
1. Fatwa Syaikh Ali al-Kudhair: Boleh berdusta dan bersumpah palsu demi agama (baca: Wahabi), khususnya bagi para da’i dan mubaligh.
2. Fatwa Syaikh ‘Aidh ad-Duwaisri: Boleh menipu Syi’ah dan orang-orang lain yang berfaham sesat (non Wahabi).
3. Fatwa Syaikh Sulaiman al-Kharasyi: Boleh merampok harta orang-orang sekuler, serta halal nyawa dan kehormatan mereka (persis seperti yang diyakini para teroris seperti Imam Samudera cs).
4. Fatwa Syaikh Ibnu Baz: Boleh menghancurkan website/situs seseorang atau lembaga tertentu, mencuri password dan memata-matai email demi dakwah Salafi Wahabi.
5. Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin: Fatwa jihad terhadap Syi’ah dan wajib melaknat mereka.
6. Fatwa Dewan Fatwa Tetap (Lajnah Da’imah): Haram menabur bunga di atas makam (Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melarang hal ini).
7. Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin: Haram belajar bahasa Inggris.
8. Fatwa Syaikh Nashir al-Fahd: Haram bertepuk tangan, haram ucapan salam dan penghormatan dalam latihan militer.
8. Fatwa Syaikh Abdullah an-Najdi: Haram bermain bola sepak.
9. Fatwa Syaikh Hamud ibnu Aqla asy-Syu’aibi: Halal nyawa dan kehormatan Abdullah ar-Ruwaisyid, penyanyi Kuwait.
10. Fatwa Ulama-ulama Besar Saudi (Hai’ah Kibar al-‘Ulama): Haram game Pokemon dan sejenisnya bagi anak-anak.
11. Fatwa Syaikh Utsman al-Khamis dan Sa’d al-Ghamidi: Haram penggunaan internet bagi kaum wanita.
2. Fatwa Syaikh ‘Aidh ad-Duwaisri: Boleh menipu Syi’ah dan orang-orang lain yang berfaham sesat (non Wahabi).
3. Fatwa Syaikh Sulaiman al-Kharasyi: Boleh merampok harta orang-orang sekuler, serta halal nyawa dan kehormatan mereka (persis seperti yang diyakini para teroris seperti Imam Samudera cs).
4. Fatwa Syaikh Ibnu Baz: Boleh menghancurkan website/situs seseorang atau lembaga tertentu, mencuri password dan memata-matai email demi dakwah Salafi Wahabi.
5. Fatwa Syaikh Ibnu Jibrin: Fatwa jihad terhadap Syi’ah dan wajib melaknat mereka.
6. Fatwa Dewan Fatwa Tetap (Lajnah Da’imah): Haram menabur bunga di atas makam (Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidak melarang hal ini).
7. Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin: Haram belajar bahasa Inggris.
8. Fatwa Syaikh Nashir al-Fahd: Haram bertepuk tangan, haram ucapan salam dan penghormatan dalam latihan militer.
8. Fatwa Syaikh Abdullah an-Najdi: Haram bermain bola sepak.
9. Fatwa Syaikh Hamud ibnu Aqla asy-Syu’aibi: Halal nyawa dan kehormatan Abdullah ar-Ruwaisyid, penyanyi Kuwait.
10. Fatwa Ulama-ulama Besar Saudi (Hai’ah Kibar al-‘Ulama): Haram game Pokemon dan sejenisnya bagi anak-anak.
11. Fatwa Syaikh Utsman al-Khamis dan Sa’d al-Ghamidi: Haram penggunaan internet bagi kaum wanita.
Selain fatwa-fatwa yang aneh, nyeleneh,
dan tidak masuk akal, para ulama Wahabi juga memiliki ajaran dan
pendapat yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah Saw, para sahabat,
dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Misalnya;
1. Dalam kitab karangan Abdullah Ibnu Zaid, ulama Wahabi, yang berjudul al-Iman bi al-Anbiya’i Jumlatan (Beriman Kepada Semua Kitab) disebutkan kalau Adam a,s. bukanlah nabi dan juga bukan rasul Allah.
2. Dalam buku al-Qaulu al-Mukhtar li Fana’i an-Nar karangan Abdul Karim al-Humaid, ulama Wahabi, disebutkan bahwa neraka tidak kekal dan orang-orang kafir tidak diazab selamanya di neraka karena akan dipindahkan ke surga.
