Wahhabisme
pada awalnya memang merupakan sebuah gerakan keagamaan murni hasil
pemikiran seorang anak manusia sebagai respons terhadap praktik-praktik
lokal keberagamaan yang dipandang menodai kemurnian Islam. Bahwa
kemudian ia dijadikan alat oleh Inggris untuk menancapkan hegemoninya,
ini adalah hal lain yang memang tak dapat dipungkiri, bukti-bukti
sejarah menunjukkan demikian. Namun mengatakannya bahwa sejak awal
memang sudah diatur oleh Inggris, memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat
lagi. Adapun memoar ‘Confession of a British Spy’ tidak cukup
kuat dijadikan bukti karena mengandung beberapa kejanggalan, walaupun
tetap patut dibaca untuk ‘meraba’ situasi jazirah Arab saat itu.
Jika saja
aliansi Wahhabi-Saudi tak memiliki kekayaan berupa cadangan minyak
raksasa, gerakan Wahhabisme mungkin hanya tergores dalam catatan sejarah
sebagai gerakan pemikiran yang secara intelektual bersifat marjinal dan
berumur pendek saja. Namun nasib baik sebagai negeri kaya raya mampu
membuat mereka eksis hingga saat ini. Mereka memiliki modal kuat
sehingga mampu menyebarluaskan paham Wahhabisme di dunia Islam, hingga
ke Indonesia.[22]
Dan penyebaran paham Wahhabisme di Indonesia terbilang cukup pesat.
Inilah salah satu sebab mengapa Indonesia yang sebelumnya sering disebut
sebagai contoh par excellence masyarakat Muslim yang lembut dan sejuk, perlahan mengalami radikalisasi akibat pengaruh ideologi dan kebudayaan luar.
Karakteristik
Wahhabisme yang sangat kaku telah ikut membunuh tradisi dialektika yang
mewarnai peradaban Islam berabad-abad lamanya. Contoh konkretnya bisa
didapati di Makkah dan Madinah. Sangat disayangkan bahwa Haramain yang
telah berabad-abad lamanya menjadi pusat intelektual dunia Islam, di
tangan Wahhabi berakhir. Nyaris tak menyisakan apapun kecuali
lembaga-lembaga dakwah Wahhabisme yang secara absurd diberi label
Universitas. Padahal kegiatan intelektual menentukan perkembangan
peradaban suatu bangsa. Selama masih dalam genggaman kekuasaan Wahhabi,
sulit mengembalikan Makkah dan Madinah ke masa-masa awal ketika kedua
kota tersebut masih menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan di dunia
Islam.
Imbas
ekspansi Wahhabisme menyentuh pula aspek seni dan budaya. Fakta yang
ditemukan kini, nyaris tak ada peninggalan seni dan budaya Islam di Arab
Saudi. Maka menjadi sebuah ancaman serius ketika mereka berhasil
mengekspor pahamnya hingga berhasil memberangus seni dan budaya yang
merupakan muatan lokal suatu wilayah.
Memang
sulit diterima ketika Wahhabisme menolak keragaman budaya dan apresiasi
terhadap seni. Sejak dulu kala keragaman seni dan budaya dalam Islam
begitu kaya, ekspresinya amat berwarna. Bahkan dalam pandangan sufistik,
seni merupakan manifestasi keindahan ilahiah yang mampu membangkitkan
gairah spiritualisme.
Hal
lainnya yang patut menjadi sorotan adalah masalah persatuan Islam.
Cara-cara radikal yang mereka tempuh telah mengantarkan kepada tindakan
kontra produktif. Persatuan Islam yang selama ini telah dijaga utuh oleh
berbagai kalangan baik Sunni ataupun Syi’ah terancam secara serius
akibat pandangan sempit kelompok Wahhabi, yang sayangnya lagi, mudah
dijadikan alat adu domba oleh musuh Islam yang sesungguhnya.
Telah
banyak sarjana, baik Muslim maupun non-Muslim, yang merasa prihatin
dengan implikasi negatif ekspansi Wahhabisme. Mereka cukup produktif
menghasilkan karya ilmiah untuk mengungkap sejarah kelam Wahhabisme.
Sayangnya, isu ini bukan sesuatu yang menarik bagi sebagian besar
masyarakat kita. Maka akibat sikap lalai, tak heran jika paham
Wahhabisme dengan mudahnya masuk ke sekolah-sekolah hingga ke
Universitas.[23]
Mungkin
membingungkan mengapa para mahasiswa dapat tertarik pada pandangan
Wahhabisme. Namun ketertarikan itu bisa jadi wajar, mengingat para
mahasiswa terbiasa dengan pandangan dunia rasionalistik yang didorong
oleh studi mereka di bidang teknologi, rekayasa dan ilmu alam. Lantas
mereka mendapati di dalam Wahhabisme ada Islam yang (seolah) telah
dirasionalkan, yakni Islam yang telah dibersihkan dari kompleksitas
teologi dan kerumitan sufisme, yang dinilai sebagai tambahan yang
tergolong bid’ah. Singkatnya, mereka menemukan bahwa Islam yang
disajikan dalam bentuk sederhana dan “hitam-putih” cocok bagi mereka.
