”LAU KAANA KHAIRAN LASABAQUUNAA ILAIHI”
(Kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah mendahului kita mengamalkannya)
Patutlah kaidah yang besar ini dihafal oleh setiap muslim
untuk menghancurkan berbagai macam bid’ah yang orang sandarkan dan
masukkan ke dalam agama Allah yang mulia ini, Al-Islam. .
Begitu di antara kandungan yang ada pada buku yang ditulis oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
BENARKAH INI KAIDAH BESAR SEHINGGA DIJADIKAN TOLOK UKUR HALAL HARAM DALAM AGAMA KITA ?
Berikut yang saya temukan sehingga akhirnya dapat disimpulkan bahwa ini sebenarnya bukan kaidah besar melainkan kaidah yang membuat pola pikir muslim menjadi dangkal.
1. Mirip kaidahnya orang kafir ketika menolak al qur’an
Silakan dilihat :
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا
لِلَّذِينَ آمَنُوا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ وَإِذْ
لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ
Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman:
“Kalau sekiranya dia (Al Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka
tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak
mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta
yang lama”. (QS 46: 11)Dengan demikian dapat ditanyakan, apa pantas golongan yang menisbatkan diri pada SALAF membuat kaidah baru yang berawal dari ucapan kaum kafir untuk kemudian dijadikan kaidah haram halal ?
2. Menyalahi nash al qur’an
Sebagaimana kita tahu kaidah besar dalam agama ini di antaranyaAyat ini
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa
saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS.
Al-Hasyr : 7)Dalam AYAT ini disebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW.
Dan tidaklah dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”3. Menyalahi hadist mauquf dari ibnu ma’ud ra.
ما رءاه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رءاه المسلمون سيئا فهو عنداالله سيء
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula
di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin,
maka menurut Allah-pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR.
Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas’ud)Hadits ini dalam kitab-kitab ushul fiqh dijadikan salah satu dalil ijma’ (konsensus ulama mujtahidin) dan dalam kitab-kitab kaidah FIQH dijadikan dalil dalam kaidah al-‘Adah Muhakkamah. Hadits ini marfu’ sampai Rasulullah sehingga dapat dijadikan hujjah (dalil) untuk mentakhsish keumuman hadits tentang semua bid’ah adalah sesat.
Berikut ini komentar beberapa ulama :
ما جاء في أثر ابن مسعود رضي الله
عنه:(ما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن وما رآه المسلمون قبيحاً فهو
عند الله قبيح). كشف الأستار عن زوائد البزار” (1/81)، و “مجمع الزوائد”
(1/177)
Dari atsar Ibnu Mas’ud ra. “Apa yg menurut umat islam umumnya itu
baik, maka baik menurut Alloh dan apa yg menurut umat islam umumnya itu
buruk, maka buruklah menurut Alloh [Kitab Kasy al-Astar an jawaz
al-Bazzar juz 1 hal. 81 dan Kitab Majmu' zawaid juz 1 hal 177]
قال ابن كثير: “وهذا الأثر فيه حكايةُ إجماعٍ عن الصحابة في تقديم الصديق، والأمر كما قاله ابن مسعودٍ“.
Ibnu Katsir berkata, Atsar ini didalamnya menjelaskan kesepakatan
sahabat yg telah mendahului dlm hal2 kebenaran sebagaimana yg dikatakan
Ibnu Mas’ud
وقال الشاطبي في “الاعتصام”
(2/655):(إن ظاهره يدل على أن ما رآه المسلمون بجملتهم حسناً؛ فهو حسنٌ،
والأمة لا تجتمع على باطلٍ، فاجتماعهم على حسن شيءٍ يدل على حسنه شرعاً؛
لأن الإجماع يتضمن دليلاً شرعياً”)
Imam Syathibi dlm Kitabnya Al-I’tishom juz 2 hal. 655 [sesungguhnya
yg secara zhohir apa yg menurut penglihatan org muslim umumnya
mengandung kebaikan maka itu adalah baik, dan umat manusia tidak mgkn
sepakat dalam kebatilan. Kesepakatan mereka pada seseuatu akan
kebaikannya menunjukkan kebaikan menurut syari'at agama, karena
kesepakatan umum mengandung hukum syara' [hukum agama].KESIMPULAN :
- Amalan-amalan yang selama ini dipermasalahkan sebenarnya memang dianggap baik oleh para ulama sehingga tidak patut kaidah seperti ”LAU KAANA KHAIRAN LASABAQUUNAA ILAIHI” karena ucapan seorang sahabat nabi lebih didahulukan
- Legitimasi kebaikan tidak terbatas kurun Salaf melainkan juga berasal dari dari kaum mukmin.
ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غيـر سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيـرا ( (سورة النساء : 115 )
“Dan barang siapa yang menentang Rasulullah setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin,
maka kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang ia kuasai itu (Allah
biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke
dalam neraka jahannam. Dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali”
(Q.S. an-Nisa: 115)Penyebutan ” jalan orang mukmin” merupakan faidah bahwa legitimasi kebaikan ada juga pada orang-orang mu’min.
Andaikata format atau kulitnya sama dengan rasulullah maka dalam ayat tersebut (terj) pasti tercukupi dengan :
““Dan barang siapa yang menentang Rasulullah setelah jelas baginya kebenaran , maka kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang ia kuasai itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam. Dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali”
Catatan :
Hadist ini juga bisa dipakai sebagai dasar menetapkan sesuatu dengan cara istihsan atas sesuatu yang pada kurun sahabat tidak ada .Secara etimologi istihsan berarti “memperhitungkan sesuatu lebih baik”, atau “adanya sesuatu itu lebih baik”, atau ” mengikuti sesuatu yg lbh baik”, atau “mencari yg lbh baik untuk diikuti, karena memang disuruh untuk itu.”
Adakalanya ada yang mengatakan istihsan dilarang oleh imam syafi’i. Namun sebenarnya istihsan yang dilarang ternyata tidak sama dengan yang dimaksud dalam madzab hanafi.
Ulama madzab syafi’i yakni Imam Subki mendefinisikan istihsan yang diperbolehkan sbb: عدول عن قياس الى قياس أقوى منه [beralih dari penggunaan satu qiyas kepada qiyas yg lain yg lbh kuat dari padanya [qiyas pertama]]
Wallahu a’lam
(Oleh: Dhimas, http://warkopmbahlalar.com)
0 komentar:
Posting Komentar