Minggu, 20 Mei 2012 - 0 komentar

Rekam Jejak Gerakan Wahhabisme 5 (Refleksi Wahabisme)



Wahhabisme pada awalnya memang merupakan sebuah gerakan keagamaan murni hasil pemikiran seorang anak manusia sebagai respons terhadap praktik-praktik lokal keberagamaan yang dipandang menodai kemurnian Islam. Bahwa kemudian ia dijadikan alat oleh Inggris untuk menancapkan hegemoninya, ini adalah hal lain yang memang tak dapat dipungkiri, bukti-bukti sejarah menunjukkan demikian. Namun mengatakannya bahwa sejak awal memang sudah diatur oleh Inggris, memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat lagi. Adapun memoar ‘Confession of a British Spy’ tidak cukup kuat dijadikan bukti karena mengandung beberapa kejanggalan, walaupun tetap patut dibaca untuk ‘meraba’ situasi jazirah Arab saat itu.
Jika saja aliansi Wahhabi-Saudi tak memiliki kekayaan berupa cadangan minyak raksasa, gerakan Wahhabisme mungkin hanya tergores dalam catatan sejarah sebagai gerakan pemikiran yang secara intelektual bersifat marjinal dan berumur pendek saja. Namun nasib baik sebagai negeri kaya raya mampu membuat mereka eksis hingga saat ini. Mereka memiliki modal kuat sehingga mampu menyebarluaskan paham Wahhabisme di dunia Islam, hingga ke Indonesia.[22] Dan penyebaran paham Wahhabisme di Indonesia terbilang cukup pesat. Inilah salah satu sebab mengapa Indonesia yang sebelumnya sering disebut sebagai contoh par excellence masyarakat Muslim yang lembut dan sejuk, perlahan mengalami radikalisasi akibat pengaruh ideologi dan kebudayaan luar.
Karakteristik Wahhabisme yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi dialektika yang mewarnai peradaban Islam berabad-abad lamanya. Contoh konkretnya bisa didapati di Makkah dan Madinah. Sangat disayangkan bahwa Haramain yang telah berabad-abad lamanya menjadi pusat intelektual dunia Islam, di tangan Wahhabi berakhir. Nyaris tak menyisakan apapun kecuali lembaga-lembaga dakwah Wahhabisme yang secara absurd diberi label Universitas. Padahal kegiatan intelektual menentukan perkembangan peradaban suatu bangsa. Selama masih dalam genggaman kekuasaan Wahhabi, sulit mengembalikan Makkah dan Madinah ke masa-masa awal ketika kedua kota tersebut masih menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Imbas ekspansi Wahhabisme menyentuh pula aspek seni dan budaya. Fakta yang ditemukan kini, nyaris tak ada peninggalan seni dan budaya Islam di Arab Saudi. Maka menjadi sebuah ancaman serius ketika mereka berhasil mengekspor pahamnya hingga berhasil memberangus seni dan budaya yang merupakan muatan lokal suatu wilayah.
Memang sulit diterima ketika Wahhabisme menolak keragaman budaya dan apresiasi terhadap seni. Sejak dulu kala keragaman seni dan budaya dalam Islam begitu kaya, ekspresinya amat berwarna. Bahkan dalam pandangan sufistik, seni merupakan manifestasi keindahan ilahiah yang mampu membangkitkan gairah spiritualisme.
Hal lainnya yang patut menjadi sorotan adalah masalah persatuan Islam. Cara-cara radikal yang mereka tempuh telah mengantarkan kepada tindakan kontra produktif. Persatuan Islam yang selama ini telah dijaga utuh oleh berbagai kalangan baik Sunni ataupun Syi’ah terancam secara serius akibat pandangan sempit kelompok Wahhabi, yang sayangnya lagi, mudah dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam yang sesungguhnya.
Telah banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa prihatin dengan implikasi negatif ekspansi Wahhabisme. Mereka cukup produktif menghasilkan karya ilmiah untuk mengungkap sejarah kelam Wahhabisme. Sayangnya, isu ini bukan sesuatu yang menarik bagi sebagian besar masyarakat kita. Maka akibat sikap lalai, tak heran jika paham Wahhabisme dengan mudahnya masuk ke sekolah-sekolah hingga ke Universitas.[23]
Mungkin membingungkan mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada pandangan Wahhabisme. Namun ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat para mahasiswa terbiasa dengan pandangan dunia rasionalistik yang didorong oleh studi mereka di bidang teknologi, rekayasa dan ilmu alam. Lantas mereka mendapati di dalam Wahhabisme ada Islam yang (seolah) telah dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan dari kompleksitas teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai tambahan yang tergolong bid’ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam yang disajikan dalam bentuk sederhana dan “hitam-putih” cocok bagi mereka.
Perlu dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada sekarang setuju dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan kategorisasi-kategorisasi baru. Dalam hal ini, selama mereka tidak menggunakan cara-cara kekerasan, dakwah mereka tidak dapat disalahkan. Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan ilmu-ilmu agama “orisinil” sebagai menu yang mengundang selera anak-anak muda sejak dini. Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan mempesona.[]

