Minggu, 20 Mei 2012 - 0 komentar

Rekam Jejak Gerakan Wahhabisme 2 (Perjalanan Wahhabisme dalam Sejarah)

Pendiri gerakan Wahhabi, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, berasal dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hambali, dan sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama bermazhab Hambali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke-14 M.
Sebelum menjadi mubaligh, ia banyak melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang motifnya tidak begitu jelas[4]. Mekkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah (Irak), Damaskus (Syria), Qum (Iran), Afghanistan serta India adalah wilayah yang sempat ia kunjungi. Setelah berkelana dan belajar di berbagai kota, lantas ia pun membawa doktrin-doktrin yang kemudian dijadikan landasan pemikiran dan keyakinannya, yang nantinya dinilai bermasalah oleh mayoritas kalangan Sunni ataupun Syi’ah.
Sebagian peneliti meragukan motif utama Wahhabisme sebagai gerakan keagamaan murni. Mereka mengajukan bukti yang mengarah kepada keraguan tersebut. Salah satunya adalah bukti yang diajukan oleh Dr. Abdullah Mohammad Sindi, seorang professor yang berasal dari Saudi Arabia. Dalam makalahnya yang berjudul “Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud[5], ia mengutip sebuah memoar yang ditulis seorang agen rahasia Inggris yang berjuluk Hempher.
Dalam “Confession of a British Spy[6], demikian judul memoar tersebut, Hempher mengakui adanya sebuah konspirasi Inggris untuk menggoyang kekuasaan Imperium Ottoman (Utsmaniyah) serta untuk menciptakan konflik di antara kaum Muslim.
Hempher yang berpura-pura memeluk Islam itu menjalin persahabatan panjang dengan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Hingga akhirnya berhasil melakukan brainwash terhadap Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, sehingga mampu meyakinkannya bahwa kebanyakan kaum Muslim saat itu telah menyimpang dari ajaran yang benar. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah manusia terpilih yang bisa menyelamatkan Islam dari berbagai penyimpangan.
Tentang kepribadian Ibn Abdul-Wahhab, Hempher menggambarkannya sebagai seorang yang tidak stabil, berperangai buruk, gugup, sombong, dan bodoh.[7]
Jika memoar tersebut benar adanya, maka tak diragukan bahwa gerakan Wahhabisme sejak awal sudah terlibat dalam konspirasi yang disusun oleh kolonial Inggris. Namun karena adanya sebagian peneliti yang meragukan memoar tersebut dengan menunjukkan beberapa kejanggalan, maka tidak menutup kemungkinan bahwa gerakan Wahhabisme pada awalnya memang merupakan gerakan keagamaan. Meskipun pada perkembangan berikutnya, adanya campur tangan Inggris tak bisa dipungkiri lagi.
Untuk menarik berbagai analisa dari sebuah gerakan kontroversial ini, penulis membagi perjalanan sejarah Wahhabisme dalam tiga periode:


Periode Pertama (1744-1818): Babak Awal Aliansi Wahhabi-Saudi
Huraymilah terletak di Najd, sebuah wilayah di bagian timur jazirah Arab. Di sinilah dakwah Ibnu ‘Abdul Wahhab dimulai setelah kembali dari pengembaraannya. Ajarannya yang keras itu mengalami penolakan dari masyarakat setempat, termasuk dari ayah dan saudaranya sendiri.
Pada periode ini, Ibnu ‘Abdul Wahhab menyusun sebuah buku kecil sederhana yang diberi judul Kitâb al-Tawhîd, sebuah rujukan yang miskin bobot intelektual, sebab di dalamnya tidak ada penjelasan yang menunjukkan bangunan kerangka berpikir sang penulis. Tentang kitab ini, simak komentar Prof. Hamid Algar:
Alih-alih menguraikan doktrin Islam yang paling fundamental seperti tercermin dari judulnya, buku kecil itu hanya berisi kumpulan hadits tanpa diberi komentar, yang disusun dalam enam puluh tujuh bab.
……
Adalah lebih mendekati kebenaran untuk mengatakan buku ini dan karya-karya lain Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab merupakan catatan-catatan seorang pelajar.
……
Tampaknya para pelindung Wahhabisme merasa malu dengan ketipisan karya Muhammad bin ‘Abd Wahhab, sehingga mereka memandang karya itu perlu dipertebal ukurannya.[8]
Setelah empat belas tahun menyebarkan ajarannya, ia kembali ke tempat kelahirannya, ‘Uyaynah, yang kini memiliki kondisi yang lebih menguntungkan. Penguasa setempat, yaitu ‘Utsman ibn Mu’ammar memperluas perlindungannya kepada Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dan bersumpah untuk setia kepada pemahaman tauhid yang didakwahkan oleh Ibnu ‘Abdul Wahhab.
Perlindungan penguasa membuat Ibnu ‘Abdul Wahhab semakin tak terkendali. Ia semakin terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah. Ia mulai mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin serta menolak berbagai tafsir Al-Qur’an yang dianggapnya menyimpang.
Namun ini tidak berlangsung lama. Penguasa saat itu, ‘Utsman ibn Mu’ammar, menyerah kepada pimpinan suku yang kuat di wilayah itu, sehingga pada tahun 1744 ia diusir penguasa baru yang membuatnya pindah ke Al-Dir’iyyah (masih di Najd), ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, yang notabene bermusuhan dengan amir ‘Uyainah saat itu. Di sinilah Ibnu ‘Abdul Wahhâb mendapat perlindungan. Selanjutnya terbentuklah sebuah aliansi permanen yang meliputi tiga aspek: politik, keagamaan, dan perkawinan. Di bidang politik, sebagai amir Ibnu Sa’ud mendapatkan legitimasi keagamaan; dalam bidang keagamaan Ibnu ‘Abdul Wahhab diuntungkan dengan diangkatnya menjadi qadi serta ajarannya dinyatakan sebagai mazhab resmi; dan dalam perkawinan Ibnu Sa’ud mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebuah aliansi yang tentu saja menguntungkan kedua belah pihak. Prof. Abdullah Mohammad Sindi menyebutkan bahwa lagi-lagi Inggris mengambil peran penting dalam rangka terwujudnya aliansi tersebut. Melalui dukungan uang dan senjata, Inggris semakin mudah menghasut mereka aliansi tersebut.[9]
Inilah babak awal lahirnya sebuah negara teokratik yang kelak mengontrol ketat segala macam bentuk interpretasi keagamaan khususnya di Arab Saudi.
Muhammad bin Saud kemudian menyatakan secara terbuka penerimaannya terhadap berbagai pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammad bin Abdul Wahhab. Tahun 1159 H/ 1746 M, aliansi Wahhabi-Saudi melakukan proklamasi formal jihad melawan semua orang yang tidak sejalan dengan pemahaman tauhid Wahhabisme, yaitu orang-orang yang dianggap sebagai kafir, musyrik, dan murtad. Mula-mula mereka menyerang mazhab Syi’ah, kemudian kaum sufi, lalu mulai menyerang orang-orang Sunni. Semua yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir dan halal darahnya.
Dalam kurun waktu 10 tahun, aliansi tersebut tumbuh pesat menjadi kekuatan dominan di jazirah Arab. Wilayah kekuasaan Muhammad bin Sa’ud berkembang seluas 30 mil persegi.[10]
Tahun 1206 H/ 1791 M, tidak lama sesudah bentrokan dengan penguasa Madinah, Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal. Namun hal ini tidak mengurangi motivasi untuk melakukan penaklukan dan pembantaian. Malah, kekuatan mereka tumbuh semakin besar.
Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di Karbala, tercatat 4000 orang dibantai secara kejam. Secara brutal pula mereka menghancurkan makam Imam Husain di sana. Tahun 1810 mereka membunuh orang-orang tak bersalah di jazirah Arab. Di Makkah mereka menjarah orang-orang yang menunaikan ibadah haji. Di Madinah mereka menyerang dan menodai Masjid dan makam Nabi.
Menyadari kekuatan yang semakin besar, maka target selanjutnya adalah melepaskan diri dari dari Imperium Utsmani. Tidak butuh waktu lama, ekspansi Wahhabi berhasil menimbulkan instabilitas di wilayah kekhalifahan tersebut, terutama di semenanjung Arabia, Irak dan Syam.
Periode Kedua (1818-1932): Kekalahan dan Kebangkitan Baru