3. Dalam buku kaum Wahabi yang berjudul Fatawa al-Mar’ah disebutkan bahwa menceraikan istri ketika haid tidak menyebabkan jatuhnya talak (padahal ‘ijma ulama mengatakan, seorang suami yang menceraikan istrinya ketika sang istri sedang haid, maka talaknya tetap sah dan si istri menjadi haram bagi suaminya).
4. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa perempuan tidak boleh menyetir mobil (‘Ijma ulama mengatakan, perempuan boleh mengendarai mobil selagi tidak ada fitnah dan tetap terjaga aurat serta kehormatannya).
5. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa suara wanita di sisi lelaki ajnabi (bukan mahram atau orang yang boleh dinikahi) adalah aurat yang haram untuk didengar suaranya. Dengan kata lain, wanita haram berbicara di sisi laki-laki (di zaman Rasulullah Saw, perempuan dapat bertanya langsung kepada beliau tentang urusan agama. Ini berarti, dalam Islam, tak apa-apa perempuan berbicara di sisi laki-laki).
6. Dalam buku Halaqat Mamnu’ah karangan Hisyam al-Aqqad, ulama Wahabi, disebutkan bahwa mengucap zikir la illaha ilallah sebanyak seribu kali adalah sesat dan musyrik (padahal dalam Al Qur’an surah al-Azhab ayat 41 Allah berfirman; “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”)
7. Ibnu Utssimin, ulama Wahabi, berkata; “Ziarah kubur bagi wanita adalah haram, termasuk dosa besar, meskipun ziarah ke makam Rasulullah.” (padahal dalam ajaran Islam tak ada larangan wanita melakukan ziarah kubur, termasuk menziarahi makam Rasulullah Saw).
8. Dalam buku at-Tahqiq wa al-Idhah li Katsirin min Masa’il al-Haj wa al-Umrah karangan Abdul Aziz ibnu Abdullah ibnu Baz disebutkan bahwa memotong jenggot, apalagi mencukurnya, hukumnya haram (padahal Islam tidak melarang memendekkan jenggot agar kelihatan rapih, bahkan dianjurkan, karena Allah SWT mencintai keindahan)
9. Ibnu Baz dalam majalah ad-Dakwah edisi 1493 Hijriyah (1995 Masehi) yang diterbitkan Saudi Arabiah menyatakan, haram bagi perempuan muslim mengenakan celana panjang, meskipun di depan suami dan celana panjang itu lebar serta tidak ketat (Islam tidak melarang wanita memakai celana panjang. Apalagi di hadapan suami).
10. Dalam kitab al-Ishabah, al-Juwaijati, imam Masjid Jami’ ar-Raudhah, Damaskus, Syiria, disebutkan, ketika berada di Masjid ad-Daqqaq, Damaskus, salah seorang ulama Wahabi mengatakan, shalawat kepada Rasulullah Saw dengan suara nyaring setelah adzan hukumnya sama seperti seorang anak yang menikahi ibu kandungnya (Islam tidak melarang umatnya bershalawat setelah adzan).
11. Ibnu Baz mengatakan, mengucapkan kalimat shadaqallahu al-adzim (maha Benar Allah dengan segala firman-Nya) setelah selesai membaca Al Qur’an adalah bid’ah sesat dan haram hukumnya (Islam justru menganggap baik mengucapkan kalimat itu karena mengandung pujian kepada Allah, dan sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Ali-Imran ayat 95 yang bunyinya; “Katakanlah shadaqallahu (Maha Benar Allah (dengan segala firman-Nya).”)
1. Dalam kitab karangan Abdullah Ibnu Zaid, ulama Wahabi, yang berjudul al-Iman bi al-Anbiya’i Jumlatan (Beriman Kepada Semua Kitab) disebutkan kalau Adam a,s. bukanlah nabi dan juga bukan rasul Allah.
2. Dalam buku al-Qaulu al-Mukhtar li Fana’i an-Nar karangan Abdul Karim al-Humaid, ulama Wahabi, disebutkan bahwa neraka tidak kekal dan orang-orang kafir tidak diazab selamanya di neraka karena akan dipindahkan ke surga.
