Dalam
sejarah perjuangan Wahabi, tidak satu pun mereka melakukan perjuangan
menentang orang-orang Yahudi dan Kristen yang kala itu datang menjajah
Negara-negara muslim dan berupaya menghancurkan khilafah Islamiyah Turki
Utsmani. Perjuangan mereka hanya dipenuhi dengan air mata dan darah
umat Islam melalui berbagai penyerangan dan pembunuhan yang mereka
lakukan kepada penduduk Makah, Thaif, Madinah, Riyad, Qatar, Bashrah,
Karbala, Nejef, Qum, Omman, Kuwait, negeri-negeri Syam, dan
negeri-negeri Islam lainnya. Namun ironisnya, mereka merasa bangga
dengan perjuangan membunuh umat Islam itu, sebagaimana terangkum dalam
buku-buku sejarah resmi milik mereka. Perbuatan seperti ini adalah
akidah teroris. Islam tidak pernah mengajarkan demikian. Inilah bid’ah
sesungguhnya.
Ada
beberapa efek samping yang dikhawatirkan dari keberadaan faham keras
Salafi Wahabi ini terkait sikap umat Islam. Secara garis besarnya ada
tiga kemungkinan, yaitu: Pertama, akan dapat mengakibatkan seseorang
kafir atau keluar dari Islam, karena menolak akidah yang dianggapnya
sesat ini, jika dia meyakini bahwa ajaran itu benar-benar
mempresentasikan Islam itu sendiri. Kedua, jika dia tidak meyakini bahwa
ajaran itu dari Islam, maka dia akan menolak faham Salafi Wahabi ini.
Efek selanjutnya yang mungkin berkembang adalah, bisa jadi orang
tersebut akan membenci dan antipasti terhadap Salafi Wahabi, sehingga
perpecahan umat kian meruncing. Ketiga, bisa jadi seseorang justru
menjadi pendukung dan pengikut setia Salafi Wahabi, untuk kemudian
mengamalkan ajarannya. Yang ketiga ini pun akan menjadi bumerang dalam
tubuh umat Islam, karena ada ‘perebutan’ pengikut. Selain itu, menjadi
lengkaplah ketika tidak ada titik temu antara ajaran Salafi Wahabi
dengan ajaran umat Islam mayoritas. Oleh karena itu, para ulama harus
segera menyikapi fenomena Salafi Wahabi ini.
Bukan
hanya tega membunuh umat Islam, para pengikut Salafi Wahabi pun
merampas harta orang-orang muslim yang mereka bunuh. Bahkan mereka pun
berani menyerbu tanah suci Makah dan Madinah. Mereka membunuh para
syaikh dan orang awam yang tidak bersedia masuk Islam. Perhiasan dan
perabotan mahal nan indah –yang telah disumbangkan oleh para raja dan
pangeran dari seluruh dunia Islam untuk memperindah Masjidil Haram,
makam Nabi saw., makam-makam para wali dan orang-orang shaleh di seputar
Makah dan Madinah– dicuri dan dibagi-bagikan di antara mereka, para
tokoh Wahabi. Maka, pada tahun 1804 M, Makah pun jatuh ke tangan Wahabi.
Setelah
menguasai Makah, pada akhir bulan Dzulqa’dah 1220 H, mereka juga
berhasil menguasai kota Madinah. Setibanya di Madinah, mereka melabrak
dan menggeledah rumah Nabi saw., lalu mengambil semua harta benda yang
ada di dalamnya, termasuk lampu dan tempat air yang terbuat dari emas
dan perak yang dihiasi permata dan zamrud yang tidak ternilai harganya.
Di sana mereka melakukan beberapa perbuatan keji dan sadis, sehingga
menyebabkan banyak dari kalangan ulama melarikan diri. Kemudian, mereka
menghancurkan semua kubah di Pekuburan Baqi, seperti kubah Ahlul Bait
(istri-istri Nabi, anak dan keturunannya) serta pekuburan kaum muslimin.
Mereka mencoba untuk memusnahkan kubah makam baginda Rasulullah saw.,
namun ketika mereka melihat di kubah tersebut terdapat lambang bulan
sabit yang mereka sangka terbuat dari emas murni, mereka mengurungkan
niatnya. Sungguh Mahasuci Allah yang telah memalingkan mereka dari
perbuatan keji dan melampaui batas itu.
