
Kemudian mereka memanggil sisa-sisa
ulama yang belum dibunuh untuk diajak berdebat tentang tauhid, Asma
Allah dan sifat-sifat-Nya. Ulama yang setuju dengan pendapat mereka,
akan dibebaskan. Sedangkan ulama yang membantah pendapat mereka akan
dibunuh atau dideportasi dari Hijaz. Di antara ulama yang diajak
berdebat oleh mereka adalah Syaikh Abdullah al-Syanqithi, salah seorang
ulama kharismatik yang dikenal hapal Sirah Nabi saw. Sedangkan dari
pihak Wahhabi yang mendebatnya, di antaranya seorang ulama mereka yang
tuna netra dan buta hati. Kebetulan perdebatan berkisar tentang
teks-teks al-Qur’an dan hadits yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah.
Mereka bersikeras bahwa teks-teks tersebut harus diartikan secara
literal dan tekstual, dan tidak boleh diartikan secara kontekstual dan
majazi.
Si tuna netra itu juga mengingkari
adanya majaz dalam al-Qur’an. Bahkan lebih jauh lagi, ia menafikan majaz
dalam bahasa Arab, karena taklid buta pada pendapat Ibn Taimiyah dan
Ibn al-Qayyim.
Lalu Syaikh Abdullah al-Syanqithi berkata kepada si tuna netra itu:
“Apabila Anda
berpendapat bahwa majaz itu tidak ada dalam al-Qur’an, maka sesungguhnya
Allah SWT telah berfirman dalam al-Qur’an:
“Dan
Barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan
lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar).” (QS.
al-Isra’ : 72).
Berdasarkan ayat di
atas, apakah Anda berpendapat bahwa setiap orang yang tuna netra di
dunia, maka di akhirat nanti akan menjadi lebih buta dan lebih tersesat,
sesuai dengan pendapat Anda bahwa dalam al-Qur’an tidak ada majaz?”
Mendengar sanggahan Syaikh al-Syanqithi,
ulama Wahhabi yang tuna netra itu pun menjerit dan memerintahkan agar
Syaikh al-Syanqithi dikeluarkan dari majlis perdebatan. Kemudian si tuna
netra itu meminta kepada Ibn Saud agar mendeportasi al-Syanqithi dari
Hijaz. Akhirnya ia pun dideportasi ke Mesir. Kisah ini dituturkan oleh
al-Hafizh Ahmad al-Ghumari dalam kitabnya, Ju’nat al-’Aththar.
Kisah keberanian kaum Wahhabi untuk
berdebat dengan para ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini hanya terjadi
pada awal-awal berdirinya Kerajaan Arab Saudi. Kini para ulama Wahhabi
tidak pernah lagi berani untuk berdebat dengan para ulama Ahlussunnah
Wal-Jama’ah, baik di Timur Tengah maupun di Tanah Air, setelah mereka
tahu bahwa mereka tidak akan pernah menang berdebat dengan para ulama.
0 komentar:
Posting Komentar