3. Dalam buku kaum Wahabi yang berjudul Fatawa al-Mar’ah disebutkan bahwa menceraikan istri ketika haid tidak menyebabkan jatuhnya talak (padahal ‘ijma ulama mengatakan, seorang suami yang menceraikan istrinya ketika sang istri sedang haid, maka talaknya tetap sah dan si istri menjadi haram bagi suaminya).
4. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa perempuan tidak boleh menyetir mobil (‘Ijma ulama mengatakan, perempuan boleh mengendarai mobil selagi tidak ada fitnah dan tetap terjaga aurat serta kehormatannya).
5. Dalam buku berjudul Fatawa al-Mar’ah juga disebutkan bahwa suara wanita di sisi lelaki ajnabi (bukan mahram atau orang yang boleh dinikahi) adalah aurat yang haram untuk didengar suaranya. Dengan kata lain, wanita haram berbicara di sisi laki-laki (di zaman Rasulullah Saw, perempuan dapat bertanya langsung kepada beliau tentang urusan agama. Ini berarti, dalam Islam, tak apa-apa perempuan berbicara di sisi laki-laki).
6. Dalam buku Halaqat Mamnu’ah karangan Hisyam al-Aqqad, ulama Wahabi, disebutkan bahwa mengucap zikir la illaha ilallah sebanyak seribu kali adalah sesat dan musyrik (padahal dalam Al Qur’an surah al-Azhab ayat 41 Allah berfirman; “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah dengan menyebut nama Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”)
7. Ibnu Utssimin, ulama Wahabi, berkata; “Ziarah kubur bagi wanita adalah haram, termasuk dosa besar, meskipun ziarah ke makam Rasulullah.” (padahal dalam ajaran Islam tak ada larangan wanita melakukan ziarah kubur, termasuk menziarahi makam Rasulullah Saw).
8. Dalam buku at-Tahqiq wa al-Idhah li Katsirin min Masa’il al-Haj wa al-Umrah karangan Abdul Aziz ibnu Abdullah ibnu Baz disebutkan bahwa memotong jenggot, apalagi mencukurnya, hukumnya haram (padahal Islam tidak melarang memendekkan jenggot agar kelihatan rapih, bahkan dianjurkan, karena Allah SWT mencintai keindahan)
9. Ibnu Baz dalam majalah ad-Dakwah edisi 1493 Hijriyah (1995 Masehi) yang diterbitkan Saudi Arabiah menyatakan, haram bagi perempuan muslim mengenakan celana panjang, meskipun di depan suami dan celana panjang itu lebar serta tidak ketat (Islam tidak melarang wanita memakai celana panjang. Apalagi di hadapan suami).
10. Dalam kitab al-Ishabah, al-Juwaijati, imam Masjid Jami’ ar-Raudhah, Damaskus, Syiria, disebutkan, ketika berada di Masjid ad-Daqqaq, Damaskus, salah seorang ulama Wahabi mengatakan, shalawat kepada Rasulullah Saw dengan suara nyaring setelah adzan hukumnya sama seperti seorang anak yang menikahi ibu kandungnya (Islam tidak melarang umatnya bershalawat setelah adzan).
11. Ibnu Baz mengatakan, mengucapkan kalimat shadaqallahu al-adzim (maha Benar Allah dengan segala firman-Nya) setelah selesai membaca Al Qur’an adalah bid’ah sesat dan haram hukumnya (Islam justru menganggap baik mengucapkan kalimat itu karena mengandung pujian kepada Allah, dan sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al Qur’an surah Ali-Imran ayat 95 yang bunyinya; “Katakanlah shadaqallahu (Maha Benar Allah (dengan segala firman-Nya).”)
Dari beberapa contoh di atas jelas sekali
terlihat kalau ajaran Wahabi telah keluar dari Islam karena terlalu
banyak fatwa para ulama dan ajarannya yang tidak sejalan, bahkan
bertolak belakang, dengan ajaran Islam. Maka benar pula lah sabda
Rasulullah yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Kitab Az-Zakah bab
al-Qismah yang penggalan sabdanya berbunyi; “ … Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya …” Subhanallah.
Tak ada yang abadi di dunia ini. Begitu
pula dengan kejayaan Wahabi. Karena menganggap umat Islam selain
pengikut ajarannya adalah kafir dan selalu memerangi, bahkan membunuhi
umat Islam dengan dalih jihad fisabilillah, lambat laun
antipati terhadap sekte ini meluas di seluruh wilayah Jazirah Arab,
sehingga pada akhir abad 19 dakwah para ulama Wahabi tak laku lagi.
