Syaikh Dr. Rabi Bin Hadi Al Madkhali :
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala, shalawat serta salam
semoga senantiasa tercurah atas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
keluarganya dan shahabatnya serta orang-orang yang mengikuti
petunjuknya. Amma Ba’du.
Sungguh telah sampai kepadaku beberapa selebaran yang memuat
perkataan dua ulama besar salafy yaitu Syaikh Bin Baz dan Syaikh Ibnu
‘Utsaimin Rahimahullah.
Sebagian pengikut Jama’ah Tabligh berusaha menyebarkannya dan
mengedarkannya di kalangan orang-orang bodoh (tidak berilmu) dan orang
yang tidak mengerti hakikat manhaj mereka (yakni manhaj Jama’ah Tabligh)
yang bathil dan aqidah mereka yang rusak.
Memang di dalam perkataan dua Syaikh tersebut terdapat pernyataan yang memuji Jama’ah Tabligh.
Fatwa Syaikh Bin Baz berdasarkan penuturan seorang Tablighy (pengikut
Jama’ah Tabligh) atau pendukungnya, dia menceritakan kepada Syaikh Bin
Baz berita yang bertentangan dengan keadaan Jama’ah Tabligh yang
sebenarnya. Dia juga memberikan gambaran yang berlawanan dsri
kenyataannya.
Yang menguatkan ucapan kami adalah perkataan Syaikh Bin Baz Rahimahullah berikut:
“Tidak diragukan lagi bahwa umat manusia sangat membutuhkan
pertemuan-pertemuan yang bagus semacam ini, yaitu perkumpulan dalam
rangka mengingat Allah (dzikrullah), menyeru untuk berpegang teguh
dengan islam, menerapkan ajaran-ajaran- Nya dan membersihkan tauhid dari
bid’ah dan khurofat. (lihat fatwa Beliau, no 1007, tanggal 17/8/1407 H
dan yang disebarkan oleh Jama’ah Tabligh sekarang).
Dari sini teranglah bahwa tablighy di atas menyebutkan dalam
selebarannya bahwa Jama’ah Tabligh menyeru untuk berpegang teguh dengan
islam dan menerapkan ajaran-ajaran-Nya dengan membersihkan tauhid dari
bid’ah dan khurofat. Oleh karena itulah, maka Syaikh Bin Baz memuji
mereka.
Seandainya penulis selebaran tersebut mengungkapkan fakta sebenarnya
dan menggambarkan hakikat keadaan mereka serta menjelaskan hakikat
manhaj mereka yang rusak, niscaya Syaikh Bin Baz As-Salafy Al-Muwahhid
pasti mencela mereka dan memperingatkan umat dari bahayanya mereka
sebagaimana yang beliau lakukan pada fatwa beliau yang terakhir tentang
mereka yang akan dilampirkan di sini pula.
Adapun di dalam perkataan Al-Allamah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga
terdapat pernyataan yang menunjukkan bahwa beliau membiarkan ajaran
mereka. Perhatikan pernyataan beliau berikut ini:
“Perhatikan” Jika perselisihan terdapat pada masalah aqidah maka wajib
diluruskan. Apabila perkara tersebut menyelisihi madzab salaf, maka
wajib diingkari dan wajib memperingatkan umat dari bahaya orang yang
menelusuri jalan yang menyelisihi madzab salaf dalam bab ini. Lihat
fatwa Ibnu ‘Utsaimin 92/936-944) sebagaimana disebutkan dalam selebaran
yang diedarkan oleh Jama’ah Tabligh sekarang.
Tidak diragukan lagi bahwa perselisihan antara salafiyyun Ahlus
Sunnah dan Ahlut Tauhid dengan Jama’ah Tabligh adalah suatu perselisihan
yang sangat keras dan tajam dalam masalah aqidah dan manhaj.