[1] Algar, Hamid. Wahhabisme, Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Paramadina, 2008, hal 28
[2] Kaum Wahhabi sendiri menganggap mereka sebagai representasi dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.
[3] Algar, Hamid, op. cit., hal 30
[4] Hamid Algar memandang motif perjalanan Ibnu ‘Abdul Wahhab masih tanda tanya. Sejarawan lainnya mengatakan untuk urusan bisnis atau sekadar bersenang-senang. Ada juga yang mengatakan motif perjalanannya itu untuk menimba ilmu.
[5] Abdullah Mohammad Sindi, Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud, e-Bulletin Vol.IV 16 January 2004, www.kanaanonline.org
[6] Meskipun catatan atau buku berjudul Confession of a British Spy ini diragukan keasliannya oleh sebagian kalangan, termasuk Prof. Hamid Algar, namun cukup layak dibaca untuk mengetahui gambaran situasi di jazirah Arab saat itu.
[7] Waqf Ikhlâs, Confession of a British Spy, Istanbul: Waqf Ikhlas Publications No.14, Eight Edition, 2001
[8] Algar, Hamid, op. cit., hal 30, 44, 45, 47
[9] Dr. Mohammad Abdullah Sindi, op. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] International Crisis Group, dalam jurnal tertanggal 19 September 2005, melaporkan bahwa intimidasi terhadap kaum minoritas Syi’ah terus berlangsung, bahkan di sekolah-sekolah guru-guru secara terbuka mengkafirkan Syi’ah di depan para siswanya. Belum lagi fatwa ulama Wahhabi yang terang-terangan menghalalkan darah kaum Syi’ah.
[14] Isu ini bisa dicek di beberapa website Wahhabi/ Salafi baik di luar maupun dalam negeri. Sebagai contoh:  http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1086
[15] Algar, Hamid, op.cit., hal 119
[16] Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, Bandung: Mizan, 2007, hal 32
[17] Ibid, hal 41
[19] Subhani, Ja’far, Al-Milal wa Al-Nihal, Studi Tematis Mazhab Kalam, Pekalongan: Penerbit Al-Hadi, 1997, hal 363
[20] Algar, Hamid, op.cit., hal 69
[21] Ibid, hal 72
[22] Greg Fealy dan Anthony Bubalo dalam bukunya, Jejak Kafilah, mengatakan bahwa tiga organisasi di Indonesia secara khusus menerima dukungan dana signifikan dari Arab Saudi. Mereka adalah DDII, Al-Irsyad, dan Persis. (Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Bandung: Mizan, 2007)
[23] Baca tulisan Prof. Komaruddin Hidayat yang dipublikasikan di website alamat berikut: http://news.okezone.com/read/2009/10/23/58/268509/radikalisme-islam-menyusup-ke-smu

0 komentar:

Posting Komentar