Bahkan selalu dicerca dan dikecam.
Sadar kalau sektenya dalam bahaya, dengan
didukung pemerintah Arab Saudi dan Inggris tentu saja, para ulama
penerus Muhammad bin Abdul Wahab menggunakan jurus baru untuk tetap
meng-eksiskan sekte ini di muka bumi. Apalagi karena sejarah Wahabi yang
kelam dan kotor membuat tak sedikit pengikutnya yang menjadi risih
setiap kali berhadapan dengan pengikut sekte Islam yang lain, terutama
jika berhadapan dengan pengikut Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Dalam bukunya yang berjudul as-Syalafiyah
Marhalah Zamaniyah Mubarokah La Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id
Ramadhan al-Buthi mengungkapkan, Wahabi mengubah strategi dakwahnya
dengan mengganti nama menjadi Salafi karena mengalami banyak kegagalan
dan merasa tersudut dengan panggilan Wahabi yang dinisbatkan kepada
pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. Oleh karena itu, sebagian muslimin
menyebut mereka sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.
Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte
Salafi Wahabi, penggunaan nama Salafi untuk Wahabi, sehingga sekte ini
sekarang dikenal dengan nama Salafi Wahabi, pertama kali dipopulerkan
oleh salah seorang ulama Wahabi yang bernama Nashiruddin al-Albani,
seorang ulama yang dikenal sangat lihai dalam mengacak-acak hadist, dan
juga seorang ahli strategi. Hal ini diketahui berdasarkan dialog Albani
dengan salah seorang pengikutnya, Abdul Halim Abu Syuqqah, pada Juli
1999 atau pada Rabiul Akhir 1420 Hijriyah.
Selain mengganti nama, sekte ini juga mengubah strategi dakwahnya dengan mengusung platform dakwah
yang sekilas, jika tidak dipahami benar maksud dan tujuannya, terkesan
sangat indah, terpuji dan agung, yakni “kembali kepada Al Qur’an dan
Sunnah”. Apa yang salah dengan platform ini? Gampang dijawab.
Wahabi adalah sekte dengan ajaran yang
bahkan oleh para ulama pengikut mazhab yang empat, yaitu Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hambali dianggap sebagai ajaran sesat. Pendirinya,
Muhammad bin Abdul Wahab, adalah seorang pria arogan, kasar, dan telah
dicuci otak oleh Kementerian Persemakmuran melalui salah seorang agen
mata-matanya, Hempher, sehingga telah menyimpang jauh dari ajaran Islam.
Ulama-ulamanya pun, termasuk Ibnu Taimiyah, mengeluarkan fatwa-fatwa
yang ganjil, nyeleneh dan juga tidak sesuai dengan ajaran
Islam. Lalu, bagaimana mereka dapat mengajak setiap Mukmin kepada Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw yang dijabarkan dan dijelaskan para
ulama dalam hadist? Al Qur’an dan Sunnah yang mana yang mereka maksud??
Ibnu Taimiyah sendiri, karena fatwa-fatwanya yang nyeleneh dan
menyimpang dari Islam, ditangkap, disidang, di penjara di Damaskus, dan
meninggal di penjara itu. Sejarah mencatat, sedikitnya ada 60 ulama,
baik yang hidup di zaman Ibnu Taimiyah maupun yang sesudahnya, yang
mengungkap kejanggalan dan kekeliruan fatwa-fatwa ulama Wahabi itu dan
juga ajaran Wahabi.
Penggunaan nama salafi, sehingga kini
Wahabi menjadi Salafi Wahabi pun wajib dipertanyakan,
karena salafi merupakan sebuah bentuk penisbatan kepada as-salaf yang
jika ditinjau dari segi bahasa bermakna orang-orang yang mendahului
atau hidup sebelum zaman kita. Sedang dari segi terminologi, as-salaf adalah generasi yang dibatasi oleh sebuah penjelasan Rasulullah Saw dalam hadistnya; “Sebaik-baik
manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka
(tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi at-tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Jadi, berdasarkan hadist ini, as-salaf adalah para sahabat Rasulullah Saw, tabi’in (pengikut Nabi setelah masa sahabat) dan tabi at-tabi’in (pengukut
Nabi setelah masa tabi’in, termasuk di dalamnya para imam mazhab karena
mereka hidup di tiga abad pertama setelah Nabi saw. wafat). Maka jangan
heran jika dalam bukunya as-Syalafiyah Marhalah Zamaniyah Mubarokah La
Madzhab Islami, Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi menyebut kalau
sebagian muslimin menyebut Salafi Wahabi sebagai Salafi Palsu atau mutamaslif.
