
Buku ini menyingkap hal-hal penting di balik wabah
pengkafiran atau menyebut orang lain kafir, pembid’ahan, penyesatan, dan
gerakan-gerakan semacamnya di antara umat muslim yang marak belakangan
ini, khususnya di Indonesia. Dalam pengantar buku ini, Said Agil Siradj
berpendapat bahwa sejak 37 Hijriah, gerakan-gerakan tersebut telah
dijumpai di dunia Islam. Terutama dengan kemunculan kalangan Khawarij
sebagai kelompok oposisi, baik terhadap Ali dan pendukung (Shi‘at)
beliau. Demikian pula terhadap Mu‘awiyah. Bahkan benihnya telah ada pada
masa Nabi, ketika di bulan Syawal tahun 8 Hijriah, seusai Nabi
memenangkan perang Thaif dan Hunain. Dalam perang ini diperoleh harta
rampasan atau
ghanimah yang melimpah. Dalam pembagian yang
dilakukan di Ja‘ranah, para sahabat senior seperti Abu Bakar, Uthman,
Ali, dan Umar Ibn Khattab tidak mendapatan bagian, namun sahabat yang
baru menjadi muallaf alias masuk Islam, justru lebih diprioritaskan oleh
Nabi, termasuk di antara mereka yang sesungguhnya berasal dari kalangan
kaya raya.
Tiba-tiba seseorang bernama Dzul Khuwaishirah dari keturunan Bani
Tamim maju ke depan dan berkata, “Berlaku adillah, hai Muhammad!”,
lantas Nabi menjawab: “Celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil
kalau aku saja tidak berbuat adil?”, sementara Umar yang naik pitam
berkata, “Wahai Rasul, biarkan kupenggal saja lehernya.” Nabi menjawab,
“Biarkan saja!” ketika orang itu berlalu, Nabi berkata pada sahabatnya,
“Akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca al-Qur’an, tapi
tidak sampai melewati batas tenggorokannya. Mereka keluar dari Islam
seperti anak panah tembus keluar dari badan binatang buruannya. Mereka
memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala. Kalau aku
menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti kaum ‘Ad.” (HR.
Muslim pada
Kibat al-Zakah, bab
al-Qismah). Dalam
riwayat lain beliau bersabda, “Mereka itu sejelek-jeleknya mahluk bahkan
lebih jelek dari binatang. Mereka tidak termasuk dalam golonganku, dan
aku tidak termasuk dalam golongan mereka.”
Secara antropologis, kaum Khawarij adalah suku nomad yang melakukan
migrasi ke daerah Eufrat pada saat penaklukan Islam ke kawasan tersebut.
Kebanyakan dari mereka berasal dari suku Tamim yang memiliki cara
berfikir nomad, yaitu menerima sesuatu dengan penuh keyakinan dan
berani. Lebih dari itu, kaum Khawarij memiliki karakter zuhud dan ahli
ibadah sebagaimana ditunjukkan oleh pemimpinnya Abdullah bin Wahab yang
terkenal dengan julukan
Dzuts-Tsafanat(orang yang didahinya ada
tanda sujud). Karakter ini membuat mereka kukuh dalam mempertahankan
pendiriannya. Dengan modal kesalehannya, mereka mampu menyakinkan
masyarakat Kufah dan sebagian kalangan Shi’ah untuk bergabung
bersamannya. (
Rasul Ja’farian, History of The Caliphs: From The
Death of The Messenger(s) to the Decline of the Umayyad Dynasty 11-132
AH. Ansarian, 2003).
Penamaan Khawarij berasal dari kata kerja
kharaja (telah
keluar) yang digunakan untuk menggambarkan mereka sebagai kelompok yang
keluar dari dan menentang kebijakan politik Ali tentang
Tahqim di mana mereka sebelumnya merupakan pengikutnya. Namun, mereka sendiri menamakan dirinya dengan
Syurah (pembeli) yang berarti membeli akhirat dengan kehidupan duniawi. (
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971). Sebutan lainnya adalah
Haruriyah, penisbatan pada nama desa
Harurahdekat
sungai Furat kota Riqqah yang didiaminya lantaran mereka tidak mau
tinggal di Kufah pasca Perang Shiffin. Di samping itu ada sebutan
lainnya bagi golongan ini, yaitu
Muhakkimah, adalah golongan yang memiliki pandangan, bahwa “tidak ada hukum selain Allah”.
Secara formal kelompok ini pertama kali dipimpin oleh Abdullah ibnu
Wahab al-Rasibi sebagai hasil pemilihan di rumah Zaid ibnu Husein oleh
Abdullah ibnu Kawwa’, Urwah Ibnu Djarir, dan Yazid ibnu ‘Ashim.
