Kerajaan
Inggris membantu Wahabisme dengan uang, senjata dan keterampilan,
sehingga kekuasaan Ibnu Saud menyebar ke seluruh jazirah Arab yang pada
masa itu berada dalam kekhalifahan Usmaniyah dengan tujuan melemahkan
khilafah itu. Jadi yang menggembosi kekuasaan daulah dan kekhalifahan
Usmani adalah kelompok yang terkenal dengan sebutan Wahaby yang sekarang
ini mengaku sebagai kelompok Salafy. Orang bisa membacanya dalam buku
Hempher, ‘Confession of a British Spy’.
———————————–
-Dari Muhammad bin Abdul Wahab
hingga Kerajaan Saudi Arabia-
Pada
tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai. Dan keamiran pun
berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia. Untuk kesekian kalinya kita
dibuat kagum sekaligus benci. Dua sikap psikologis itu beradu. Kita
kagum karena lagi-lagi mayoritas muslim dapat menjaga persatuan dalam
menghadapi imperialis Inggris yang berusaha menguasai berbagai
wilayah-wilayah Arab. Kita juga benci karena lagi-lagi Salafisme
(Wahabisme edisi hard cover) memperagakan ‘teologi horor’ dengan
mengusung jargon jihad, membajak kata ‘Ahlussunnah wal Jamaah’. Mazhab
‘kaca mata kuda’ –karena tidak melihat dan menganggap kelompok lain- ini
didirikan Muhammad bin Abdul Wahab dari keluarga klan Tamim yang
menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini
bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di
Dar’iyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh
tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu
Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M.. Untuk menimba ilmu, ia juga
mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah [Irak],
Damaskus {Syria], Iran, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia mengawini
seorang wanita kaya. Ia mengajar di Bashrah selama 4 tahun. Ketika
pulang ke kampung halamannya ia menulis buku yang kemudian menjadi
rujukan kaum pengikutnya, “Kitabut’Tauhid“. Para pengikutnya menamakan diri mereka dengan sebutan kaum Al-Muwahhidun
(para pengesa Tuhan). Seakan hanya kelompok itulah yang pengesa Allah
secara murni tanpa terpolusi dengan kesyirikan. Sedang kelompok-kelompok
lain yang tak sepaham mereka anggap sebagai kelompok pelaku syirik,
bid’ah dan khurafat yang sesat.
Kemudian
Muhammad bin Abdul Wahab pindah ke Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah Jumat
di Uyaynah, ia terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang
dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar
kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota itu ia mulai
menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai
tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang
dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang
mazhab Syiah (di luar Ahlusunah), lalu kaum Sufi, kemudian ia mulai
melanjutkan penyerangan terhadap kaum Ahlusunah secara keseluruhan
dengan cara yang brutal. Dengan mengecap mereka dengan berbagai julukan
buruk seperti Quburiyuun (pemuja kubur) dikarenakan mereka semua sepakat bahwa kuburan para nabi, rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah)
harus dihormati sesuai ajaran pendahulu (Salaf) yang sesuai dengan
ajaran Rasul, para Sahabat setia beliau, juga para Tabi’in dan Tabi’
Tabi’in.
Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh penguasa [amir]
setempat pada tahun 1774. Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase
ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, masih di Najd Tahun 1744. Di
situlah Muhammad bin Abdul Wahab mendapat angin segar dalam menyebarkan
ajaran sesatnya. Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang
Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan
Muhammad bin ‘Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan
untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab
pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Dan
Muhammad bin ‘Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama)
wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah
Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul
Wahab.Penaklukan dan pembantaian pun dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok Ahlusunah yang menolak mazhab mereka (Wahaby), hingga terbentuklah sebuah emirat lalu diubah menjadi monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, sejak tahun 1932 hingga kini.
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di kota Karbala’ (salah satu kota suci kaum Syiah di Irak). Seorang penulis Wahabi menuliskan: “Pengikut Ibnu Saud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan di rumah-rumah. Harta rampasan [ghanimah] tak terhitung Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di kota Karbala”.
