Minggu, 20 Mei 2012 - 0 komentar

Mewaspadai Penipuan dan Propaganda Salafy (Wahabi)


 Propaganda Salafy Seputar Madzhab
Mungkin Anda akan bingung menghadapi inkonsistensi Salafy-Wahhabi mengenai madzhab. . Itu semua hanyalah propaganda demi mengelabui orang-orang agar menerima ajaran mereka yang nyeleneh.
Demi diterimanya ajaran mereka, salah satu penerbit Salafy bersembunyi di balik nama besar Imam Asy-Syafi’i. Sambil menyebarkan ajaran nyeleneh mereka, mereka pun mengkampanyekan simbol-simbol masonic melalui logo penerbit. Kampanye simbol masonic ini dapat digunakan untuk mempengaruhi alam bawah sadar para pembaca. Dengan satu pemicu, masonic akan sangat mudah untuk menggiring mereka, yang telah terpengaruh alam bawah sadarnya, kepada ajaran masonic. Mereka yang mempelajari konsep hipnotisme akan memahami hal ini.
Mengapa menggunakan nama Imam Asy-Syafi’i, sedangkan mereka bukan pengikut Imam Asy-Syafi’i ? Itu adalah propaganda untuk mengelabui Muslim Indonesia yang mayoritas bermadzhab Syafi’i.

Di Arab, mereka mengaku bermadzhab Hanbali. Padahal mereka sama sekali bukan pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka adalah penganut ‘Laa Madzhab/Tidak Bermadzhab”’. Mereka tidak taqlid kepada salah satu Imam. Bahkan mereka merasa bahwa mereka berhaq untuk berijtihad.
Namun ‘Laa Madzhab’ hanyalah propaganda para syaikh mereka agar para pengikutnya tidak bermadzhab kecuali kepada para syaikh tersebut. Mereka berfikir bahwa mereka tengah berijtihad. Padahal mereka hanya taqlid kepada fatwa-fatwa nyeleneh para syaikh mereka. Tak pernah mereka berani kelaur dari pendapat para syaikh mereka. Itukah yang dinamakan ijtihad? Itulah taqlid mereka kepada para mujtahid gadungan.
Laa Madzhab Merusak Tatanan Syari’at
Sejarah telah membuktikan bahawa taqlid dan thoriqah tidak sekali-kali menyebabkan ummat menjadi jumud dan beku. Sebaliknya, seruan ijtihad dan bebas dari bertaqlid kepada mazhab tertentu yang diserukan oleh kaum mutassallif abad kita ini, sangatlah meragukan dan hingga kini menimbulkan perpecahan dan kehinaan yang berpanjangan kepada ummat ini. Seruan tersebut masih tidak membuahkan hasil yang dapat dibanggakan. Seruan agar ummat berijtihad tanpa melihat apakah mereka itu layak atau tidak, adalah suatu seruan yang berbahaya dan dapat meruntuhkan agama serta memecah persatuan ummat. Kalaupun hendak berijtihad, maka biarlah hal itu dilakukan oleh ulama yang mencapai derajat mujtahid.
Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi telah mengarang satu buku yang sangat bagus yang menjelaskan tentang bahaya dari paham laa madzhabiyyah (tidak bermadzhab). Karyanya tersebut berjudul “al-La Madzhabiyyah Akhtharu Bid`atin Tuhaddidusy Syarii`atal Islamiyyah” (Tidak Bermazhab adalah Bid`ah yang Paling Bahaya yang Meruntuhkan Syariat Islam). Sebaiknya, siapa yang ingin mengetahui tentang bahaya ini hendaklah membaca dan menelaah karya ulama Syria ini dengan hati yang bersih dan ikhlas untuk mencari kebenaran. Sepertinya telah ada terjemahannya dalam Bahasa Melayu, tetapi kepada yang ingin menjadi mujtahid, bacalah yang dalam Bahasa `Arab. Bagaimana mau menjadi mujtahid kalau masih bertaqlid dengan terjemahan orang lain??
Realitas dari sejarah telah membuktikan bahwa Islam dahulunya berkembang dan gemilang di bawah tangan mereka yang bermazhab dan para sufi. Seruan agar pintu ijtihad dibuka luas hatta kepada golongan awam yang fatihah pun lintang-pukang adalah seruan yang diterbitkan oleh musuh-musuh Islam untuk memusnahkan persatuan ummat. Jelas kesannya, ummat mula berpecah-belah, sehingga mereka meributkan hal yang remeh-temeh, dan meninggalkan pembangunan dalam bidang-bidang lain. Bagaimana tidak, bila ahli ekonomi dan perbankan sibuk membicarakan hukum-hukum khilaf madzhab dan meninggalkan bidang ekonomi dan perbankan yang sepatutnya mereka bangun. Sayang sekali “ijtihad” mereka digunakan dalam perkara-perkara yang telah diijtihadkan oleh para ulama mujtahidin yang terdahulu. Sungguh ijtihad para juhala` itu lebih berbahaya dari taqlidnya mereka kepada ulama yang mujtahid.
Marilah kita merenungkan sepotong hadits yang diriwayatkan oleh Imam ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus yang walaupun dinilai dhoif oleh para muhadditsin tetapi memiliki makna yang shohih yang tidak bertentangan dengan ruh syariat Islam. Tambahan pula bahwa hadits tersebut turut dinukil oleh para muhadits lain dalam karya-karya mereka seperti oleh Imam as-Sayuthi dalam al-Jami`ush Shoghir fi ahaaditsil Basyirin Nadzir yaitu hadits yang ke-11. Tidaklah kita pedulikan penilaian al-Albani yang memaudhu`kan hadits ini, karena jika dia yang memaudhu`kannya, maka ada ulama lain yang tidak mengeluarkannya dari lingkup hadits walaupun dinilai sebagai dhoif (lemah). Jika al-Albani berhak untuk berijtihad bahawa hadits tersebut maudhu` (palsu), maka apa pula yang mencegah para muhaddits terdahulu berijtihad untuk tidak memaudhu`kan riwayat tersebut. Adapun hadits tersebut meriwayatkan bahwa junjungan kita Nabi s.a.w. bersabda: “Penyakit / Kebinasaan bagi agama itu ada tiga: (i) faqih yang fajir; (ii) pemimpin yang jahat; dan (iii) mujtahid yang jahil.
Tanpa memperhatikan kepada sanad hadits di atas, adakah kita tidak setuju bahwa mujtahid yang jahil itu membinasakan agama? Bukankah yang dinyatakan itu adalah satu kebenaran yang tidak boleh ditolak. Semoga Allah merahmati semua mujtahid yang benar-benar layak berijtihad dan dibersihkan-Nya ummat ini dari segala fitnah yang timbul daripada mujtahid-mujtahid gadungan.


-artikelislami-
Oleh id : Wan Alfagir Permanen

0 komentar:

Posting Komentar