Selama
Wahabi berkuasa di Jazirah Arab, sudah terlalu banyak perpustakaan
Islam yang mereka bumi-hanguskan dan mereka bakar buku-bukunya, seperti
pembakaran kitab-kitab para ulama klasik ketika mereka memasuki kota
Makah. Di antara buku-buku yang dibakar itu adalah kitab Dalail
al-Khairat, Raudh ar-Rayyahin, buku-buku- mantiq, tasawuf, akidah, dan
lainnya yang tidak sejalan dengan ajaran mereka. Inilah musibah besar
ilmiah yang terjadi untuk kesekian kalinya menimpa umat Islam.
Di
antara pembakaran buku-buku yang paling fenomenal adalah pembakaran
buku-buku yang ada di perpustakaan Maktabah Arabiyah di Makah
al-Mukarramah. Perpustakaan ini termasuk perpustakaan yang paling
berharga dan paling bernilai historis. Bagaimana tidak, sedikitnya ada
60.000 buku-buku langka dan sekitar 40.000 masih berupa manuskrip yang
sebagiannya adalah hasil diktean baginda Nabi saw. kepada para
sahabatnya, sebagian lagi dari Khulafaur Rasyidin yang empat, dan para
sahabat Nabi yang lainnya.
Sebagaimana
berfungsi sebagai penampungan ribuan buku-buku klasik, perpustakaan
Maktabah Arabiyah itu juga menampung peninggalan Islam dan peninggalan
sebelum Islam. Namun kini, semua itu hilang dan habis dibakar oleh para
Wahabi. Karena menurut mereka, segala peninggalan itu akan menyebabkan
kemusyrikan, dan ribuan buku warisan Islam tersebut akan menjadikan umat
Islam berfaham sesat (baca: tidak sesuai dengan faham mereka). Oleh
karenanya, buku-buku itu harus dimusnahkan dan dihilangkan jejaknya.
Pada
1224 H, kembali musibah besar dalam hal warisan ilmu para ulama
as-salaf ash-shalih. Tentara Salafi Wahabi yang dipimpin oleh Ibnu
Qamala melenyapkan perpustakaan Hadhramaut tanpa bekas, dengan membakar
dan memberangus gedung beserta ribuan kitab-kitab yang ada di dalamnya.
Menyerang dan Membunuh Umat Islam atas Nama Jihad
Dalam merampas harta umat Islam, menyandera wanita dan anak-anaknya,
memerangi dan membantai nyawa mereka, Salafi Wahabi menamakan perjuangan
itu sebagai jihad fi sabilillah. Pernyataan di atas bukan tuduhan,
tetapi memang demikianlah pernyataan pendiri Salafi Wahabi. Dalam
penyerangan-penyerangan yang mereka namakan futûhât ini, para serdadunya
disiapkan sendiri oleh Muhammad Ibnu Abdul Wahab.
Demikianlah.
Padahal, agama Islam mengajarkan, selagi seseorang percaya tidak ada
Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya, maka nyawanya,
kehormatannya, dan semua yang dia miliki menjadi haram bagi muslim yang
lain (tidak boleh dirampas). Jangankan kepada orang yang beriman, kepada
orang kafir saja –seperti kafir dzimmy (non muslim yang berdamai dan
membayar jizyah/pajak), kafir mu’ahid (non muslim yang mengadakan
kesepakatan) dan musta’man (non muslim yang minta perlindungan)– kita
tidak dibolehkan untuk merampas dan menyakiti mereka, melainkan wajib
melindungi mereka sama seperti halnya terhadap seorang muslim. Lalu,
dengan alasan apa mereka menghalalkan harta, nyawa, dan kehormatan
sesama muslim tersebut ?
Mengkafirkan Semua Umat Islam Yang Tidak Sejalan
Dalam keyakian mereka, umat Islam yang tidak mengikuti fahamnya
dianggap sebagai umat yang sesat dan kafir, yang dengan kata lain,
darah, harta, dan kehormatannya menjadi halal untuk dinodai. Demikianlah
faktanya.
Sebagian
kecil dari bukti pengkafiran mereka terhadap umat Islam adalah
pengkafiran penduduk Makah, Ahsaa, Anzah, Dhufair, Uyainah, Dir’iyah,
Wasym, dan Sudair.
Bersekongkol dengan Klan Saudi
Setelah Muhammad Ibnu Abdul Wahab diusir dari Najd (tanah
kelahirannya) pada 1158 H karena dakwahnya yang dianggap sesat dan onar,
dia meminta bantuan emir Dir’iyah, Muhammad Ibnu Saud, untuk melindungi
dirinya.
Atas permintaannya itu, Muhammad Ibnu Saud menerima Muhammad Ibnu Abdul Wahab dan memberinya perlindungan dari musuh-musuhnya.
Mereka
berdua menemui banyak kecocokan, untuk kemudian bersekongkol
memperjuangkan kepentingannya masing-masing di balik tameng agama.
Mereka bersumpah setia dan bersepakat untuk berbagio tugas: Ibnu Saud
mengurusi bidang kekuasaan, sementara Abdul Wahab mengurusi bidang
agama. Ada tiga syarat yang mereka sepakati bersama, yaitu:
Pertama,
Muhammad Ibnu Abdul Wahab tidak menghalangi Ibnu Saud dalam hal
pengambilan harta (seperti cukai, pajak, dan retribusi lain) dari
penduduk yang tunduk kepada kekuasaan Ibnu Saud. Adapun yang tidak taat,
maka harus diperangi atas nama agama alias jihad, dan harta rampasannya
dinamakan ghanimah.
Kedua,
imarah –yakni kerajaan dan kekuasaan– hanya dipegang oleh keluarga
Muhammad Ibnu Saud dan keturunannya. Sedangkan keluarga Muhammad Ibnu
Abdul Wahab dan keturunannya, cukup menangani urusan keagamaan.
Ketiga,
pihak Muhammad Ibnu Abdul Wahab memiliki kewajiban untuk selalu berada
di pihak keluarga Ibnu Saud, konsisten dan selalu mendukung
kebijakannya, tidak boleh meninggalkannya atau berpaling kepada yang
lain.
Pada
tahun 1744, kemitraan Ibnu Abdul Wahab dengan Ibnu Saud dimulai lewat
upacara sumpah yang menetapkan Ibnu Saud sebagai emir (pemimpin sekular)
dan Ibnu Abdul Wahab sebagai imam (dan kemudian berubah menjadi Syaikh
al-Imam). Dinasti Saud-Wahabi pun terbentuk, dinasti yang pada kemudian
hari menjadi penguasa Saudi Arabia.
Gerakan
Wahabiyah dan Dinasti Saud sejak kemunculannya berusaha menundukkan
suku-suku di Jazirah Arab di bawah bendera Wahabi/Saudi. Menyamun,
menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan
suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada 1746, Syaikh
Ibnu Abdul Wahab mengeluarkan proklamasi jihad terhadap siapa saja yang
menentang ad-Da’wa li at-Tauhid (seruan tauhid). Penyerangan mulai
dilangsungkan ke daerah suku-suku yang dinyatakan olehnya sebagai suku
kafir (biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan
mengadakan kesepakatan non-agresi dengan suku yang kuat).
Setiap
suku yang belum masuk Wahabi diberi dua tawaran jelas: masuk Wahabi
atau diperangi sebagai orang musyrik dan kafir. Yang setuju harus
mengucapkan bai’at (sumpah setia) ketundukan dan menunjukkan loyalitas
dengan bersedia ikut berjihad dan membayar zakat. Yang menentang akan
diperangi dan dijarah.
Bekerjasama dengan Inggris Merongrong Kekhalifahan Turki Utsmani
Tidak benar jika Salafi Wahabi mengklaim bahwa mereka tidak pernah
merongrong apalagi memberontak terhadap Kekhalifahan Islam yang sah saat
itu, Turki Utsmani. Kala itu, secara de jure maupun de facto, Turki
Utsmani memang menguasai semenanjung Jazirah Arab dan Timur Tengah
secara umum.
Mari
kita buktikan dengan arsip sejarah Kerajaan Inggris tentang kenyataan
itu, yang mana Inggris adalah sekutu Salafi Wahabi dalam upaya
merongrong Kekhalifahan Turki Utsmani. Di bawah ini adalah dokumen resmi
pemerintah Inggris yang telah diterjemahkan oleh pakar diplomat dan
mantan Duta Besar Irak, Najda Fathi Shafwa, yang dibundel dalam 6 jilid
buku tebal berjudul al-Jazirah al-‘Arabiyah fi al-Watsa`iq
al-Barithaniyah; Najd wa Hijaz (Jazirah Arab dalam dokumen-dokumen
Britania; Najd dan Hijaz).