Kepemimpinan ini menandai awal gerakan militer Khawarij yang kemudian
melahirkan Perang Nahrawan (daerah yang terletak antara kota Wasith dan
Baghdad), yaitu perang antara Khawarij dan Khalifah Ali. Perang ini
melahirkan implikasi penyebaran pengikut Khawarij di berbagai tempat di
luar Irak sebagai konsekuensi logis dari pelarian sejumlah kader
Khawarij dari kekalahan Perang Nahrawan. (
Muhammad bin Abdul Karim al-Syahrastani –w. 548 H-,
al-Milal wa al-Nihal. Cet. 3, Beirut: Dar al-Ma’arif, 1993).
Sebagai sebuah entitas Khawarij memiliki sejumlah karakter.
Pertama,
memiliki sifat zuhud, wara’,gemar dan berlebih-lebihan dalam beribadah.
Ibn Abbas ketika datang pada Khawarij saat diutus Ali berkata: “kening
mereka luka-luka karena terlalu lama sujud, dan tangan mereka seperti
kaki unta lantaran terlalu banyak sujud.” (
Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-,
al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 389).
Kedua, suka berperang dan menggunakan cara kekerasan, yaitu
seperti memaklumkan perang terhadap setiap orang di luar golongan
mereka, mengkafirkan orang: “kalau imam telah kafir, maka kafir pulalah
rakyat seluruhnya.” (
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid II, terj. Muchtar Yahya, dan Sanusi Latief. Jakarta: Jayamurni, 1971, hal. 115).
Ketiga, memiliki kesetiaan yang tinggi. Misalnya dalam kasus
perang di Asak antara Ubaidillah ibn Ziyad dengan tentara 2000 orang
dari pihak Umayyah versus Mirdaz Abu Bila dengan tentara 40 orang dari
pihak Khawarij. Ubaidillah ibn Ziyad tidak jadi membunuh Mirdaz, sebagai
gantinya diserahkan pada petugas penjara, tetapi petugas penjara
memberi kesempatan tinggal di rumahnya pada siang hari, sedangkan pada
malam hari kembali ke penjara. (Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari
–w. 310 H-,
Tarikh al-Tabari,
Juz. V, hal. 232).
Keempat, kesederhanaan dan kedangkalan kognitif. Al-Qur’an
dijadikan dasar halalnya membunuh. Mereka selalu mengeluarkan dalil
surat al-An’am: 57, bahwa tidak ada hukum selain kepunyaan Allah, dan
surat al-Maidah: 33, bahwa barang siapa tidak menghukum menurut hukum
Allah, maka mereka adalah kafir. Dan bagi siapa saja yang dianggap kafir
maka boleh dibunuh, bahkan wanita dan anak-anak boleh dibunuh.
Lebih-lebih ketika menyangkut wilayah kepentingan politik. Pembunuhan
terhadap Abdullah Ibnu Khabbab karena mengakui kekhalifahan Ali adalah
contoh paling awal dari sketsa sejarah kekerasan Khawarij. (
Ibn Abd Rabbih –w. 328 H.-,
al-‘Iqdul Farid, Jilid 2, hal. 390). Bukti
lainnya adalah keluar dari koalisi Ibnu Zubair karena dia tidak mau
mengakui kekafiran Utsman, Ali, Zubair, dan kepemimpinan Aisyah ketika
berseteru dengan Ali.
(Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir al-Thabari –w. ,
Tarikh al-Thabari, juz. IV, hal. 437).
Khawarij kemudian berkembang menjadi beberapa kelompok seperti
al-Zariqah, al-Ibadiyah, al-Najdat, dan al-Shufriyah. Lalu apa
hubungannya dengan berdirinya dinasti Saud di Arab Saudi dan juga
kelompok yang terkenal dengan sebutan Salafi Wahabi? Buku ini tidak
terlalu banyak mengeksplor benang merah antara keduanya. Sebenarnya
banyak penelitian lainnya yang menjelaskan hal tersebut, seperti David
Commins,
The Wahabi Mission and Saudi Arabia, London: I.B. Tauris, 2006. Olivier Roy,
Globalized Islam: The Search for a New Ummah. Sa’id Ramadhan al-Buthi,
al-Salafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarakah La Mazhab Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 1996.
Sebenarnya istilah Salafi sudah dikenal dalam literatur kitab-kitab
klasik. Kata Salafi adalah sebuah bentuk penisbatan kepada generasi awal
pada tiga abad pertama sepeninggal Rasulullah. Namun demikian, saat ini
penggunaan istilah Salafi tercemar oleh propaganda kelompok yang gencar
melakukan klaim sebagai satu-satunya kelompok pewaris kaum Salaf.