Jama’ah Tabligh berpahaman Maturidiyah yang meniadakan sifat-sifat
Allah. Mereka juga menganut paham Sufiyah dalam ibadah dan suluk (tata
pergaulan-pent). Mereka berbai’at diatas empat Thariqat Sufiyah yan
tenggelam dalam kesesatan. Thariqat-thariqat tersebut dibangun diatas
pemahaman Hulul (Allah menyatu pada diri seseorang- pent), Wihdatul
Wujud (semua yang ada adalah jelmaan Allah), Syirik dengan menyembah
kubur dan kesesatan yang lainnya.
Pujian Syaikh ‘Utsaimin di atas pasti karena beliau belum mengetahui
keadaan mereka yang sebenarnya. Seandainya beliau mengetahui (niscaya)
beliau akan merendahkan dengan kesesatan mereka dan memperingatkan umat
dengan peringatan yang paling keras. Dan beliau pasti akan menempuh
jalan yang telah ditempuh oleh dua Syaikh beliau, yaitu syaikh Muhammad
bin Ibrahim dan Imam Syaikh Bin Baz. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany, Syaikh Abdurrazaq ‘Afify, Syaikh
Shaleh Bin Fauzan Al-fauzan, Syaikh Hamud At- Tuwaijiry, Syaikh
Taqiyudin Al-Hilaly, Syaikh Sa’d Al-Husain, Syaikh Syaifurrahman dan
Syaikh Muhammad Aslam.
Para masyayikh di atas memiliki beberapa karangan yang agung yang
menjelaskan tentang kesesatan Jama’ah Tabligh dan bahayanya ajaran
mereka baik dari sisi aqidah atau manhaj. Silakan penuntut kebenaran
merujuk kepada kitab-kitab tersebut.
Sungguh telah rujuk (kembali kepada kebenaran ) Abdurrahman Al-Mushry
dari buku-bukunya yang mengandung pujian atas Jama’ah Tabligh, dan dia
mengakui kesalahannya di sisiku.
Adapun Yusuf Al-Mulahy yang telah bergabung beersama Jama’ah Tabligh
selama bertahun-tahun lamanya, kemudian menulis buku yang menjelaskan
kesesatan dan rusaknya aqidah mereka. Namun sangat disesalkan, dia
berbalik dari kebenaran. (Akhirnya) diapun menulis kitab terakhir yang
menceritakan tentang kebaikan mereka, sedang bukunya yang pertama dia
biarkan saja.
Namun tulisan para ‘ulama Ahlus Sunnah Wal Jama’ah tentang manhaj
Jama’ah Tabligh telah melumatkan kebatilannya. Terlebih lagi sebuah
kaidah yang agung mengatakan bahwa,
“Celaan lebih didahulukan dari pujian”
Kaidah ini membatalkan setiap pujian dari siapapun yan memuji Jama’ah
Tabligh, seandainya Tablighiyun (pengikut Jama’ah Tabligh) komitmen
dalam memegang kaidah-kaidah islamiyah yang benar, (maka mereka) akan
menempuh jalannya ahlul ilmi dan jalannya orang-orang yang memberi
nasihat kepada Islam dan muslimin.
Ditulis oleh: Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
Pada 29 /Muharam / 1421 H
(Fatwa Syaikh Dr. Rabi Bin Hadi Al Madkhali, Edisi Indonesia Fatwa
Ulama Seputar Jama’ah Tabligh, Penerjemah Abu Bakar, Penerbit Al Haura)
Fatwa Terakhir Syeikh Abdul Aziz Bin Baz : Tahdzir (Peringatan) atas Jama’ah Tabligh
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya tentang Jamaah
Tabligh, si penanya berkata : “Wahai samahatu Syeikh, kami mendengar
tentang Jamaah Tabligh dan dakwah yang mereka lakukan. Apakah Syeikh
menasehatiku untuk bergabung dengan jamaah ini? Saya mohon diberi
bimbingan dan nasehat, semoga Allah melipatgandakan pahala syeikh”.