Publikasi
dan penerjemahan dokumen-dokumen resmi ini atas ijin resmi Kerajaan
Inggris melalui Kantor Kerajaan Inggris di bidang dokumen dan arsip Ratu
Inggris (Her Majesty’s Stationary Office). Inilah di antara bunyi
dokumen tersebut:
“Jazirah
Arab secara umum berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani,… Klan
keluarga Syarif Hussein (keturunan Rasulullah saw.) yang menguasai kota
suci Makah sejak 700 tahun lalu itu didirikan oleh Qatadah Ibnu Idris
(1133-1220 M) yang dilahirkan di Yanbu’, Jazirah Arab. Dia memanfaatkan
fitnah pertikaian yang terjadi di tengah masyarakat Makah sebagai
peluang untuk menguasainya. Dia berhasil menjadi penguasa Makah pada
tahun 1201. Kekuasannya semakin meluas ke Madinah sebelah utara, dan
Yaman sebelah selatan. Kemudian Sultan Turki Utsmani Salim I menguasai
Mesir dan semenanjung Hijaz tahun 1517. Para syarif dari anak-anak cucu
Qatadah it uterus memegang kekuasaan (di Jazirah Arab ) di bawah
pemerintahan Turki Utsmani dari masa ke masa, baik secara de jure maupun
de facto. Syarif Hussein ibnu Ali Ibnu Muhammad ibnu Abd al-Mu’in ibn
Awan merupakan penguasa terakhir dari kalangan syarif tersebut. Dialah
yang mengumumkan revolusi Arab tahun 1916 dan menjadi raja Hijaz. Sampai
akhirnya, dia lengser dari kekuasaannya akibat keluarga Saud menguasai
Hijaz tahun 1924. Lalu diwarisi putranya, Raja Ali, namun hanya berkuasa
setahun.”
Ketika
Makah berhasil direbut oleh kelompok Salafi Wahabi dari tangan Khalifah
Turki Utsmani, maka dominasi Wahabi di tanah suci menjadi tantangan
langsung terhadap otoritas Khalifah di Turki kala itu. Beberapa kali
serangan dilancarkan dari Baghdad oleh Khalifah, tetapi gagal. Setelah
gagal di tahun 1811, pada 1812 pasukan Kekhalifahan Utsmani dari Mesir
berhasil menduduki Madinah. Pada tahun 1815, kembali pasukan dari Mesir
menyerbu Riyad, Makah, dan Jeddah. Kali ini, pasukan Wahabi kocar-kacir.
Pada saat itu, Ibrahim Pasya, putra sang penguasa Mesir sebagai wakil
pemerintahan Turki Utsmani, datang dengan kekuatan sekitar 8000 pasukan
kavelari dan infantry dari Mesir, Albania, dan Turki.
Muhammad
Ibnu Saud sendiri beserta beberapa anggota keluarganya ditawan dan
dibawa ke Kairo dan kemudian ke Konstantinopel. Di ibukota Khilafah
Utsmani itu dia dipermalukan, diarak keliling kota di tengah cemoohan
penonton selama tiga hari. Kemudian, kepalanya dipenggal dan tubuhnya
dipertotonkan kepada kerumunan yang marah. Sisa-sisa keluarga
Saudi-Wahabi menjadi tawanan di Kairo. Kehancuran Wahabi pun disambut
gembira di banyak negeri muslim.
Pada
tahun 1902, ‘Abdul Aziz, putra ‘Abd ar-Rahman ibnu saud yang mengungsi
ke Kuwait, memulai usaha meraih kembali kajayaan Dinasti Saudi yang
hilang. Dengan bantuan Syaikh Kuwait yang selama ini melindunginya, Ibnu
Saud –demikian nama populer ‘Abdul Aziz –berhasil meraih Riyad dan
mengumumkan kembali kekuasaan Dinasti Saud di sana.
Lahirnya Kerajaan Saudi Arabia
Pada 26 Desember 1915, ketika Perang Dunia I berkecamuk, Ibnu Saud
menyepakati traktat dengan Inggris. Pemerintah Inggris mengakui
kekuasaan Ibnu Saud atas Najd, Hasa, Qatif, Jubail, dan wilayah-wilayah
yang tergabung di dalam empat wilayah utama ini. Traktat ini juga
mendatangkan keuntungan material bagi Ibnu Saud. Ia mendapatkan 1000
senapan dan uang £20.000 begitu traktat ditandatangani. Selain itu, Ibnu
Saus menerima subsidi bulanan £5.000 dan bantuan senjata yang akan
dikirim sampai tahun 1924, bersamaan dengan runtuhnya Khilafah Islamiyah
Turki Utsmani. Sebagai imbalannya, Ibnu Saud tidak akan mengadakan
perundingan dan membuat traktat dengan Negara asing lainnya. Ibnu Saud
juga tidak akan menyerang ke, atau campur tangan di, Kuwait, Bahrain,
Qatar, dan Oman (yang berada di bawah proteksi Inggris).
