Setiap
bulan Rabiul Awal tiba, mayoritas umat Islam di seluruh dunia merayakan
hari kelahiran Nabi SAW, manusia paling agung di dunia. Kelahiran Nabi
SAW merupakan hari bersejarah bagi umat Islam, sehingga berdasarkan
kecintaan kepada beliau, umat Islam merayakannya dengan gegap gempita,
dengan cara membacakan kisah kelahiran dan perjuangan beliau, disertai
dengan suguhan sedekah kepada sesama Muslim.
Perayaan maulid Nabi SAW, meskipun
berkembang di dunia Islam sejak abad kelima Hijriah, akan tetapi para
ulama ahli hadits dari berbagai madzhab, seperti al-Hafizh Ibnu Dihyah
al-Kalbi, al-Hafizh Ibnu al-Jauzi, al-Hafizh Ibnu Taimiyah al-Harrani,
al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, al-Hafizh al-Sakhawi, al-Hafizh
al-Suyuthi dan lain-lain, memfatwakan positif terhadap perayaan maulid
Nabi SAW.
Hanya saja belakangan, muncul aliran
Wahabi, yang lahir di Najd pada akhir abad kedua belas Hijriah, dan
mulai memfatwakan larangan perayaan maulid Nabi saw. Salah satu fatwa
Wahabi yang beredar di dunia maya adalah fatwa ulama Wahabi kontemporer,
yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin. Catatan ini akan
memberikan komentar dan kritik terhadap fatwa nyeleneh al-‘Utsaimin yang
dengan lantang mengharamkan perayaan maulid Nabi SAW, akan tetapi
dengan pura-pura tidak tahu, al-‘Utsaimin tidak mengomentar terhadap
dalil-dalil yang diajukan oleh para ulama ahli hadits masa silam tentang
kebolehan maulid Nabi SAW. Sehingga seakan-akan fatwa-fatwa para ulama
ahli hadits tidak memiliki dalil sama sekali. Dan hal ini memposisikan
fatwa Syaikh al-‘Utsaimin kurang memiliki bobot ilmiah.
ALASAN PERTAMA:
Di antara alasan al-‘Utsaimin melarang Maulid Nabi SAW adalah pernyataannya sebagai berikut ini:
“1. Malam kelahiran Rasulullah SAW
tidak diketahui secara qath’i (pasti), bahkan sebagian ulama
kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasannya ia terjadi
pada malam ke 9 (sembilan) Rabi’ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua
belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad r yang biasa
diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi’ul Awwal tidak ada
dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.”
TANGGAPAN KAMI:
Alasan bahwa malam kelahiran Rasulullah
SAW tidak diketahui secara qath’i (pasti), tidak bisa dijadikan
argumentasi untuk menolak kebolehan perayaan Maulid Nabi SAW, karena
beberapa alasan. Pertama, para ulama yang membolehkan dan bahkan
menganjurkan merayakan Maulid Nabi SAW, tidak berargumentasi bahwa malam
kelahiran Rasulullah SAW telah diketahui secara pasti. Kedua, dalam
menetapkan suatu hukum dalam ilmu fiqih, tidak selalu didasarkan pada
dalil yang qath’i (pasti). Bahkan sebagian besar ijtihad para ulama,
termasuk ijtihad Syaikh ‘Utsaimin sendiri, cukup didasarkan pada dalil
yang zhanni (dugaan kuat saja dan tidak pasti). Adanya perselisihan
dalam penetapan malam kelahiran Nabi SAW antara malam 9 atau 12, itu
tidak menjadi persoalan dalam menentukan hukum Maulid Nabi SAW.
ALASAN KEDUA:
Syaikh al-‘Utsaimin berkata:
“2. Di lihat dari sisi syar’i, maka
peringatan maulid Nabi SAW juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara
peringatan maulid Nabi SAW disyari’atkan dalam agama kita, maka
pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi SAW atau sudah
barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya.”
TANGGAPAN KAMI:
Alasan yang dikemukakan oleh Syaikh
al-‘Utsaimin di atas sangat mengada-ada. Menurutnya, peringatan maulid
Nabi SAW tidak ada dasarnya. Pernyataan ini jelas keliru. Para ulama
yang memfatwakan boleh dan menganjurkan perayaan maulid Nabi SAW telah
mengajukan banyak dalil dari al-Qur’an, hadits dan qiyas, akan tetapi
Syaikh ‘Utsaimin tidak membaca dan tidak menanggapinya. Berikut ini akan
kami paparkan beberapa dasar para ulama yang ahli maulid Nabi SAW.
Allah SWT berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ (107)
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. al-Anbiya’ : 107)
Dan Rasulullah SAW telah bersabda:
إِنَّمَا أَنَا رَحْمَةٌ مُهْدَاةٌ. صححه الحاكم (1/91) ووافقه الحافظ الذهبي.
“Aku hanyalah rahmat yang dihadiahkan”. (Hadits sahih menurut al-Hakim (1/91) dan al-Hafizh al-Dzahabi.
Dengan demikian Rasulullah SAW adalah al-rahmat al-‘uzhma (rahmat
yang paling agung) bagi umat manusia. Sedangkan Allah SWT telah
merestui kita untuk merayakan lahirnya rahmat itu. Dalam hal ini Allah
SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ (58)
“Katakanlah: “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira”. (QS. Yunus : 58).
Ibn Abbas menafsirkan ayat ini dengan, “Dengan karunia Allah (yaitu ilmu) dan rahmat-Nya (yaitu Muhammad j), hendaklah dengan itu mereka bergembira”.(Al-Hafizh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, 2/308).
Allah SWT juga berfirman:
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ
أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ
الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ (120)
“Dan semua kisah dari rasul-rasul
kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan
hatimu.” (QS. Hud : 120).
Ayat ini menegaskan bahwa penyajian
kisah-kisah para rasul dalam al-Qur’an adalah untuk meneguhkan hati Nabi
SAW. Dan tentu saja kita yang dha’ifdewasa ini lebih membutuhkan peneguhan hati dari beliau SAW, melalui penyajian sirah dan biografi beliau SAW.
Sisi lain dari perayaan maulid Nabi SAW
adalah, mendorong kita untuk memperbanyak shalawat dan salam kepada
beliau sesuai dengan firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ
يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا
عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا (56)
“Sesungguhnya Allah dan
malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang
beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam
penghormatan kepadanya.” (QS. al-Ahzab : 56).
Dan sesuai dengan kaedah yang telah
ditetapkan, bahwa sarana yang dapat mengantar pada anjuran agama, juga
dianjurkan sebagaimana diakui oleh al-‘Utsaimin dalam al-Ibda’ (hal. 18). Sehingga perayaan maulid menjadi dianjurkan.
Allah SWT juga berfirman:
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ
اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ
لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا
وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (114)
“Isa putera Maryam berdoa: “Ya Tuhan
kami, turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang
hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang
bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi
kekuasaan Engkau; beri rezkilah kami, dan Engkaulah pemberi rezki yang
paling Utama”. (QS. al-Ma’idah: 114).
Dalam ayat ini, ditegaskan bahwa turunnya
hidangan dianggap sebagai hari raya bagi orang-orang yang bersama Nabi
Isa AS dan orang-orang yang datang sesudah beliau di bumi agar
mengekspresikan kegembiraan dengannya. Tentu saja lahirnya Rasulullah
SAW sebagai al-rahmat al-‘uzhma lebih layak kita rayakan dengan penuh suka cita dari pada hidangan itu. Ibn Taimiyah mengatakan:
فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ
وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ، وَيَكُوْنُ لَهُ
فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم كَمَا قَدَّمْتُهُ لَكَ، ا.هـ (ابن تيمية
الحراني، اقتضاء الصراط المستقيم، ص/297).
“Mengagungkan maulid dan
menjadikannya sebagai hari raya setiap musim, dilakukan oleh sebagian
orang, dan ia akan memperoleh pahala yang sangat besar dengan
melakukannya karena niatnya yang baik dan karena mengagungkan Rasulullah
SAW sebagaimana telah aku sampaikan.” (Ibn Taimiyah, Iqtidha’
al-Shirath al-Mustaqim, hal. 297).
ALASAN KETIGA:
“Dan jika sekiranya telah beliau
laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya
tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. Q.S; Al Hijr : 9 .
Dikarenakan acara peringatan maulid
Nabi SAW tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah
bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama.”
TANGGAPAN KAMI:
Pernyataan Syaikh Utsaimin di atas kurang
ilmiah. Menurutnya, Nabi SAW tidak pernah memperingati hari
kelahirannya. Ini jelas keliru.
عن أبي قتادة الأنصاري رضي الله
عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم سئل عن صوم يوم الإثنين قال ذاك يوم
ولدت فيه ويوم بعثت أو أنزل علي فيه. (رواه مسلم).