Maka Syeikh menjawab dengan mengatakan : Setiap orang yang berdakwah
kepada Allah maka ia adalah mubaligh, (balighu ‘anni walau ayah) artiya
“sampaikanlah dariku walau satu ayat”. Akan tetapi Jamaah Tabligh yang
terkenal, yang berasal dari india ini, mereka memiliki
khurafat-khurafat, mereka memiliki sebagian bid’ah-bid’ah dan perbuatan
syirik, maka tidak boleh keluar (berpergian) bersama mereka, kecuali
seorang yang memiliki ilmu, ia keluar untuk mengingkari perbuatan
mereka, dan mengajar mereka. Adapun jikalau ia keluar untuk mengikuti
mereka, maka jangan (jangan keluar bersama mereka-pent). Karena mereka
memiliki khurafat-khurafat, mereka memiliki kesalahan dan kekurangan
dalam ilmu, akan tetapi jika ada jamaah dakwah selain mereka dari
kalangan ahli ilmu dan ahli pemahaman, maka (tidak mengapa-pent) ia
keluar bersama mereka untuk berdakwah kepada Allah. Atau seseorang yang
memiliki ilmu, dan pemahaman, maka ia keluar bersama mereka untuk
memahamkan mereka, mengingkari (kesalahan) mereka, dan membimbing mereka
kepada jalan yang baik, serta mengajar mereka, sehingga mereka
meninggalkan mazhab (ajaran) yang batil, dan memegang mazhab ahli sunnah
wal jamaah.”
Maka hendaklah jamaah tabligh dan siapa yang simpati kepada mereka
mengambil faidah dari fatwa ini yang menjelaskan kondisi mereka
sebenarnya, akidah mereka, manhaj mereka dan karangan-karangan pemimpin
mereka yang mereka ikuti. (Fatwa samahatus Syeikh Abdul Aziz Bin Baz ala
Jamaatu Tabligh, fatwa ini dikeluarkan di Taif kira-kira dua tahun
sebelum beliau wafat, dan didalamnya terdapat bantahan terhadap
kekeliruan Jamaah Tabligh terhadap perkataan yang lama yang bersumber
dari Syeikh, sebelum jelas baginya akan hakikat kondisi dan manhaj
mereka).
Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimin tergolong dari 72 golongan (firqah sesat).
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya : “Semoga Allah
berbuat baik kepada Anda, hadits Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam,
tentang berpecahnya umat-umat (yakni) sabda beliau : “Umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan kecuali satu”. Apakah Jamaah Tabligh dengan
kondisi mereka yang memiliki beberapa kesyirikan dan bid’ah, dan Jamaah
Ikhwan Muslimin dengan kondisi mereka yang memiliki sifat hizbiyah
(berkelompok), dan menentang penguasa, serta tidak mau tanduk dan patuh,
apakah dua golongan ini masuk ? (ke dalam hadits tadi,red).
Maka Syeikh menjawab : “Dia masuk dalam 72 dolongan ini (golongan
sesat, red), barangsiapa yang menyelisihi akidah ahli sunnah maka ia
telah masuk kepada 72 golongan. Maksud dari sabda beliau (umatku) adalah
umat ijabah artinya mereka yang menerima dan menampakkan keikutan
mereka kepada beliau, tujuh puluh tiga golongan, yang lolos dan selamat
adalah yang mengikuti beliau dan konsekwan dalam agamanya. Dan tujuh
puluh dua golongan, di antara mereka ada bermacam-macam, ada yang kafir,
ada yang bermaksiat dan ada yang berbuat bid’ah.”
Lalu si penanya berkata : “Maksudnya kedua golongan ini (Jamaah
Tabligh dan Ikhwan) termasuk dari tujuh puluh dua ? Syeikh menjawab :
“Ya. Termasuk dari tujuh puluh dua, begitu juga Murjiah dan lainnya,
Murjiah dan Khawarij. Oleh sebagain ahli ilmu memandang Khawarij
tergolong dari orang kafir yang keluar dari Islam, akan tetapi ia
termasuk dari keumuman tujuhpuluh dua itu. (Direkam dalam pelajaran
syaikh Bin Baz, Syarh al Muntaqa di kota Thaif, sebelum beliau wafat
kira-kira dua tahun atau kurang).
Hukum Khuruj (Keluar) Bersama Jamaah Tabligh.