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir, ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka (Wahaby) tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujahid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri mereka yang dianggap sah sebagai ghanimah (rampasan perang). Hanya sedikit yang dapat melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala memasuki kota Tha’if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari. Para qadhi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lain dibunuh
Umumnya kaum intelektual dan ulama Ahlusunah – penganut 4 mazhab ‘resmi’ Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali– menganggap kaum Wahhabi, termasuk pendirinya, sebagai orang-orang yang berpikir sangat linier, literer sambil menolak metafoar [Majaz], sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis. Mereka menganggap mazhab selainnya (Wahaby) sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadis: “Kullu bid’ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar”. (semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka). Kata “bid’ah” yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk ‘kafir’, dan menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunut, talqin, tahlil, istighatsah, berzikir berjamaah, membaca maulid diba’ ataupun burdah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin adalah sebagai bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir. Dari sinilah akhirnya kaum Wahaby yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi gelar “Kelompok Takfir” (jama’ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya.
Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah Ummul Mu’minin Khadijah tempat tinggal Nabi dan banyak tempat-tempat bersejarah lain yang masuk wilayah kerajaan Arab Saudi kini telah dihancurkan. Kalau tidak mendapat protes dari segenap kaum Muslimin sedunia niscaya kuburan Nabi pun sudah diratakan dengan tanah, sebagaimana yang terjadi di makam para sahabat dan syuhada’ Uhud di Baqi’ (Madinah) dan para keluarga Rasul di Ma’la (Makkah).
Di Indonesia, misalnya, kaum Nahdhiyyin (NU) ‘kebingungan’, karena kaum Wahabi ‘membajak’ atribut Ahlussunnah Wal Jamaah, padahal istilah ini yang biasa dipakai oleh penganut keempat mazhab Sunnah; mazhab Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Akhir-akhir ini mereka ikut-ikutan memakai jubah dan serban seperti yang dikenakan kaum Nahdhiyin. Walau demikian, sangat mudah untuk melihat tanda-tanda zahir dari kelompok tersebut. Mereka suka mesyirikkan dan membid’ahkan kelompok muslim lainnya. Dari sisi penampilan pun mereka mempunyai ciri khas sendiri. Selain suka mencukur rambut kepala, mereka juga berlomba dalam masalah panjang-panjangan jenggot dan tinggi-tinggian celana bahkan bisa sampai ke pertengahan betis.
Belakangan ini kita sering mendengar berita tentang eskalasi kekerasan di Saudi Arabia, termasuk penghancuran pipa minyak yang dilakukan oleh kaum fundamentalis Wahhabi, yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Al-Qaeda. Bin Laden sang ketua al-Qaedah adalah seorang Wahabi tulen kelahiran Arab Saudi. Ia dibesarkan dan dijadikan anak angkat oleh CIA – USA. Konon anak angkat itu kini telah menjadi anak durhaka terhadap ibu angkatnya, USA. Bidan yang melahirkan wahabisme adalah kekuatan Imperialis Inggris, dan kini menjadi ‘kartu as’ pemerintahan biadab USA untuk menciptakan perpecahan dalam tubuh umat Islam. Nampaknya, skenario keji ini mulai menunjukkan hasil yang menggembirkan bagi USA dan kekuatan anti Islam lainnya ketika isu-isu tentang ancaman perang saudara di Irak menjadi headline seluruh media Barat yang diikuti secara ‘latah’ oleh media-media Indonesia. Jadi antara Inggris (pembonceng Zionis di Tim-Teng), keluarga Saud, Wahabisme dan USA (sekutu Inggris dan Israel) adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya tidak terlalu mengherankan jika Wahaby selalu menghamba terhadap kerajaan Saudi. Dan sementara keluarga Saudi selalu bertekuk lutut di hadapan USA saudara kembar Inggris (penyokong kekuasaan keluarga Saud) dalam banyak masalah, termasuk memberi dukungan secara sembunyi-sembunyi terhadap Zionisme Internasional dan turut membenci negara-negara yang anti Israel. Hal itu karena Israel mendapat dukungan penuh dari USA dan Inggris.
Sumber:
http://salafyindonesia.wordpress.com/2007/02/14/dari-ibnu-abdul-wahab-hingga-kerajaan-arab-saudi/
0 komentar:
Posting Komentar