Pendudukan kaum Wahhabi atas Haramain memaksa pewaris kekhalifahan yang resmi, yakni Kerajaan Utsmaniyah, untuk bertindak tegas. Terlebih, berbagai aksi teror yang dilancarkan kelompok Wahhabi itu telah membangkitkan kemarahan kaum Muslim sedunia. Untuk menindaklanjutinya, Istanbul mengirim pasukan Mesir untuk menumpas gerakan tersebut. Tahun 1818 M, Ibrahim Pasya dari Mesir mengalahkan kelompok Wahhabi. Dir’iyyah pun diratakan dengan tanah. Abdullah al-Sa’ud, amir saat itu, beserta dua pengikutnya diseret ke Istanbul. Di depan publik kepalanya dipenggal. Sebagian lagi dibawa ke Kairo untuk ditahan di sana. Ini merupakan sebuah pelajaran yang hendak ditunjukkan Kerajaan Utsmaniyah kepada orang-orang yang menggabungkan ambisi politik dengan penyimpangan agama.
Kekalahan itu membuat kelompok Wahhabi yang tersisa semakin terbakar api permusuhan terhadap kelompok Muslim lainnya. Tapi ironisnya, semakin mendekatkan diri kepada kolonial Inggris. Ini terlihat ketika tahun 1851, Faisal Ibn Turki al-Saud yang sebelumnya berhasil meloloskan diri dari tahanannya di Kairo, kembali meminta dukungan Inggris. Sebagai tindak lanjut hubungan itu, tahun 1865 Inggris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk membuat suatu perjanjian.
Di awal abad ke-20, tatkala kekuatan dan strategi Inggris semakin berhasil merongrong kekhalifahan Utsmaniyah, kembali pemimpin Wahhabi saat itu, Abdul ‘Aziz, dimanfaatkan. Lagi-lagi, teror kembali dilakukan kelompok Wahhabi. Dilaporkan, sekitar 1200 orang yang membangkang dibantai secara kejam.[11]
Berkat sokongan Inggris, perlahan tapi pasti aliansi Wahhabi-Saudi di bawah kepemimpinan Abdul ‘Aziz berhasil menaklukkan hampir seluruh jazirah Arab. Puncaknya, tahun 1932 kerajaan Saudi Arabia terbentuk. Ini menandai periode kebangkitan baru aliansi Wahhabi-Saudi.
Periode Ketiga (1932-Sekarang): Patron Baru dan Melemahnya Ikatan
Periode ini ditandai dengan perolehan atas kekayaan minyak dan peralihan dari Inggris ke Amerika sebagai patron asing utama mereka. Kembali aliansi ini dijadikan instrumen istimewa untuk kepentingan Amerika dan sekutunya di Timur Tengah.
Melalui kucuran petrodollar, dalam beberapa dekade terakhir ini Saudi dan Wahhabismenya itu berupaya tidak saja menghilangkan stigma buruk yang melekat kepadanya, tetapi juga secara dramatis berusaha meningkatkan citra diri di tengah dunia Islam. Oleh karena itu, Wahhabisme kini telah disajikan sebagai gerakan reformis yang semata-mata bertujuan untuk melakukan purifikasi di tubuh Islam. Sang pendiri, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab pun ditampilkan sebagai tokoh pembaharu yang telah berhasil memurnikan Islam dari berbagai noda.
Hal-hal memalukan yang menjadi sorotan dunia pun berusaha dieliminasi. Perlakuan diskriminasi terhadap kaum perempuan sebagai warga kelas tiga semakin dikurangi. Tetapi isu-isu sektarian yang menyangkut perlakuan buruk terhadap mazhab minoritas, terutama Syi’ah, tetap berlangsung.[12]
Namun seiring berjalannya waktu, gejala melemahnya ikatan antara kelompok keagamaan Wahhabi dan keluarga Saudi pun semakin kentara. Pemicu utamanya adalah maraknya korupsi, gaya hidup hedonis, serta mulai munculnya gejala sekularisasi. Sejumlah kecil orang mulai berani mengecam dan berani mengungkap penyimpangan-penyimpangan rezim Saudi.
Pemberontakan di Mekkah bulan November 1979, yang dipimpin oleh Juhaiman Muhammad ‘Utaibi, seorang mantan Kopral Garda Nasional Saudi, menjadi peringatan awal adanya kekecewaan pada sebagian kalangan terhadap kerajaan Saudi. Dikuasainya Masjidil Haram oleh sekelompok bersenjata cukup mengejutkan dunia. Gejolak politik pun meledak. Lalu tentara Amerika dan Eropa bersatu membantu pemerintah Saudi memulihkan situasi di tanah suci.[13]
Perang teluk 1991 dan ekspansi besar kehadiran Amerika semakin membuat lebarnya jurang antara kelompok Wahhabi dan rezim Saud.
Sementara pemerintah Saudi semakin mesra dengan Amerika, para ulama Wahhabi justru menganggap Amerika dan sekutunya adalah musuh yang harus diperangi. Lantas orang bertanya, jika demikian, di mana ulama-ulama Wahhabi ketika Irak diluluhlantakkan Amerika, ketika Hizbullah menahan gempuran Israel selama 33 hari, juga ketika genosida terhadap rakyat Palestina berlangsung hingga kini? Jawabnya sederhana: haram membantu perjuangan orang-orang yang tidak seakidah dengan mereka.[14] Itu pula yang menyebabkan kerajaan Saudi setengah hati ketika mendukung penyerangan Amerika terhadap tentara Taliban di Afghanistan yang nota bene berpaham Wahhabi.
Maka ketika World Trade Center di New York luluh lantak pada tanggal 11 September 2001, ulama Wahhabi bernama ‘Abdullah bin Jibrin mengeluarkan fatwa yang tidak hanya membenarkan serangan terhadap WTC, tetapi juga mengutuk orang-orang murtad dan kaum Muslim yang berkolaborasi dengan Amerika, sebuah kategori yang jelas di dalamnya termasuk keluarga Kerajaan Saudi.[15] Namun meski demikian, masih banyak jajaran ulama Wahhabi yang tetap setia dengan rezim Saudi.

0 komentar:

Posting Komentar