Minggu, 20 Mei 2012 - 0 komentar

Rekam Jejak Gerakan Wahhabisme 3 (Salafisme: Wajah Baru Wahhabisme)


Ada pengertian yang agak kabur antara Wahhabisme dan Salafisme, apakah keduanya sama atau berbeda. Pasalnya, kaum Wahhabi sering pula mengatasnamakan diri sebagai As-Salaf. Namun jika ditinjau dari kategorisasi historis, terdapat perbedaan di antara keduanya.
Sebagai respons terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di dunia Islam, berkaitan dengan makin luasnya dominasi kaum imperialis Barat, muncullah tokoh-tokoh pembaharu seperti Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, lalu dilanjutkan dengan Ikhwan al-Muslimin, dan singkatnya diteruskan oleh berbagai tokoh dan gerakan yang dikenal sebagai Salafiyah.
Diantara tokoh-tokoh pembaharu di atas, Rasyid Ridha dikenal paling fundamentalis dan konservatif. Seperti Ibn Abdul Wahhab, referensi langsungnya adalah kepada masa lalu dan para pendahulu yang saleh (al-salaf al-shâlih), karena itu gerakan mereka disebut sebagai Salafiyah. Namun tidak seperti Wahhabisme, gerakan ini berusaha merekonsiliasi ide-ide “modern” dan Islam dengan menemukan (dan menafsirkan) kembali kebaikan-kebaikan yang menurut mereka terdapat dalam agama.[16]
Akibat situasi politik di dunia Arab, era 1960-an tercipta hubungan yang lebih erat antara Salafi dan Wahhabi ketika tejadi perang dingin antara kubu Mesir dan Arab Saudi. Di bawah payung organisasi Liga Dunia Muslim yang dibentuk Arab Saudi tahun 1962, kaitan lebih erat antara kaum Salafi dan Wahhabi terwujud. Para anggota Ikhwan al-Muslimin di Mesir (dan belakangan di Suriah) hampir sulit disalahkan jika mereka mendekatkan diri kepada Arab Saudi, mengingat serangan-serangan yang mereka terima di negeri mereka sendiri. Padahal kekhawatiran mereka sangat beralasan, yakni semakin prihatin dengan cengkeraman imperialisme asing. Mungkin itulah sebabnya orang-orang dengan kecenderungan Salafi seperti Rasyid Ridha, yang dengan perasaan kecewa tengah mencari seorang pahlawan, mulai bersimpati pada Wahhabisme.
Di tengah transformasi Islam yang berkembang di Timur Tengah saat itu, salah satu yang dikenal bercorak keras adalah yang lahir dari buah pemikiran Sayyid Quthb (w.1960). Awalnya ia menggambarkan kondisi masyarakat kontemporer sebagai neo-Jahiliyyah, namun kemudian ditafsirkan secara radikal oleh aliran Islamis yang lebih muda dan ekstrem di Mesir (dan di beberapa tempat di Timur Tengah). Implikasi paling serius yang telah dielaborasi adalah konsep takfir. Muslim nominal (Islam “KTP”) telah menjadi kafir dan karena itu secara potensial diperbolehkan dibunuh.[17]
Watak radikal itulah barangkali yang membuat sebagian orang menyamakan Salafisme dengan Wahhabisme. Memang Salafisme memiliki sejumlah kesamaan pandangan keberagamaan dengan Wahhabisme, tetapi perbedaannya cukup mencolok. Adapun yang membedakannya adalah sebagai berikut:
  1. Salafi lebih menekankan persuasi daripada pemaksaan dalam rangka mengajak kaum Muslim untuk menerima pandangan mereka.
  2. Salafi memiliki kesadaran dan pengetahuan mengenai krisis politik dan sosial-ekonomi yang melanda dunia Islam.
  3. Salafi merekonsiliasikan ide-ide modern dengan nilai-nilai dalam Islam.
Perbedaan di atas bisa ditarik ketika—sekali lagi—istilah Salafisme dikaitkan dengan kategorisasi historis sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. Mengingat saat ini agak kabur untuk membedakan keduanya, terutama yang berkembang di Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar