
hkan seluruh energi untuk meyakinkan para pengikutnya, para pengagumnya, dan para pemujanya bahwa semua bid’ah itu pasti `sesat’, dan yang namanya `sesat’ pasti masuk `neraka’. Hal ini dapat dilihat dengan memperhatikan pernyataan al-Utsaimin yang begitu muluk-muluk dalam risala kecil tentang bid’ah yang ditulisnya berjudul al-Ibda’ fi Kamal Syar’i wa Khathar al-Ibtida’ (kreasi tentang kesempurnaan syara’ dan bahayanya bid’ah), berikut ini:

قَوْلُهُ (كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ)
كُلِّيَّةٌ، عَامَّةٌ، شَامِلَةٌ، مُسَوَّرَةٌ بِأَقْوَى أَدَوَاتِ
الشُّمُوْلِ وَالْعُمُوْمِ (كُلٌّ)، أَفَبَعْدَ هَذِهِ الْكُلِّيَّةِ
يَصِحُّ أَنْ نُقَسِّمَ الْبِدْعَةَ إِلَى أَقْسَامٍ ثَلاَثَةٍ، أَوْ إِلَى
أَقْسَامٍ خَمْسَةٍ؟ أَبَدًا هَذَا لاَ يَصِحُّ. (محمد بن صالح العثيمين،
الإِبْدَاع في كَمَال الشَّرْع وخَطَرِ الابتداع، ص/13).
“Hadits semua bid’ah adalah sesat, bersifat global, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu kata-kata (seluruh)”. Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah wenjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian? Selamanya, ini tidak akan pernah benar.” (Muhammad bin Shalih Utsaimin dalam al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 13).
Lihatlah Pernyataan al-Utsaimin tersebut di atas memberikan pengertian bahwa hadits semua bid’ah adalah sesat,
bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah,
tanpa terkecuali, sehingga tidak ada satu pun bid’ah yang boleh disebut
bid’ah hasanah, apalagi disebut bid’ah mandubah yang mendatangkan pahala
bagi pelakunya. Oleh karena itu, membagi bid’ah pada tiga bagian atau
lima bagian, menurutnya tidak akan pernah dibenarkan, dan bid’ah tetap
selalu ‘sesat’ dan masuk `neraka’. Begitulah menurut dia dan diikuti
oleh sejumlah pengikut Salafy Wahhabi di dunia.
Tetapi anehnya tesis ini sulit
dipertahankan secara ilmiah oleh Al-`Utsaimin sendiri. Disamping tesis
tersebut hanya sebagai bukti kesempitan cara berfikimya dan menyalahi
metodologi berfikir para sahabat, ulama salaf dan ahli hadits, tesis di
atas justru bertentangan dengan pernyataan al-Utsaimin sendiri di bagian
lain dalam bukunya, yang membagi bid’ah menjadi beberapa bagian sesuai
dengan pendapat mayoritas ulama. Misalnya ia menyatakan:
الأصل في أمور الدنيا الحل، فما ابتدع
منها، فهو حلال، إلا أن يدل الدليل على تحريمه. لكن أمور الدين الأصل فيها
الحظر، فما ابتدع منها، فهو حرام بدعة، إلا بدليل من الكتاب والسنة على
مشروعيته.
“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal. Jadi, bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Tetapi hukum asal perbuatan Baru dalam urusan-urusan agama adalah dilarang. Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah haram dan bid’ah, kecuali ada dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan keberlakuannva.” (Al-Utsaimin, Syarh al-Aqidah al Wasithiyyah, hal. 639-640).
Tentu saja pemyataan Mbah Utsaimin ini
membatalkan tesis sebelumnya, bahwa semua bid’ah secara keseluruhan itu
sesat, dan sesat itu tempatnya di neraka. Namun kemudian, di sini
al-Utsaimin membatalkannya dengan menyatakan bahwa bid’ah dalam urusan
dunia, halal semua, kecuali ada dalil yang melarangnya. Bid’ah dalam
urusan agama haram dan bid’ah semua, kecuali ada dalil yang
membenarkannya. Dengan klasifikasi bid’ah menjadi dua (versi
al-Utsaimin), yaitu bid’ah dalam hal dunia dan bid’ah dalam hal agama,
dan memberi pengecualian dalam masing-masing bagian, menjadi bukti bahwa
al-Utsaimin tidak konsisten dengan pemyataan awalnya (tidak ada pembagian dalam bid’ah).