Karena itu Olivier Roy menyebut kelompok-kelompok yang mengusung tema
atau mengenakan istilah Salaf belakangan ini, disebut sebagai
neo-Salafisme. Hasan Ibn Ali al-Segaf dalam bukunya
al-Tandid bi Man ‘Addad at-Tauhid menyebut gerakan-gerakan tersebut sebagai
Mutamaslif (Meniru-niru
seolah Salaf). Lalu keterkaitan antara Salafi dengan Wahabi, terletak
pada tataran praksis di mana kelompok Wahabi merasa tersudutkan oleh
penisbatan Barat dan kalangan muslim lainnya yang melekatkan gerakan
dakwah mereka kepada Muhammad Ibn Abdul Wahab. Oleh karena itu mereka
menggunakan istilah Salaf dalam berdakwah, maka kemudian terkenal
istilah dakwah Salaf yang kini kian menjamur di Indonesia sebagai tren
baru.
Dalam pandangan penulis buku ini, Salafi Wahabi bukanlah khawarij,
namun memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda, alias mempunyai
sisi kesamaan. Seperti sikap tanpa tedeng aling yang kerap ditunjukkan
dalam memerangi hal-hal yang mereka anggap sesat, syirik, dan
sebagainya. Propaganda mereka tidak hanya melalui buku, dan radio, tapi
juga secara aktif di masyarakat, seperti masjid-masjid dan sarana
pendidikan. Demikian pula dengan mengeluarkan fatwa-fatwa atau
pernyataan sesat terhadap sesama muslim yang bertentangan dan berbeda
dengan pemahaman mereka. Di antara fatwa-fatwa mereka adalah;
1. Haram memotong jenggot apalagi mencukurnya.
2. Haram wanita mengendarai mobil.
3. Haram wanita berbicara di sisi lelaki.
4. Zikir La ilaaha illallah seribu kali sesat dan musyrik.
5. Shalawat setelah azan dosanya sama dengan perzinaan.
6. Kalimat Shadaqallahu al-Azhim Bid’ah dan sesat.
7. Lelaki haram mengajar anak perempuan, dan perempuan haram mengajar anak lelaki.
8. Orang yang meninggalkan shalat berjama’ah tak boleh dinikahi.
9. Haram membangun menara masjid.
10. Ucapan selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya berdosa.
11. Ucapan selamat hari raya Idul Fitri atau Idul Adha seperti
Kullu ‘Amin wa Antum Bi Khair(semoga setiap tahun anda berada dalam kebaikan) adalah sesat.
12. Haram wanita berpergian sendiri walaupun dalam kondisi aman.
13. Haram menggunakan Tasbih.
Selain itu masih banyak fatwa lainnya yang berada pada tataran
mu’amalat dan
tidak dicantumkan dalam buku tersebut, seperti fatwa dua orang ulama
Saudi, Sheikh Othman Al-Khamees dan Sa’adal-Ghamidi yang melarang kaum
perempuan memakai internet atau mendatangi tempat-tempat penyewaan jasa
internet kecuali disertai
mahramnya. Kemudian fatwa yang dikeluarkan
General Association of Saudi Senior Ulama tentang
keharaman memberikan bunga saat menjenguk orang yang terbaring sakit
karena perilaku itu menyerupai tradisi dan budaya umat non-muslim.
Ada pula fatwa bernuansa kepentingan dan motif ekonomi dari ulama
Saudi Arabia yang mengharamkan penggunaan bahan bakar bio fuel
dikarenakan dalam bio fuel tersebut terdapat zat ethanol yang dijumpai
pada minum beralkohol, oleh karena itu mereka mengharamkan penggunaan
bio fuel meskipun industri otomotif mulai beralih untuk memproduksi
kendaraan-kendaraan berbahan bakar bio fuel dalam rangka mendukung
gerakan ramah lingkungan dan mengantisipasi pemanasan global. Fatwa ini
dikeluarkan oleh Sheikh Muhammad al-Najimi, seorang anggota dari
Islamic Jurisprudence Academy,
berdasarkan dalil ayat tentang keharaman arak atau minuman beralkohol,
dan hadis Nabi yang melarang segala jenis transaksi yang mengandung
alkohol tersebut. Akan tetapi fatwa ini dikatakan sebagai pendapat
pribadi, bukan merupakan fatwa resmi (
Official Fatwa) lembaga fatwa negara.
Di Indonesia sendiri, fenomena gerakan dakwah ormas-ormas Islam
banyak yang memiliki karakteristik serupa, mereka sering dilabeli
berbagai macam sebutan, dari konservatif, skriptural, tekstual, literal,
fundamentalisme, revivalisme, dan sebagainya. Melimpahnya kategorisasi
ini setimpal dengan penolakan-penolakan atas labelisasi tersebut. Tetapi
secara empirik, keberadaan tipikal dakwah puritanisme ala Salafi
Wahabi, benar-benar ada di Indonesia. Oleh karena itu penulis buku ini
turut melansir beberapa nama, baik tokoh maupun lembaga yang menaungi
propaganda atau seide dengan paham Salafi Wahabi tersebut.
Judul buku: Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi
Penulis: Syaikh Idahram
Penerbit: Pustaka Pesantren, 2011
Anda mungkin juga meminati: