Di kalangan masyarakat kita,
ketika ada orang meninggal dunia, dan dimakamkan, maka dibacakan
talqin, yaitu sebuah tuntunan kepada si mayit agar mudah menjawab
pertanyaan-pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir. Tradisi ini berlaku
hampir di seluruh negara Islam yang menganut faham Ahlussunnah
Wal-Jama’ah. Ada dialog menarik seputar talqin ini, yang diceritakan
oleh teman saya, Ustadz Syafi’i Umar Lubis dari Medan. Ia bercerita begini:
Sekitar bulan Maret 2010 ada seorang
mahasiswa IAIN Sumatera Utara yang kos di salah satu sudut kota Medan.
Tiap malam rabu ia belajar mengaji bersama kami didaerah Sunggal. Waktu
itu kitab yang dibaca adalah kitab al-Tahdzib fi Adillat al-Ghayah wa al-Taqrib, karya Musthafa Dibul Bugha. Mahasiswa
ini sangat resah dengan keberadaan ponakannya yang belajar di Pondok
As-Sunnah, sebuah pesantren yang diasuh oleh orang-orang Wahhabi.
Sepertinya anak itu telah termakan racun ajaran Salafi. Mahasiswa itu
berjanji membawa keponakannya ke Majelis Ta’lim kami di Sunggal. Pada
malam yang ditentukan datanglah mereka, bersama keponakannya itu, sebut
saja dengan inisial X.
Setelah mereka berkumpul, saya bertanya, kira-kira apa yang akan kita diskusikan?
X menjawab, “Banyak Ustadz, antara lain soal Talqin dan bid’ah”.
Saya bertanya, “Apa yang kita masalahkan dengan bid’ah itu?”
X menjawab, “Ini Ustadz, bid’ah itu kan dosa dan pelakunya diancam siksa dalam banyak hadist” Demikian X itu menjawab.
Saya tanya, “Benar, kita sepakat bid’ah
itu sebuah ancaman dan membahayakan sekali. Tapi perlu diingat, bid’ah
itu tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari nama Islam alias Murtad.
Bid’ah itu ada kalanya berkaitan dengan aqidah, kadang dengan ibadah.
Kamu tahu enggak apa itu Bid’ah?”
X menjawab,
“Sebagaimana yang kami pelajari, bid’ah itu ialah segala sesuatu yang
menyangkut ibadah yang tidak ada di zaman Nabi dan dilakoni oleh Nabi
dan Salafus Sholeh, seperti Talqin, Madzhab, Ushalli dan lain sebagainya.”
Saya berkata, “Definisi bid’ah seperti itu siapa yang membuatnya? Nabi, atau Sahabat, dan atau Tabiin?”
X menjawab, “Itu rangkuman pemikiran saya saja.”
Saya berkata, “Kalau begitu definisi
bid’ah menurut Anda itu kan tidak ada penjelasannya dari Nabi. Nah
definisi Anda itu juga Bid’ah, kan definisi anda itu bukan keluar dari
ucapan Nabi. Ok..? Ini sesuai yang Anda katakan.”
Mendengar umpan saya, X terdiam. Kemudian ia berkata, “Lalu bagaimana dengan hadisi “Man Ahdasta Fii Amrina haza Fahuwa Roddun“.
Saya balik bertanya, “Kenapa dengan Hadist itu?”
X berkata, “Hadist ini secara tegas menyingkap apa itu bid’ah.”
Saya berkata, “Benar, tapi perlu dicermati maksud kalimat, man ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu. Menurut pemahaman Anda bagaimana dengan kalimat itu?”
X menjawab: “Menurut saya pokoknya menciptakan Ibadah baru itu Bid’ah!!.”
Saya berkata: “Kalau begitu Anda memahami hadist itu pakai kacamata kuda dong. Saya bertanya, apa arti ma laisa mihu dalam hadits tersebut? Tolong Anda jelaskan tiga kata ini.”
Ternyata X hanya terdiam tidak bisa menjawab.
Saya berkata: “Saudara, kata ahdatsa
dalam hadits tersebut bermakna menciptakan sesuatu yang baru yang belum
pernah ada sebelumnya. Sedangkan kata fi amrina, bermakna sesuatu yang
merupakan urusan Agama kami, maksudnya suatu hal yang baru yang
berkaitan dengan agama. Sedangkan kata ma laisa mihu, bermakna sesuatu
yang tidak ada dalilnya secara langsung atau tidak langsung dari agama.
Nah demikian itu baru dihukumi bid’ah. Makanya al-Imam al-Nawawi dalam
Kitab al- Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab menyatakan bahwa bid’ah
adalah sesuatu urusan yang baru dalam agama yang tidak ada dalilnya.
Dalil-dalil itu adalah al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Selama masih
ada dalilnya dari salah satu yang empat tersebut, maka itu bukan bid’ah.
Anda kalau zakat fitrah pake apa? Seharusnya mesti pakai korma dong.