Setelah
berbulan-bulan dikepung, akhirnya pada 4 November 1921, Ha’il (ibukota
Klan Rasyidi) jatuh ke tangan Ibnu Saud yang dibantu Inggris melalui
dana dan persenjataan. Sesudah menaklukkan Ha’il, Ibnu Saud beralih ke
Hijaz. Satu demi satu kota di Hijaz jatuh ke tangan Ibnu Saud. ‘Asir,
wilayah di Hijaz selatan, jatuh pada 1922, disusul Taif, Makah, dan
Madinah (di tahun 1924), dan Jeddah (di awal tahun 1925). Pada tahun
1925 juga, di bulan Desember, Ibnu Saud menyatakan diri sebagai Raja
Hijaz, dan pada awal Januari 1926 ia menjadi Raja Hijaz sekaligus Sultan
Najd dan daerah-daerah bawahannya. Untuk pertama kalinya sejak
berdirinya Negara Saudi II, empat wilayah penting di Jazirah Arabia,
yaitu Najd, Hijaz, ‘Asir, dan Hasa, kembali berada di tangan kekuasaan
Klan Saudi. Dan pada tahun 1932, Ibnu Saud telah berhasil menyatukan apa
yang dikenal sebagai Kerajaan Saudi Arabia.
Peran Salafi Wahabi dalam Menjadikan Palestina Terjajah
Bukan suatu yang aneh jika Salafi Wahabi selama ini bungkam seribu
bahasa dengan keberadaan Yahudi di Palestina dan segala kejahatan yang
mereka lakukan terhadap umat Islam di negeri yang terampas dan terjajah
itu. Sejak awal, Salafi Wahabi sudah mengamini “penggadaian” negeri
Palestina kepada Inggris untuk diberikan kepada orang-orang Yahudi.
Dalam
Muktamar al-Aqir tahun 1341 H di distrik Ahsaa telah ditandatangani
sebuah perjanjian resmi antara pihak Wahabi dengan pemerintah Inggris.
Tertulis dalam kesepakatan itu kalimat-kalimat yang ditorehkan oleh
pimpinan Wahabi berbunyi:
“Aku
beikrar dan mengakui seribu kali kepada Sir Percy Cox wakil Britania
Raya, tidak ada halangan bagiku (sama sekali) untuk memberikan Palestina
kepada Yahudi atau yang lainnya sesuai keinginan Inggris, yang mana aku
tidak akan keluar dari keinginan Inggris sampai hari kiamat.”
Surat
perjanjian itu ditandatangani oleh Raja Abdul Aziz. Selain itu, utusan
Wahabi juga telah datang menghadiri “Muktamar tentang Tempat Hijrah
Bangsa Yahudi ke Palestina”. Dalam muktamar itu, penasihat Wahabi,
Syaikh Abdullah Philippi (Kolonel Jhon Philippi) –seorang orientalis
penasihat kerajaan Saudi– mengusulkan untuk memberikan Palestina kepada
bangsa Yahudi dengan imbalan kemerdekaan bagi seluruh negara-negara
Arab. Dalam muktamar itu, Wahabi menyetujui kesepakatan rencana itu.
Hujan Protes dari Negara-Negara Muslim
Pada tahun 1926 protes massal kaum muslim mengalir dari seluruh dunia.
Resolusi pun diluncurkan dan daftar kejahatan Salafi Wahabi
di’senarai’kan.
Protes
yang sama bermunculan di Iran, Irak, Mesir, Indonesia, Turki, dan
negara-negara muslim lainnya. Beberapa ulama menulis traktat dan buku
untuk mengabarkan kepada dunia bahwa fakta-fakta yang terjadi di Hijaz
pada dasarnya adalah konspirasi karya Yahudi guna melawan Islam dengan
berkedok “pemurnian tauhid”. Tujuan utamanya adalah menghapus secara
sistematis akar sejarah umat Islam, sehingga nantinya kaum muslimin
kehilangan jejak sejarah dan asal-usul keagamaannya.
Sumber: Buku Sejarah Berdarah Sekte Wahabi Salafi