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah Bin Baz telah ditanya :
“Saya telah keluar bersama Jamaah Tabligh ke India dan Pakistan, kami
berkumpul dan shalat di mesjid-mesjid yang di dalamnya terdapat kuburan,
dan saya mendengar bahwa shalat di mesjid yang di dalamnya terdapat
kuburan, maka shalatnya batal (tidak sah), apakah pendapat Syeikh
tentang shalat saya, apakah saya mengulanginya, dan apa hukum khuruj
(keluar) bersama mereka kepada tempat-tempat seperti ini?
Jawab :
“Bismillah walhamdulillah, amma ba’du : Sesungguhnya Jamaah Tabligh,
mereka tidak mempunyai ilmu dan pemahaman dalam masalah-masalah akidah,
maka tidak boleh keluar (khuruj) bersama mereka, kecuali bagi orang yang
memiliki ilmu dan pemahaman tentang akidah yang benar yang dipegang
teguh oleh ahli sunnah wal jamaah, sehingga ia membimbing, dan
menasehati mereka, serta bekerja sama dengan mereka dalam kebaikan,
karena mereka gesit dalam beramal, akan tetapi mereka butuh penamahan
ilmu dan butuh kepada orang yang akan memahamkan mereka dari kalangan
ulama-ulama tauhid dan sunnah. Semoga Allah menganugerahkan kepada semua
akan pemahaman dalam agama dan konsekwen di atasnya. Adapun shalat di
dalam mesjid-mesjid yang di dalamnya ada kuburan, maka shalatnya tidak
sah, dan kamu wajib mengulangi shalat yang kamu kerjakan di
mesjid-mesjid itu, karena Nabi bersabda :
áóÚóäó Çááåõ ÇáúíóåõæúÏó æóÇáäøóÕÇóÑóì ÇÊøóÎóÐõæÇ ÞõÈõæúÑó ÃóäúÈöíÇóÆöåöãú ãóÓúÌöÏðÇ
“Allah telah melaknat Yahudi dan Narani yang mereka menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai mesjid”. (Muttafaqun ‘alaihi).
Dan sabda Beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam :
ÃóáÇó æóÅöäøó ãóäú ßÇóäó ÞóÈúáóßõãú ßóÇäõæÇ íóÊøóÎöÐõæúäó ÞõÈõæúÑó
ÃóäúÈöíÇóÆöåöãú æóÕóÇáöÍöíúåöãú ãóÓÇóÌöÏó ÃóáÇó æóáÇó ÊóÊøóÎöÐõæÇ
ÇáúÞõÈõæúÑó ãóÓÇóÌöÏó Åöäøöí ÃóäúåÇóßõãú Úóäú Ðóáößó
“Ingatlah sesungguhnya orang sebelum kalian, mereka menjadikan
kuburan nabi-nabi dan orang-orang shaleh mereka sebagai mesjid,
ingatlah, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan sebagai
mesjid, sesungguhnya saya melarang kalian akan itu”. (H.R. Muslim). Dan
hadits-hadits pada hal ini sangatlah banyak, wa billahi taufiq, semoga
Allah menanugerakan salawat dan salam atas nabi kita Muhammad dan atas
keluarganya serta sahabatnya. (Fatwa dikeluarkan tanggal 2/11/1414 H)
Perkataan Syaikh Abdul Aziz Bin Baz : “Maka tidak boleh khuruj
(keluar) bersama mereka, kecuali orang yang mempunyai ilmu dan pemahaman
tentang akidah yang shahih yang dipegang teguh oleh Ahli Sunnah wal
Jamaah, sehingga ia bisa membimbing dan menasehati mereka serta bekerja
sama dengan mereka untuk melakukan kebajikan.”
