
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه واستقرار عليه
(Artinya; Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy itu sendiri dan tanpa bertempat di atasnya).
Perhatikan manuskrip kitab al Washiyyah ini:

Namun dalam cetakan kaum Wahabi tulisan Imam Abu Hanifah tersebut dirubah menjadi:
استوى على العرش من غير أن يكون احتياج إليه واستقر عليه
Maknanya berubah total menjadi: ”Dia Allah Istawâ atas arsy dari tanpa membutuhkan kepada arsy, dan Dia bertempat di atasnya”.
Anda perhatikan dengan seksama cetakan kaum Wahabi berikut ini:

Padahal,
sama sekali tidak bisa diterima oleh akal sehat, mengatakan bahwa Allah
tidak membutuhkan kepada arsy, namun pada saat yang sama juga mengatakan
bahwa Allah bertempat di atas arsy.
Yang paling mengherankan ialah bahwa dalam buku cetakan mereka ini, manuskrip risalah al-Imâm
Abu Hanifah tersebut mereka sertakan pula. Dengan demikian, baik
disadari oleh mereka atau tanpa disadari, mereka sendiri yang telah
membuka ”kedok” dan “kejahatan besar” yang ada pada diri mereka, karena
bagi yang membaca buku ini akan melihat dengan sangat jelas kejahatan
tersebut.
Anda
tidak perlu bertanya di mana amanat ilmiah mereka? Di mana akal sehat
mereka? Dan kenapa mereka melakukan ini? Karena sebenarnya itulah
tradisi mereka. Bahkan sebagian kaum Musyabbihah mengatakan bahwa
berbohong itu dihalalkan jika untuk tujuan mengajarkan akidah tasybîh mereka. A’ûdzu Billâh. Inilah tradisi dan ajaran yang mereka warisi dari “Imam” mereka, “Syaikh al-Islâm”
mereka; yaitu Ahmad ibn Taimiyah, seorang yang seringkali ketika
mengungkapkan kesesatan-kesesatannya lalu ia akan mengatakan bahwa hal
itu semua memiliki dalil dan dasar dari atsar-atsar para ulama
Salaf saleh terdahulu, padahal sama sekali tidak ada. Misalkan ketika
Ibn Taimiyah menuliskan bahwa “Jenis alam ini Qadim; tidak memiliki
permulaan”, atau ketika menuliskan bahwa “Neraka akan punah”, atau
menurutnya “Perjalanan (as-Safar) untuk ziarah ke makam
Rasulullah di Madinah adalah perjalanan maksiat”, atau menurutnya “Allah
memiliki bentuk dan ukuran”, serta berbagai kesesatan lainnya, ia
mengatakan bahwa keyakinan itu semua memiliki dasar dalam Islam, atau ia
berkata bahwa perkara itu semua memiliki atsar dari para ulama
Salaf saleh terdahulu, baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan
tabi’in, padahal itu semua adalah bohong besar. Kebiasaan Ibn Taimiyah
ini sebagaimana dinyatakan oleh muridnya sendiri; adz-Dzahabi dalam dua
risalah yang ia tulisnya sebagai nasehat atas Ibn Taimiyah, yang pertama
an-Nashîhah adz-Dzhabiyyah dan yang kedua Bayân Zaghl al-‘Ilm Wa ath-Thalab.
Sesungguhnya
memang seorang yang tidak memiliki senjata argumen, ia akan berkata
apapun untuk menguatkan keyakinan yang ia milikinya, termasuk melakukan
kebohongan-kebohongan kepada para ulama terkemuka. Inilah tradisi ahli
bid’ah, untuk menguatkan bid’ahnya, mereka akan berkata: al-Imam Malik
berkata demikian, atau al-Imam Abu Hanifah berkata demikian, dan
seterusnya. Padahal sama sekali perkataan mereka adalah kedustaan
belaka.
Dalam al-Fiqh al-Akbar, al-Imam Abu Hanifah menuliskan sebagai berikut:
“Dan sesungguhnya Allah itu satu bukan dari segi hitungan, tapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, tidak ada suatu apapun yang meyerupai-Nya. Dia bukan benda, dan tidak disifati dengan sifat-sifat benda. Dia tidak memiliki batasan (tidak memiliki bentuk; artinya bukan benda), Dia tidak memiliki keserupaan, Dia tidak ada yang dapat menentang-Nya, Dia tidak ada yang sama dengan-Nya, Dia tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya, dan tidak ada suatu apapun dari makhluk-Nya yang menyerupainya” (Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan Syarh-nya karya Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 30-31).
Masih dalam al-Fiqh al-Akbar, Al-Imam Abu Hanifah juga menuliskan sebagai berikut:
وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.“Dan kelak orang-orang mukmin di surga nanti akan melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Mereka melihat-Nya tanpa adanya keserupaan (tasybih), tanpa sifat-sifat benda (Kayfiyyah), tanpa bentuk (kammiyyah), serta tanpa adanya jarak antara Allah dan orang-orang mukmin tersebut (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan atau-pun samping kiri)”” ( Lihat al-Fiqh al-Akbar dengan syarah Syekh Mulla Ali al-Qari, h. 136-137).
Pernyataan
al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid.
Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah
dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut di
dalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh
dikatakan bagi-Nya “di dalam” atau “di luar”. Dia bukan benda, Dia ada
tanpa tempat dan tanpa arah. Inilah yang dimaksud oleh Al-Imam Abu
Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa tasybih, tanpa
Kayfiyyah, dan tanpa kammiyyah.
Pada bagian lain dari Syarh al-Fiqh al-Akbar, yang juga dikutip dalam al-Washiyyah, al-Imam Abu Hanifah berkata:
ولقاء الله تعالى لأهل الجنة بلا كيف ولا تشبيه ولا جهة حق“Bertemu dengan Allah bagi penduduk surga adalah kebenaran. Hal itu tanpa dengan Kayfiyyah, dan tanpa tasybih, dan juga tanpa arah” (al-Fiqh al-Akbar dengan Syarah Mulla ‘Ali al-Qari’, h. 138).
Kemudian pada bagian lain dari al-Washiyyah, beliau menuliskan:
وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا.“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy. Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia? (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70).
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu” (Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).
Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat. Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya. Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir. Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).
Wa Allah A’lam Bi ash Shawab,
Wal Hamdu Lillah Rabb al Alamin,
0 komentar:
Posting Komentar