Selain itu, pembagian bid’ah menjadi dua versi ini, tidak memiliki
dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, dan hanya retorika Wahhabisme
saja dalam mencari mangsa untuk menjadi pengikutnya.
Dalam bagian lain, al-Utsaimin juga menyatakan:
ومن القواعد المقررة أن الوسائل لها أحكام
المقاصد فوسائل المشروع مشروعة ووسائل غير المشروع غير مشروعة بل وسائل
المحرم حرام، فالمدارس وتصنيف العلم وتأليف الكتب وإن كان بدعة لم يوجد في
عهد النبي صلى الله عليه وسلّم على هذا الوجه إلا أنه ليس مقصداً بل هو
وسيلة والوسائل لها أحكام المقاصد. ولهذا لو بنى شخص مدرسة لتعليم علم محرم
كان البناء حراماً ولو بنى مدرسة لتعليم علم شرعي كان البناء مشروعاً
“Di antara kaedah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hukum tujuannya. Jadi perantara tujuan yang disyariatkan, juga disyariatkan. Perantara tujuan yang tidak disyariatkan, juga tidak disyariatkan. Bahkan perantara tujuan yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu, pembangunan rnadrasah-rnadrasah, penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab-kitab, meskipun bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah dalam bentuk seperti ini, namun ia bukan tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hukum perantara mengikuti hukum tujuannya. Oleh karena itu, bila seseorang rnembangun madrasah untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan, rnaka membangunnya dihukumi haram. Bila ia membangun madrasah untuk rnengajarkan syariat, maka membangunnya disyariatkan.” (Al-Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal Syar’i wa Khathar al-Ibtida’, hal. 18-1 9).
Dalam pernyataan ini Al-Utsaimin juga
membatalkan tesis yang diambil sebelumnya. Pada awalnya dia mengatakan,
bahwa semua bid’ah secara keseluruhan, tanpa terkecuali adalah sesat,
dan sesat tempatnya di neraka, dan tidak akan pemah benar membagi bid’ah
menjadi tiga apalagi menjadi lima. Kini, al-Utsaimin telah menyatakan,
bahwa membangun madrasah, menyusun ilmu dan mengarang kitab itu bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah
namun hal ini bid’ah yang belum tentu sesat, belum tentu ke neraka,
bahkan hukum bid’ah dalam soal ini terbagi menjadi beberapa bagian
sesuai dengan hukum tujuannya.
Begitulah, al-’Utsaimin yang sangat
dikagumi oleh Salafy Wahhabi akhirnya jatuh ke dalam lumpur tanaqudh
(kontradiksi). Pada awalnya dia mengeluarkan tesis bahwa semua bid’ah
itu sesat, tanpa terkecuali. Namun kemudian, dalam buku yang sama, ia
tidak dapat mengelak dari realita yang ada, sehingga membagi bid’ah
menjadi beberapa bagian sebagaimana pandangan mayoritas ulama.
Para ulama menyatakan:
المبطل متناقض , لأن الله تعلى قال : ولو كان من عند غير الله لو جدوا فيه اختلفا كثيرا
المبطل متناقض , لأن الله تعلى قال : ولو كان من عند غير الله لو جدوا فيه اختلفا كثيرا
“Orang yang memiliki ajaran batil pasti kontradiksi dengan dirinya sendiri. Karena Allah SWT telah berfirman: “Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. al-Nisa’ 82).
Andaikan, para tokoh Wahhabi selain
Al-Utsaimin seperti Ibn Baz dan al‑Albani dan Arrabi’ yang dikagumi oleh
Wahhabiyun mau rendah hati dan mengikuti para ulama besar seperti
al-Imam al-Syafi’i, al-Khaththabi, Ibn Abdilbarr, al-Nawawi, Izzuddin
bin Abdissalam, al-Hafizh Ibn Hajar dan lain-lain, tentu mereka tidak
akan jatuh dalam lumpur tanaqudh dan tahrif.
Demikianlah kontradiksi dari pendapat
Syaikh pujaan wahhabi, Al-Utsaimin, mengenai bid’ah yang semoga menjadi
pelajaran bagi kita untuk tidak mengikuti jalan yang ditempuh oleh
Syaikh Al-Utsaimin dan Syaikh-syaikh wahhabiyyun lainnya.
Wallahu a’lam bishshowab.
(Sumber: MKB MKNU Oleh LBM NU Jember)
0 komentar:
Posting Komentar