Penyusun mengatakan : “Semoga Allah merahmati Syeikh, kalaulah mereka
itu mau menerima nasehat, dan bimbingan dari ahli ilmu, tentulah tidak
ada halangan untuk keluar (khuruj) bersama mereka, akan tetapi realita
yang membuktikan bahwasanya mereka tidak mau menerima nasehat dan tidak
mau meninggalkan kebatilan mereka. Disebabkan ta’asub (fanatik) dan
sikap menuruti hawan nafsu mereka yang bersangatan. Kalaulah mereka
menerima nasehat-nasehat para ulama, niscaya mereka telah meninggalkan
manhaj mereka yang batil dan pastilah mereka telah menempuh jalan ahli
tauhid dan sunnah. Jika seandainya permasalahannya seperti itu, maka
tidaklah boleh khuruj (keluar) bersama mereka, sebagaimana sikap itu
merupakan sikap manhaj salafusholeh yang berpengang kepada kitab dan
sunnah dalam mentahdzir (memperingatkan) dari ahli bid’ah dan dari
bergaul serta bermajlis dengan mereka, karena hal itu adalah menambah
banyaknya keanggotaan mereka, dan membantu dan memperkuat bersebarnya
kesesatan mereka, dan hal itu adalah pengkhianatan terhadap agama Islam
dan kaum muslimin, terpedaya oleh mereka dan kerja sama dalam melakukan
dosa dan melampaui batas. Apalagi mereka itu melakukan bai’at
berdasarkan atas 4 macam tarikat (ajaran) sufi yang di dalamnya terdapat
keyakinan hululiyah (Allah menepati makhluk) dan wahdatul wujud (Allah
dan makhluk satu) serta syirik dan bid’ah.”
Fatwa Lajnah Daimah (Lembaga Tetap) tentang Jamaah Tabligh. No fatwa : 17776, tertanggal : 18/3/1416 H.
Seorang penanya (Muhammad Kahlid Al Habsi) bertanya setelah ia
mengemukakan pertanyaan pertama, sebagai berikut : Pertanyaan Kedua :
“Saya pernah membaca beberapa fatwa Syeikh (Ibnu Baz). Dan Syeikh
mendorong / mengajak pelajar (penuntut ilmu) untuk keluar (khuruj)
bersama Jamaah Tabligh, dan alhamdulillah kami telah khuruj bersama
mereka, dan kami memetik faidah yang banyak, akan tetapi, wahai Syeikh
yang mulia, saya melihat sebagian amalan (yang dikerjakan-pent) tidak
ada tercantum di dalam Kitabullah dan sunnah rasul-Nya seperti :
1. Membuat lingkaran di dalam mesjid pada setiap dua orang atau lebih,
lalu mereka saling mengingat sepuluh surat terakhir dari Al Quran, dan
konsisten dalam menjalankan amalan ini dengan cara seperti ini pada
setiap kali kami khuruj (keluar).
2. Ber’itikaf pada seriap hari Kamis dalam bentuk terus menerus.
3. Membatasi hari untuk khuruj, yaitu tiga hari dalam satu bulan, empat puluh hari setiap tahun dan empat bulan seumur hidup.
4. Selalu doa berjamaah setiap setelah bayan (pelajaran).
Bagaimanakah wahai syeikh yang mulia, jika seandainya saya keluar
bersama jamaah ini, dan saya melakukan amalan-amalan dan perbuatan ini
yang tidak pernah terdapat di dalam kitabullah dan sunnah rasul,
ketahuilah wahai syeikh yang mulia, sesungguhnya merupakan hal yang
sangat sukar sekali untuk merobah metode (manhaj) ini. Beginilah cara
dan metode mereka seperti yang diterangkan di atas.
Jawab :
“Apa yang telah anda sebutkan dari perbuatan jamaah ini (Jamaah
Tabligh) seluruhnya adalah bid’ah, maka tidak boleh ikut serta sama
mereka, sampai mereka berpegang teguh dengan manhaj kitab dan sunnah
serta meninggalkan bid’ah-bid’ah.”
Tertanda : Ketua Lajnah : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.
Anggota : Abdul Aziz bin Abdullah Ali Syeikh.
Anggota : Sholeh bin Fauzan Al Fauzan.
Anggota : Bakr bin Abdullah Abu Zaid.
Fatwa Syeikh ‘Alaamah Muhammad bin Ibrahim Ali Syeikh : Tahdzir (peringatan) dari jamaah Tabligh.