Yang juga perlu diwaspadai, kadangkala penganut ajaran Wahabi juga menyebut diri mereka Ahlus Sunnah, namun biasanya tidak diikuti dengan wal Jama’ah untuk
mengkamuflasekan diri agar umat Islam yang awam tentang
aliran-aliran/sekte-sekte/golongan-golongan dalam Islam, masuk ke dalam
golongannya tanpa tahu sekte ini menyimpang, dan mengamini ajarannya
sebagai ajaran yang benar. Karena itu penting bagi setiap Muslim untuk
mempelajari sejarah agamanya, dan sekte-sekte yang berada di dalamnya.
***
Faham Salafi Wahabi masuk Indonesia pada
awal abad 19 Masehi. Menurut buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi,
faham sesat ini dibawa oleh segelintir ulama dari Sumatera Barat yang
bersinggungan dengan sekte ini ketika sedang menunaikan ibadah haji di
Mekah.
Namun demikian, para ulama ini tidak
menelan mentah-mentah ajaran Wahabi, melainkan hanya mengambil spirit
pembaharuannya saja. Buku karya Syaikh Idahram itu bahkan menyebut, spirit yang
diambil ulama Sumatera Barat dari faham Wahabi kemudian menjelma
menjadi gerakan untuk melawan penjajah Belanda yang berlangsung pada
1803 hingga sekitar 1832 yang kita kenal dengan nama gerakan Kaum
Padri dimana salah satu tokohnya adalah Tuanku Imam Bonjol. Gerakan ini
tidak sekeras dan sekaku Wahabi karena dikulturisasi dengan budaya
lokal, sehingga mudah diterima masyarakat.
Berkembangnya Wahabi di Indonesia sempat
membuat sejumlah tokoh Islam kerepotan karena dituding sebagai pengikut
sekte ini. Mereka yang sempat dicap sebagai Wahabisme adalah Syaikh
Ahmad Surkati (pendiri al-Irsyad al-Islamiyah), KH. Ahmad Dahlan
(pendiri Muhammadiyah), dan Abdul Munir Mulkhan (cendekiawan
Muhammadiyah yang juga guru besar UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta), namun
semua ini terbantahkan, karena KH. Ahmad Dahlan seorang sufi. Bahkan
untuk membantah tuduhan bahwa ia penganut Wahabi, Syaikh Ahmad Surkati
menulis begini; “Tangan saya gemetar ketika menulis bantahan
ini. Bukan karena saya takut terhadap gerakan yang keras itu, melainkan
karena saya memang tidak mengetahui, apalagi mengikutinya.”
Masih menurut buku Sejarah Berdarah Sekte
Salafi Wahabi, pada 1995 Wahabi mulai memiliki media cetak di Indonesia
dengan terbitnya Majalah Salafi yang dibidani Ja’far Umar Thalib dan
kawan-kawan. Ja’far Umar Thalib juga kita ketahui sebagai Panglima
Laskar Jihad.
Saat ini Wahabi telah terpecah menjadi
dua faksi, yakni Salafi Yamani dan Salafi Haraki. Selain berjenggot dan
mengenakan celana yang menggantung di atas tumit, para pengikut Wahabi
dapat dikenali dari ciri-ciri sebagai berikut :
1. Selalu menggerak-gerakkan jari telunjuk naik turun saat tasyahhud awal
maupun akhir (padahal Rasulullah Saw tidak pernah melakukan hal ini,
karena seperti dijelaskan para ahli fikih, yang dimaksud menggerakkan
jari telunjuk saat tasyahhud adalah dari kondisi tangan menggenggam,
telunjuk digerakkan hingga menunjuk ke depan (isyarah). Hanya itu, dan
tidak digerak-gerakkan terus menerus. Apa yang dilakukan pengikut Wahabi
adalah bid’ah)
2. Sesuai doktrin sekte ini, pengikutnya diberikan penggambaran bahwa seperti halnya manusia, Allah SWT juga memiliki wajah, dua mata, mulut, gigi, dua tangan lengkap dengan telapak tangan dan jari-jemari, dada, bahu, dan dua kaki yang lengkap dengan telapak kaki dan betis. Allah berupa seorang pemuda berambut gelombang dan berpakaian merah. Allah duduk di atas Arasy seperti layaknya manusia duduk di kursi. Dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan turun dari langit yang satu ke langit yang lain. Jika Allah duduk di Arasy, maka akan terdengar suara mengiuk seperti bunyi pelana kursi unta yang baru diduduki (doktrin ini mirip doktrin dalam Kristen, dimana Isa a.s yang dianggap sebagai anak Tuhan merupakan seorang pemuda dengan rambut bergelombang dan berselendang merah).