Rasul SAW mengatakan tidak pernah pakai beras.
Rasul tidak mempraktekkan zakat fitrah
pakai beras. Pakai beras itu Qiyas dari korma dan gandum. Jadi kalau
tidak menggunakan Qiyas, tentu saja Islam ini sempit sekali. Demikian
pula masalah Takhtim, Tahlil yang selalu diamalkan masyarakat kita,
isinya adalah pembacaan al Qur’an, Tahlil dengan kalimat Laa lllaha
lllalloh, Sholawat, lalu doa. Saya tanya Anda. “Apakah ada larangan
membaca itu semua, baik menurut al-Qur’an dan hadist?”
Mendengar pertanyaan saya, X menjawab: “Tidak ada.”
Saya berkata: “Apakah ada perintah membaca itu semua menurut al-Qur’an dan hadist secara umum?”
X menjawab: “Ada.”
Saya bertanya: “Adakah larangan Allah dan Rasul untuk berdzikir, baca al-Qur’an dan lain sebagainya itu?”
X menjawab:” Tidak ada.”
Saya berkata: “Nah! Kan tidak ada
larangan. Sementara pengamalan tersebut ada sanjungan dari Allah dan
Rasul, maka itu bukanlah bid’ah yang terlarang atau sesat. Anda faham!”
X menjawab: “Emangnya apa sanjungan Allah dan Rasul-Nya?”
Saya menjawab: “Lho…!! Tidakkah pernah saudara dengar sebuah hadist shahih yang artinya, ‘Tidaklah
sekelompok orang yang duduk sambil berzikir kepada Allah kecuali para
malaikat akan mengelilinginya, rahmat kasih sayang Allah akan
meliputinya, ketenangan akan diturunkan kepadanya dan Allah akan
menyebut-nyebut mereka dihadapan makhluk yang ada disisiNya”. (HR Ahmad,
Muslim, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibnu Abi Syaibah dan al-Baihaqi dari
Abi Hurairah dan Abi Sa’id al- Khudri). Dalam hadist ini atau hadist lain tidak pernah ada larangan, kecuali ditempat-tempat kotor seperti di WC dan semacamnya.”
Mendengar penjelasan saya, X terdiam. Kemudian ia angkat bicara: “Bagaimana masalah Talqin? Bukankah itu Bid’ah?”
Saya menjawab: “Begini saja supaya
jelas. Lalu saya berdiri dan mengambil spidol dan menuliskan di
Whiteboard, “TALQIN MAYIT BUKAN BID’AH TAPI KHILAFIAH” dan saya tanda
tangani. Lalu saya suruh ia untuk menuliskan kalimat tandingan dari
pernyataan saya.
Lalu iapun menuliskan “TALQIN MAYIT ADALAH BIDAH” dan ditanda tanganinya.
Lalu saya bertanya : “Kalau Talqin mayit adalah bid’ah berarti pelakunya diancam siksa?”
X menjawab: “Ya.”
Saya bertanya: ‘Yang mengatakan bahwa talqin mayit itu bid’ah, siapa?”
Dengan semangat, X yang masih anak muda itu mengatakan: “Syaikhul Islam Ibn Taimiyah.”
Mendengar jawaban itu, saya pun
mengambil kitab Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah. Lalu saya
berkata: “Ini kitab Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah.” Sambil menunjukkan
kepada hadirin semua, halaman 242 jilid 1, yang isinya adalah:
فأ جاب ….هذا التّلقين
المذكور قد نقل عن طائفة من الصّحابة أنّهم أمروا به. كأبي أمامة
الباهليّ وغيره ….فلهذا قال الامام احمد وغيره من العلماء : انّ هذا
التّلقين لا بأس به. مجموع فتاوى ابن تيمية ١/٢٤٢
“Talqin yang tersebut ini (talqin
setelah mayit dikuburkan) telah diriwayatkan dari segolongan sahabat
bahwa menka memerintahkannya seperti Abi Umamah al-Bahili sertu beberapa
sahabat lainnya, oleh karena ini al-lmam Ahmad bin Hanbal dan para
ulama yang lain mengatakan bahwa sesungguhnya talqin mayit ini tidak
apa-apa untuk diamalkan…” (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, juz 1 hal. 242).
Nah, Ibn Taimiyah tidak mengatakan bahwa
talqin itu bid’ah, malah menyatakan ada dalilnya bahwa talqin itu
dilakukan oleh sebagian Sahabat. Yang jelas ini masalah Khilafiah bukan
masalah bid’ah!!!”
Mendengar penjelasan saya, X pun terdiam. Tidak lama kemudian, ia pamitan pulang.“
Demikian kisah dialog publik antara Ustady Syafi’i Umar Lubis dari Medan Sumatera Utara dengan pemuda Wahabi.
(Oleh: Ust. Muhammad Idrus Ramli)
0 komentar:
Posting Komentar