“Dari Muhammad bin Ibrahim ke hadapan pangeran Khalid bin Su’ud,
pimpinan kantor kerajaan yang terhormat, Assalamu’alaikum warahmatullah
wabarakatuh dan selanjutnya : Sungguh saya telah menerima surat Pangeran
(No 36/4/5-d, tertanggal 21/1/1382 H) beserta lampirannya, hal itu
adalah harapan yang diangkat kepada hadapan dipetuan agung Raja yang
terhotmat, dari Muhammad Abdul Majid Al Qadiri, Syah Ahmad Nurani, Abdus
Salam Al Qadiri dan Su’ud Ahmad Ad Dahlawi, sekitar permohonan mereka
minta bantuan untuk proyek organisasi mereka yang mereka namakan (Kuliah
Da’wah Tabligh Al Islamiyah) dan begitu juga buku-buku kecil yang
dilampirkan bersama surat mereka. Saya mengemukakan kepada hadapan
Pangeran, bahwasanya organisasi ini tidak ada kebaikan di dalamnya,
karena sesungguhnya ia adalah organisasi bid’ah dan sesat. Dan dengan
membaca buku-buku kecil yang dilampirkan dengan surat mereka, maka kami
telah menemukan buku-buku itu mengandung kesesatan, bid’ah dan dakwah
(ajakan) kepada mengibadati kubur dan syirik. Hal itu adalah perkara
yang tidak mungkin didiamkan. Oleh karena itu kami insya Allah akan
membalas surat mereka dengan apa yang mungkin menyingkap kesesatan
mereka dan membantah kebatilan mereka. Dan kita mohon kepada Allah
semoga Dia menolong agama-Nya, dan mengangkat kalimat-Nya,
wassalamu’alikum warahmatullah”. [S-M-405 pada tanggal 29/1/1382H].
(Rujukan kitab Al Qaulul Baligh fit Tahdzir Min Jamaatit Tabligh, oleh
syeikh Hamud At Tuwaijiri halaman : 289).
Fatwa syeikh Alaamah Muhammad Nasuruddin Al Albani tentang Jamaah Tabligh. Beliau pernah ditanya :
“Apakah pendapat Syekh tentang Jamaah Tabligh, apakah boleh bagi pelajar
(penuntut ilmu) atau lainnya untuk khuruj (keluar) bersama mereka
dengan dalih berdakwah kepada Allah ?
Maka beliau menjawab :
Jamaah Tabligh tidak berdiri (berdasarkan) atas manhaj kitabullah dan
sunnah rasul-Nya ‘alaihi salawat wa salam, dan apa yang dipegang oleh
salafuu sholeh. Kalau seandainya perkaranya seperti itu, maka tidaklah
boleh khuruj bersama mereka, karena hal itu bertentangan dengan manhaj
kita dalam menyampaikan manhaj salafus sholeh. Maka dalam medan dakwah
kepada Allah, yang keluar itu adalah orang yang berilmu, adapun
orang-orang yang keluar bersama mereka, yang wajib mereka lakukan adalah
untuk tetap tinggal di negeri mereka dan memperlajari ilmu di
mesjid-mesjid mereka, sampai-sampai mesjid-mesjid itu mengeluarkan ulama
yang melaksanakan tugas dalam dakwah kepada Allah. Dan selama
kenyataanya masih seperti itu, maka wajiblah atas penuntut ilmu
(pelajar) untuk mendakwahi mereka-mereka itu (Jamaah Tabligh-pent) di
dalam rumah mereka sendiri, agar mempelajari kitab dan sunnah dan
mengajak manusia kepadanya. Sedang mereka -yakni Jamaah Tabligh- tidak
menjadikan dakwah kepada kitab dan sunnah sebagai dasar umum, akan
tetapi mereka mengatagorikan dakwah ini sebagai pemecah. Oleh karena
itu, maka mereka itu lebih cocok seperti Jamaah Ikhwan Muslimin.