Perlu
dicatat bahwa tidak semua paham Wahhabi dan Salafi yang ada sekarang
setuju dengan cara-cara kekerasan. Ini seiring dengan dinamika
kehidupan, spektrum yang terbentuk menjadi semakin lebar dan melahirkan
kategorisasi-kategorisasi baru. Dalam hal ini, selama mereka tidak
menggunakan cara-cara kekerasan, dakwah mereka tidak dapat disalahkan.
Justru ini menjadi PR besar bagi kita untuk berusaha menyajikan
ilmu-ilmu agama “orisinil” sebagai menu yang mengundang selera anak-anak
muda sejak dini. Sebab, bisa jadi mudahnya mereka terdoktrin oleh
ajaran Wahhabisme disebabkan karena kebanyakan dari mereka belum
menyadari betapa samudera keilmuan Islam sesungguhnya begitu luas dan
mempesona.[]
[1] Algar, Hamid. Wahhabisme, Sebuah Tinjauan Kritis, Jakarta: Paramadina, 2008, hal 28
[2] Kaum Wahhabi sendiri menganggap mereka sebagai representasi dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah.
[3] Algar, Hamid, op. cit., hal 30
[4]
Hamid Algar memandang motif perjalanan Ibnu ‘Abdul Wahhab masih tanda
tanya. Sejarawan lainnya mengatakan untuk urusan bisnis atau sekadar
bersenang-senang. Ada juga yang mengatakan motif perjalanannya itu untuk
menimba ilmu.
[5] Abdullah Mohammad Sindi, Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud, e-Bulletin Vol.IV 16 January 2004, www.kanaanonline.org
[6] Meskipun catatan atau buku berjudul Confession of a British Spy
ini diragukan keasliannya oleh sebagian kalangan, termasuk Prof. Hamid
Algar, namun cukup layak dibaca untuk mengetahui gambaran situasi di
jazirah Arab saat itu.
[7] Waqf Ikhlâs, Confession of a British Spy, Istanbul: Waqf Ikhlas Publications No.14, Eight Edition, 2001
[8] Algar, Hamid, op. cit., hal 30, 44, 45, 47
[9] Dr. Mohammad Abdullah Sindi, op. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12]
International Crisis Group, dalam jurnal tertanggal 19 September 2005,
melaporkan bahwa intimidasi terhadap kaum minoritas Syi’ah terus
berlangsung, bahkan di sekolah-sekolah guru-guru secara terbuka
mengkafirkan Syi’ah di depan para siswanya. Belum lagi fatwa ulama
Wahhabi yang terang-terangan menghalalkan darah kaum Syi’ah.
[13] Trofimov, Yaroslav, Kudeta Mekkah, eBook, Pustaka Alvabet, http://books.google.co.id/books?id=gPYcKbf6sxIC&printsec=frontcover&hl=en#v=onepage&q=&f=false
[14] Isu ini bisa dicek di beberapa website Wahhabi/ Salafi baik di luar maupun dalam negeri. Sebagai contoh: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1086
[15] Algar, Hamid, op.cit., hal 119
[16] Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia, Bandung: Mizan, 2007, hal 32
[17] Ibid, hal 41
[18] Muhsin Labib, Wahabisme Dan ‘Teologi Penyesatan’, http://irfanpermana.wordpress.com/2007/02/28/wahabisme-dan-%E2%80%98teologi-penyesatan%E2%80%99/
[19] Subhani, Ja’far, Al-Milal wa Al-Nihal, Studi Tematis Mazhab Kalam, Pekalongan: Penerbit Al-Hadi, 1997, hal 363
[20] Algar, Hamid, op.cit., hal 69
[21] Ibid, hal 72
[22]
Greg Fealy dan Anthony Bubalo dalam bukunya, Jejak Kafilah, mengatakan
bahwa tiga organisasi di Indonesia secara khusus menerima dukungan dana
signifikan dari Arab Saudi. Mereka adalah DDII, Al-Irsyad, dan Persis.
(Fealy, Greg dan Anthony Bubalo, Jejak Kafilah, Bandung: Mizan, 2007)
[23] Baca tulisan Prof. Komaruddin Hidayat yang dipublikasikan di website alamat berikut: http://news.okezone.com/read/2009/10/23/58/268509/radikalisme-islam-menyusup-ke-smu
0 komentar:
Posting Komentar