Minggu, 20 Mei 2012 - 0 komentar

Rekam Jejak Gerakan Wahhabisme 1 (Wahhabi Sebagai Sekte Tersendiri)


Gerakan Wahhabisme mengawali kemunculannya di jazirah Arab pada abad ke-18 dengan pertumpahan darah dan jatuhnya banyak korban. Ironisnya, ini terjadi di antara kaum Muslim sendiri. Tak heran, sebab doktrin yang dogmatis, intoleran, sangat literal dan kaku yang diusung kelompok ini telah melahirkan penolakan total terhadap aliran pemikiran lain sampai ke tingkat yang membabi buta, yakni doktrin takfiri, yang menganggap kelompok lainnya sebagai kafir. Atas dasar klaim purifikasi, yaitu pemurnian ajaran untuk kembali kepada Islam yang benar (menurut versi mereka), gerakan ini mengijinkan perlawanan terhadap semua kaum Muslim yang dipandang tidak sejalan dengan ajarannya. Maka perpecahan di tubuh Islam pun menjadi tak terelakkan. Peradaban Islam pun menjadi semakin jauh tertinggal karena terlalu disibukkan dengan persoalan internal yang sudah usang.


I.  Wahhabi Sebagai Sekte Tersendiri

Istilah Wahhabi tidak diproklamirkan oleh pendiri ataupun pengikutnya, melainkan datang dari orang-orang yang berada di luar. Nama tersebut diambil dari perumus doktrin ajaran ini, yaitu Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb (1115 H/ 1703 M – 1206 H/ 1791 M). Hingga saat ini, Wahhabi dijadikan mazhab resmi di Arab Saudi yang pahamnya mendominasi berbagai aspek kehidupan di sana.
Pengikut aliran ini sendiri menolak sebutan Wahhabi, sebab sejak awal telah menjadi stigma yang melahirkan kesan buruk, sehingga mereka lebih memilih istilah al-Muwahhidûn atau Ahl al-Tawhîd, yang berarti orang-orang yang mentauhidkan Allah. Namun justru nama yang mereka gunakan itu mencerminkan keinginan untuk menggunakan secara eksklusif prinsip tauhid yang merupakan landasan pokok Islam. Menurut Prof. Hamid Algar, tidak ada alasan untuk menerima monopoli atas prinsip tauhid tersebut, sebab gerakan ini merupakan hasil ijtihad seorang anak manusia yang bisa benar bisa juga salah. Maka, cukup beralasan dan lazim untuk menyebutnya “Wahhabisme” dan “kaum Wahhabi”.[1]
Para pengikut Wahhabi menyatakan diri bahwa tujuan mereka semata-mata hanya untuk memurnikan tauhid. Tauhid harus dimurnikan sebab telah bercampur dengan apa yang mereka namakan sebagai syirik, tahayul, bid’ah dan khurafat. Islam yang sarat beban historis harus dirampingkan dan dibersihkan dengan cara mengembalikan umat Islam kepada induk ajarannya, Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Wahhabisme merupakan fenomena yang bersifat spesifik, yang mesti dipandang sebagai mazhab pemikiran terpisah atau sekte tersendiri. Para pengamat, khususnya non-Muslim, banyak yang melakukan deskripsi ringkas keliru tentang mereka dengan menyebutnya sebagai kelompok Sunni ekstrim atau konservatif. Padahal sejak awal, para ulama Sunni sendiri menganggap mereka bukan bagian dari Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ’ah. Hal itu disebabkan karena hampir seluruh praktik, tradisi, dan kepercayaan yang merupakan bagian integral Islam Sunni, dikecam oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Bahwa kaum Wahhabi kini dianggap sebagai Sunni[2], hal itu mengindikasikan bahwa istilah “Sunni” telah diberi makna yang sangat longgar, yakni sekadar pengakuan terhadap legitimasi empat khalifah yang pertama. Bahkan istilah Sunni yang berkembang sekarang tidak lebih berarti “non-Syi’ah”.[3] Karena itulah, penulis menganggap Wahhabi merupakan sekte atau mazhab tersendiri dalam Islam.

0 komentar:

Posting Komentar