Mereka mengatakan bahwa dakwah kami berdiri atas kitab dan sunnah,
akan tetapi ini hanya semata-mata ucapan, sedangkan mereka tidak ada
akidah yang menyatukan mereka, yang ini Maturidi dan yang itu Asy’ari,
yang ini sufi dan yang itu tidak punya mazhab. Itu, karena dakwah mereka
berdiri atas dasar : bersatu, berkumpul, kemudian pengetahuan. Pada
hakikatnya mereka tidak mempunyai pengetahuan sama sekali, sungguh telah
berjalan bersama mereka waktu lebih dari setengah abad, tidak pernah
seorang alim pun yang lahir di tengah-tengah mereka. Adapun kita, maka
kita mengatakan : Berpengetahuan (dulu), kemudian berkumpul, sehingga
perkumpulan itu berada di atas pondasi yang tidak ada perbedaan di
dalamnya. Dakwah Jamaah Tabligh adalah sufi moderen, yang mengajak
kepada akhlak. Adapun memperbaiki akidah masyarakat, maka mereka itu
tidak bergeming, karena dakwah ini (memperbaiki akidah) -sesuai dengan
prasangka mereka- memecah belah.
Dan sungguh telah terjadi koresponden antara akh Sa’ad Al Hushain dan
pemimpin Jamaah Tabligh di India atau Pakistan, maka jelaslah darinya
bahwa sesungguhnya mereka itu menyetujui tawasul, dan istighatsah dan
banyak hal-hal lain yang sejenis ini. Dan mereka meminta kepada anggota
mereka untuk membai’at di atas emapat macam terikat (ajaran),
diantaranya adalah : An Naqsyabandiyah, maka setiap orang tabligh
seyogyanya untuk membai’at di atas dasar ini.
Dan mungkin seorang akan bertanya : Sesungguhnya Jamaah ini,
disebabkan usaha anggota-anggotnya telah kembali (insaf dan sadar)
kebanyakan manusia kepada Allah, bahkan mungkin melalui tangan-tangan
mereka kebanyakan orang non muslim telah masuk Islam. Apakah ini sudah
cukup sebagai dalih bolehnya untuk keluar dan bergabung bersama mereka
pada apa yang mereka dakwahkan? Maka kita katakan : “Sesungguhnya
ucapan-ucapan ini sering kami ketahui dan kami dengar dan kami dengar
(juga) dari orang-orang sufi!!. Ini bagaikan : Ada seorang syeikh
akidahnya rusak, dan tidak pernah mengetahui sedikitpun tentang sunnah,
bahkan ia memakan harta orang dengan cara batil (tidak sah)…. Disamping
itu banyak orang yang fasik (yang berdosa) bertaubat lewat tangannya….!
Maka setiap jamaah yang mengajak kepada kebajikan pasti mempunyai
pengikut, akan tetapi kita harus melihat kepada intisari permasalahan,
kepada apakah yang mereka mengajak / berdakwah? Apakah kepada mengikuti
kitabullah dan hadits Rasul, kepada akidah salafus sholeh, tidak
ta’ashub (fanatik) mazhab, dan mengikuti sunnah, dimanapun dan sama
siapapun? Maka Jamaah Tabligh, mereka tidak memiliki manhaj ilmu, akan
tetapi manhaj mereka sesuai dengan tempat dimana mereka berada, mereka
berubah warna dengan setiap warna.
(Rujuklah Fatwa Imaratiyah, karangan Al Albani soal no : 73 hal : 38).
Tulisan kelima dari lima tulisan (tulisan terakhir).
Fatwa Syeikh Alaamah Abdur Razzaq ‘Afifi Tentang Jamaah Tabligh.
Syeikh ditanya tentang khuruj Jamaah Tabligh dalam rangka
mengingatkan manusia kepada keagungan Allah. Maka Syeikh berkata : “Pada
kenyataannya, sesungguhnya mereka adalah mubtadi’ (orang yang membuat
bid’ah) yang mutar balikkan serta pelaku terikat (ajaran) Qadariyah dan
lainnya. Khuruj mereka bukanlah di jalan Allah, akan tetapi di jalan
Ilyas (Muhammad Ilyas, pendiri Jamaah Tabligh-pent), mereka tidak
mengajak kepada kitab dan sunnah, akan tetapi mengajak kepada Ilyas
Syeikh mereka di Bangladesh. Adapun khuruj dengan tujuan dakwah kepada
Allah, itulah khuruj di jalan Allah, dan ini bukan khurujnya Jamaah
Tabligh. Saya mengetahui Jamaah Tabligh sejak zaman dahulu, mereka itu
adalah pembuat bid’ah di manapun mereka berada, di Mesir, di Israil, di
Amerika, di Saudi, semua mereka selalu terikat dengan syeikh mereka
yaitu Ilyas”.
