Setelah memaparkan sejarah perkembangan Wahhabisme, penting kiranya untuk sedikit menyinggung doktrin utama ajaran mereka.
Dari
paparan sejarah sebelumnya, sebetulnya dapat terbaca bagaimana corak
ajaran mereka. Namun di bagian ini penulis akan mencoba meringkasnya
seraya menambahkan beberapa poin yang penulis anggap penting.
Kaum
Wahhabi, seperti pendirinya, adalah orang-orang yang berpikir sangat
linier, literal, kaku, serta sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur’an maupun hadits. Umumnya mereka menolak majâz (metafora). Bagi
mereka, semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka.
Sehingga bid’ah hanyalah sebuah eufimisme, kata pelembut untuk ‘kafir’.[18]
Mereka
juga menolak keberadaan seni dan budaya dalam Islam, serta tidak
mementingkan peninggalan sejarah Islam. Oleh karena itu, tempat-tempat
bersejarah Islam seperti rumah tempat kelahiran Nabi, rumah Ummul
Mu’minîn Khadîjah, serta tempat tinggal Nabi dihancurkan. Padahal,
menurut Syaikh Ja’far Subhani, awalnya Muhammad ibn ‘Abdul Wahhab
memusatkan upayanya hanya untuk menghancurkan kuburan-kuburan saja,
bukan menghancurkan setiap peninggalan yang ditinggalkan Rasulullah dan
para sahabatnya yang mulia. Tetapi para pengikutnya kini telah meluaskan
usahanya dengan melakukan pemusnahan setiap peninggalan Islam, dengan
dalih perluasan kedua tempat suci, Makkah dan Madinah.[19] Ini tentu sangat disayangkan dan penting untuk diperhatikan kaum Muslim di seluruh dunia.
Kian hari
umat Islam mengalami persoalan yang kian menumpuk. Namun bagi Wahhabi,
persoalan utama umat Islam terletak pada masalah tauhid, di mana mereka
membaginya menjadi tiga bagian:[20]
1). Tauhid al-Rububiyyah
Tauhid ini mengandung arti pengakuan bahwa hanya Allah semata yang memiliki sifat rabb,
penguasa dan pencipta dunia, yang menghidupkan dan mematikan. Tauhid
ini sekadar pengakuan verbal yang dengannya saja belum memadai untuk
mencapai kualitas sebagai Muslim.
2). Tauhid al-Asma wa al-Sifat
Mengandung
pengertian hanya membenarkan nama dan sifat yang disebut dalam
Al-Qur’an. Tidak diperbolehkan menerapkan nama-nama tersebut kepada
siapapun selain Tuhan. Ini merupakan ulangan dari apa yang dirumuskan
oleh Ibn Taymiyyah yang mengecam antropomorfisme.
3). Tauhid al-‘Ibâdah
Mengandung
pengertian bahwa seluruh ibadah hanya ditujukan kepada Allah. Tauhid
inilah yang dianggap paling penting, yang membatasi secara tegas antara
Islam dan kufur, antara tauhid dan syirik. Di sini tauhîd al-‘ibâdah
didefinisikan secara negatif, dalam arti menghindari praktik-praktik
tertentu; bukan secara afirmatif. Inilah yang mengakibatkan perasaan
takut terhadap apa yang dianggap sebagai penyimpangan. Ini membantu
menjelaskan mengapa Wahhabisme memiliki watak yang sangat keras.[21]
Maka segala macam bentuk tawassul, ziyarah, tabarruk, syafâ’ah, hingga
praktik-praktik yang telah menjadi tradisi dalam Islam Sunni dan Syi’ah
sepeti maulid, dianggap sebagai pelanggaran atas tauhîd al-‘ibâdah.
Dalam
pandangan Wahhabi, bid’ah dibagi menjadi dua: 1). Bid’ah dalam adat dan
tradisi; 2). Bid’ah dalam agama. Bid’ah yang pertama hukumnya mubah/
boleh, sedangkan yang kedua haram dan sesat. Bid’ah yang kedua kemudian
dibagi lagi menjadi dua: bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah dan bid’ah fi al-‘ibadah.
Bagi Wahhabi, kaum Syi’ah, Sufi, dan kebanyakan kaum Sunni telah melakukan bid’ah baik bid’ah qawliyyah i’tiqadiyyah maupun bid’ah fi al-‘ibadah. Maka dari itu boleh (bahkan harus) diperangi.
0 komentar:
Posting Komentar