3. Pengikut sekte ini memiliki didoktrin bahwa tauhid dibagi tiga, yakni tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât , sehingga diyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih baik, lebih bertauhid, dan lebih ikhlas dalam beriman kepada Allah SWT daripada umat Islam (padahal dalam Al Qur’an kedua tokoh ini justru dilaknat Allah SWT).
4. Selalu berbeda dalam menentukan hari-hari penting. Misalnya, berpuasa hanya 28 hari di bulan Ramadhan (Ahlus Sunnah wal Jama’ah 29 atau 30 hari), dan pada 1419 Hijriyah (1999 Masehi) menetapkan bahwa waktu wukuf di Arafah bagi jemaah haji pada 17 Maret, padahal para ahli falak berdasarkan hilal menetapkan bahwa waktu wikuf pada 18 Maret.
5. Sangat kaku dan sangat letterlijk (terlalu harfiah) dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan hadist (padahal Islam sangat fleksibel. Apalagi karena Islam diturunkan Allah sebagai rahmatan lil alamin).
6. Mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham, dan mudah menuding apa yang dilakukan umat Islam sebagai bid’ah dan musyrik, seperti misalnya melakukan ziarah kubur dan mengucapkan “shadaqallahu al-adzim” setelah membaca Al Qur’an.
2. Sesuai doktrin sekte ini, pengikutnya diberikan penggambaran bahwa seperti halnya manusia, Allah SWT juga memiliki wajah, dua mata, mulut, gigi, dua tangan lengkap dengan telapak tangan dan jari-jemari, dada, bahu, dan dua kaki yang lengkap dengan telapak kaki dan betis. Allah berupa seorang pemuda berambut gelombang dan berpakaian merah. Allah duduk di atas Arasy seperti layaknya manusia duduk di kursi. Dia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan turun dari langit yang satu ke langit yang lain. Jika Allah duduk di Arasy, maka akan terdengar suara mengiuk seperti bunyi pelana kursi unta yang baru diduduki (doktrin ini mirip doktrin dalam Kristen, dimana Isa a.s yang dianggap sebagai anak Tuhan merupakan seorang pemuda dengan rambut bergelombang dan berselendang merah).
3. Pengikut sekte ini memiliki didoktrin bahwa tauhid dibagi tiga, yakni tauhid Ulûhiyyah, tauhid Rubûbiyyah, dan tauhid al-Asmâ’ Wa ash-Shifât , sehingga diyakini bahwa Abu Jahal dan Abu Lahab lebih baik, lebih bertauhid, dan lebih ikhlas dalam beriman kepada Allah SWT daripada umat Islam (padahal dalam Al Qur’an kedua tokoh ini justru dilaknat Allah SWT).
4. Selalu berbeda dalam menentukan hari-hari penting. Misalnya, berpuasa hanya 28 hari di bulan Ramadhan (Ahlus Sunnah wal Jama’ah 29 atau 30 hari), dan pada 1419 Hijriyah (1999 Masehi) menetapkan bahwa waktu wukuf di Arafah bagi jemaah haji pada 17 Maret, padahal para ahli falak berdasarkan hilal menetapkan bahwa waktu wikuf pada 18 Maret.
5. Sangat kaku dan sangat letterlijk (terlalu harfiah) dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an dan hadist (padahal Islam sangat fleksibel. Apalagi karena Islam diturunkan Allah sebagai rahmatan lil alamin).
6. Mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham, dan mudah menuding apa yang dilakukan umat Islam sebagai bid’ah dan musyrik, seperti misalnya melakukan ziarah kubur dan mengucapkan “shadaqallahu al-adzim” setelah membaca Al Qur’an.
(Tamat)
0 komentar:
Posting Komentar