(Fatawa dan Rasail oleh samahatu syeikh Abdur Razzaq ‘Afifi juz 1/174).
Fatwa Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan Syeikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan telah ditanya :
“Apakah pendapat syeikh tentang orang yang keluar (khuruj) ke luar
Kerajaan Saudi untuk berdakwah, sedangkan mereka belum pernah menuntut
ilmu sama sekali, dan mereka memberikan motivasi untuk itu, dan mereka
elu-elukan syi’ar yang aneh, dan mendakwakan sesungguhnya siapa yang
keluar di jalan Allah untuk berdakwah, maka Allah akan memberinya ilham.
Mendakwakan sesungguhnya ilmu itu bukanlah syarat yang penting. Tentu
Syeikh mengetahui bahwa di luar kerajaan Saudi ini akan ditemukan
aliran-aliran dan agama-agama serta pertanyaan-pertanyaan yang akan
dilontarkan kepada si dai. Tidakkah Anda melihat wahai Syeikh yang
mulia, sesungguhnya orang yang keluar di jalan Allah itu harus mempunyai
senjata agar bisa menghadapi masyarakat, terkhusus di timur Asia,
dimana mereka memerangi / membenci pembaharu dakwah Syeikh Muhammad bin
Abdul Wahhab? Saya mohon jawaban atas pertanyaan saya ini agar
manfaatnya menyebar.”
Jawab :
Khuruj (keluar) di jalan Allah, bukanlah khuruj yang mereka maksudkan
sekarang. Khuruj (keluar) di jalan Allah adalah keluar untuk berperang.
Adapun apa yang mereka namakan dengan khuruj itu, sesungguhnya ini
adalah bid’ah yang tidak pernah datang dari salaf. Seorang keluar untuk
berdakwah kepada Allah, tidaklah dibatasi pada hari-hari tertentu, akan
tetapi berdakwah kepada Allah sesuai dengan kesempatan dan kemampuannya,
tanpa harus terikat dengan jamaah atau terikat dengan empat puluh hari
atau kurang atau lebih. Dan begitu juga, di antara yang wajib atas
seorang dai, ia haruslah mempunyai ilmu, seseorang tidak boleh berdakwah
kepada Allah sedangkan ia bodoh (tidak berilmu), Allah berfirman :
Artinya : “Inilah jalanku, yang aku mengajak kepada Allah di atas
pengetahuan” Yaitu atas ilmu, karena seorang dai mesti mengetahui apa
yang akan didakwahinya, berupa hukum-hukum yang wajib, yang sunat, yang
haram dan yang makruh. Dia harus mengetahui apa itu syirik, maksiat,
kekufuran, kefasikan, kemaksiatan. Dan harus mengetahui tingkat-tingkat
pengingkaran, dan bagaimana cara mengingkari.
Khuruj yang menyebabkan disibukan dari menuntut ilmu adalah perkara
yang batil (salah), karena menuntut ilmu itu adalah fardu (kewajiban),
dan ilmu itu tidak bisa didapatkan kecuali dengan cara belajar, tidak
akan didapatkan dengan cara ilham, ini merupakan khurafat sufi yang
sesat, karena amal tanpa ilmu adalah kesesatan. Dan tentu meraih ilmu
tanpa belajar adalah angan-angan yang salah.
(Dari kitab Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad Da’wah)
(Dikutip dari terjemah Fatwa Syaikh Dr. Rabi Bin Hadi Al Madkhali,
Edisi Indonesia Fatwa Ulama Seputar Jama’ah Tabligh, Penerjemah Abu
Bakar, Penerbit Al Haura, terjemah Tsalatsu Muhadharat fil Ilmi Wad
Da’wah)