“Dari Abu Qatadah al-Anshari RA,
bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang puasa hari Senin. Maka beliau
menjawa: “Itu hari di mana aku dilahirkan, hari aku diutus atau wahyu
diturunkan kepadaku.” (HR. Muslim).
Dalam hadits di atas jelas sekali,
Rasulullah SAW berpuasa hari Senin dan menganjurkannya kepada umat Islam
agar melakukannya, di antara alasannya karena pada hari itu beliau
dilahirkan. Ini merupakan bentuk peringatan beliau terhadap hari
kelahirannya yang diekspresikan dengan cara berpuasa sebagai rasa syukur
atas hari bersejarah tersebut.
ALASAN KEEMPAT:
“Hal ini (perayaan maulid Nabi SAW)
jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak Allah, karena kita telah
membuat syari’at baru pada agama-Nya yang tidak ada perintah dari-Nya.
Dan ini pun termasuk bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala :
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan
untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah
Ku-ridha’i islam itu jadi agama bagimu”. Q.S; Al-Maidah : 3.”
TANGGAPAN KAMI:
Menurut Syaikh Utsaimin, perayaan maulid
tidak boleh dilakukan, karena tidak ada ajaran syari’at yang
memerintahkan melakukannya. Di sini kami katakan kepada pengagum beliau,
bahwa tidak ada pula ajaran syari’at yang melarang melakukan maulid
Nabi SAW. Berarti Anda, telah melarang sesuatu yang tidak dilarang dalam
agama.
Sedangkan pernyataan Syaikh Utsaimin
bahwa perayaan maulid Nabi SAW termasuk pendustaan terhadap firman Allah
dalam QS al-Maidah, ayat 3, adalah tidak benar karena dua hal. Pertama,
yang dimaksud sempurna dalam ayat tersebut, adalah dalil-dalil agama
yang bersifat general telah sempurna dalam al-Qur’an dan Sunnah. Bukan
bermaksud, bahwa setiap sesuatu ada ketentuan nash-nya dalam al-Qur’an
dan Sunnah. Kedua, para ulama yang membolehkan maulid Nabi SAW masih
berdalil dengan beberapa ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW,
seperti telah dikemukakan sebelumnya. Jadi kebolehan dan anjuran maulid
Nabi SAW, masih berada dalam lingkup kesempurnaan al-Qur’an dan Sunnah.
NASIHAT BUAT PECINTA UTSAIMIN :
Meskipun Syaikh Utsaimin berfatwa
melarang perayaan maulid Nabi SAW, beliau bersama ulama Wahabi lainnya
juga berfatwa bolehnya merayakan hari nasional berdirinya kerajaan Saudi
Arabia. Padahal dengan logika yang digunakan oleh Syaikh Utsaimin,
harusnya hari nasional kerajaan Saudi Arabi, juga bid’ah madzmumah,
tercela dan tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja
para mufti Wahabi, dalam fatwa-fatwanya terkadang memihak penguasa
mereka. Belakangan, para pengikut Syaikh Utsaimin merayakan haul peringatan
masa kehidupan Syaikh Utsaimin sendiri. Bahkan para pengagumnya juga
mendirikan museum yang sangat megah, yang isinya berupa
peninggalan-peninggalan Syaikh Utsaimin. Seandainya, ada kaum Sunni
melakukan hal yang sama terhadap para ulama shufi panutan mereka, tentu
kaum Wahabi akan mengeluarkan protes dengan alasan bid’ah dan lain
sebagainya. Wallahu a’lam.
(Oleh: KH. Muhammad Idrus Ramli)
1 komentar:
semuanya di anggap bid'ah tanpa mempertimbangkan dan tapa memaknakan hadist maupun al-qur'an dengan sebenar-benarnya. bukannya rasul pernah bilang yah? kalo itu baik untukmu ambil tapi kalo buruk yah buang. Allah juga bilang kan Allah itu telah meneguhkan hati kita. itu artinya semuanya kembali kepada kita sendiri, kita udah dewasa, kita punya otak, kita punya pemikiran, pilih yg mnurut kita benar itupun cukup tanpa mengiming-imingkan yg belum pasti kebenarannya. jika ada seseorang yg membid'ahkan sesuatu jangan telan mentah2 pendapat tersebut. lihatlah, bacalah, dan pahamilah Al-Qur'an yg telah diturunkan oleh Allah, dan lihatlah, bacalah, dan pahamilah Al-hadist yg shahih maka kita akan menemukan jawabannya. baca semua hadist bukan cuma 1-5! tapi semua!
Posting Komentar