menyatakan bahwa melakukan
amalan seperti peringatan Maulid atau Isra’ & Mi’raj itu sia-sia dan
tidak ada pahalanya 2. Pahala itu milik Allah dan
hanya Dia yang berwenang untuk memberikannya atau tidak memberikannya,
bukan milik kaum Salafi & Wahabi. 3. Setiap amalan
yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau
tidak lantas berarti terlarang, kecuali bila beliau jelas-jelas
menyebutkan larangannya secara khusus, dan ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama.
Jadi, bila mereka menyatakan acara Maulid, Isra &
Mi’raj, tahlilan, dan lain sebagainya itu sia-sia dan tidak ada
pahalanya, maka mereka harus mendatangkan dalil yang menyebutkannya
dengan jelas. Bila tidak ada dalilnya, atau hanya dalil umum
(sebagaimana kebiasaan mereka) yang mereka ajukan, maka berarti mereka
telah melakukan bid’ah sesat, karena telah berfatwa bahwa orang
yang hadir di acara tersebut di mana mereka melakukan silaturrahmi,
membaca dan mendengarkan al-Qur’an, berzikir, bershalawat, mendengarkan
nasihat ulama, memuliakan dan mengenang Rasulullah Saw., berdo’a, dan
berbagi rezeki, sama sekali tidak mendapat pahala!
Rupanya, sifat bakhil kaum Salafi &
Wahabi ini sudah keterlaluan. Pelit terhadap milik sendiri adalah sikap
tercela, dan lebih tercela lagi pelit terhadap milik orang lain. Dan
amat sangat lebih tercela lagi bila pelit terhadap milik Allah. Apakah
Allah harus minta persetujuan mereka untuk memberi pahala kepada
hamba-Nya??!
Tentang amalan yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah
Saw., maka para ulama kaum muslimin dari masa dulu mupun belakangan, di
Timur maupun di Barat, telah sepakat bahwa “hal meninggalkan” itu
bukanlah suatu prinsip atau konsep untuk menyimpulkan hukum secara
tersendiri. Tentang ini, Syaikh al-’Allamah as-Sayyid Abdullah bin
Shiddiq al-Ghumari telah menulis sebuah risalah yang ia beri judul “Husnu at-Tafahhum wa ad-Daraki li Mas’alati at-Tarki” (Pemahaman
& Pengetahuan yang baik untuk masalah “Meninggalkan”). Beliau
memulainya dengan beberapa bait puisi yang indah, yang berbunyi:
Meninggalkan suatu amalan bukan hujjah dalam syari’at kitaDan ia tidak bermakna pelarangan ataupun kewajibanSiapa yang melarang suatu perbuatan dengan alasan Nabi meninggalkannyaKemudian berpendapat itulah hukum yang benar dan tepatSungguh dia telah menyimpang dari seluruh dalil-dalilBahkan keliru dalam memutuskan hukum yang shahih, dan dia telah gagalTidak ada pelarangan kecuali pelarangan yang diiringiDengan ancaman siksa bagi pelanggarnyaAtau kecaman terhadap suatu perbuatan, dan disertai bentuk sanksi yang pastiAtau lafaz mengharamkan untuk perkara tercela.
(Lihat Kupas Tuntas Ibadah-ibadah Diperselisihkan, Syaikh Ali Jum’ah –Mufti Mesir–, Duha Khazanah, Cikarang, 2007, hal 235-236)
0 komentar:
Posting Komentar